Beberapa bulan lalu, sahabatku itu tersenyum-senyum sumringah. Betapa tidak? anaknya lulus masuk salah satu perguruan tinggi cukup bergengsi (untuk ukuran orang kampung seperti kami) setelah melalui beberapa kali tes masuk. Setelah beberapa kali wawancara, pemeriksaan kesehatan sampai sedetil mungkin, bahkan katanya daerah yang biasanya disembunyikan pun harus diperiksa (kalau-kalau ada kudisnya mungkin). Perguruan Tinggi yang katanya didanai pemerintah tersebut (alias pakai uang rakyat) tetap saja harus mengeluarkan kocek orang tua. Tak punya uang pun, ia pinjam sana pinjam sini demi si anak. Uang Rp 16 juta mungkin mudah bagi Gayus tapi tidak bagi kami si orang kampung.
Sebulan yang lalu, sahabatku itu masih tersenyum-senyum sumringah. betapa tidak? anaknya pulang untuk liburan seminggu. Badannya sudah tampak tegak seperti perwira, potongan rambut cepak, pakaian yang selalu rapi. Teman-teman SMA nya dulu iri melihatnya, menambah kebanggaan sahabatku ini. Si Ibu pun berkata tentang kerennya PT itu, kita orang tua tidak boleh menemui anak, hanya bisa mengantar sampai pintu gerbang. Tidak boleh bawa HP karena dapat mengganggu pelajaran, anak yang dapat sekolah di sana hanyalah anak-anak cerdas, dan seterusnya membuat orang lain melongo. "Wow beruntung kau sekolah di sana!" ucap salah seorang temannya
Dua minggu lalu, senyum sumringah yang menghiasi bibir temanku itu mendadak hilang berganti dengan tetes-tetes air mata. Betapa tidak? anak yang jadi kebanggaannya dikabarkan kabur dari asrama, bahkan bukan hanya anaknya tetapi juga 20 orang teman lainnya. kabar yang diterima dari SMS anaknya mengatakan "Jangan cari aku Mah, aku sudah dewasa, aku akan cari kehidupanku sendiri!" Hati seorang ibu mana yang dapat tegar menerima SMS seperti ini? Dicarinya si anak, dan ditemukan di salah satu kosan masih di Jakarta.
Sungguh! anaknya kini tidak lagi nampak seperti anaknya. Pendiam, murung, memalingkan muka kalau diajak bicara. "Jangan kau pikirkan uang yang telah kami keluarkan untuk sekolahmu!" kata Bapaknya penuh pengertian. Barulah si anak mulai terbuka. Ternyata banyak siksaan fisik yang ia terima dari seniornya di asrama. Tidak betul tali sepatu saja ditendang masuk ke kolam penuh lele, ada pula uji perut dengan meninju perut hingga terjerembab jatuh, Ada pula harus berguling dan itu tak akan selesai sebelum muntah kuning, kesalahan-kesalahan kecil akibatnya adalah siksaan fisik yang mungkin puluhan kali lipat dari kesalahannya.
Empat hari yang lalu, temanku kembali tersenyum-senyum sumringah. Rektor dari Perguruan Tinggi tersebut menelponnya dan meminta anaknya untuk masuk kembali ke sekolah, katanya si senior sudah dikumpulkan dan diberi peringatan. Dengan riang hati si anak yang baru sembuh dari sakit itu kembali ke asrama.
Dua hari yang lalu, kembali air mata menetes di pipi sahabatku itu. Anaknya mengirimkan pesan singkat bahwa ia kini tak dapat berjalan karena siksaan seniornya yang melakukan pembalasan. Ia dibawa ke ruangan tertutup dan gelap, kemudian dikeroyok hingga kini tak lagi ia bisa berjalan.
Sungguh aneh, Indonesia yang malang! Mahasiswa itu beberapa tahun mendatang akan jadi orang? mereka yang menerapkan kekerasan sebagai cara untuk menundukkan orang? TIDAK!!! Sebagai bangsa Indonesia aku tidak mau dipimpin oleh orang yang mendahulukan OTAK REPTIL dibanding dengan kecerdasan.
Sungguh aneh, apakah kekerasan akan membuat orang lebih cerdas? Survey membuktikan TIDAK!!! Sungguh perlakuan yang mirip dengan komunis atau Yahudi kah yang sedang melanda dunia pendidikan tapi tak teramati oleh menteri Hukum dan HAM? Apapun alasannya, kekerasan hanya akan menimbulkan kekerasan yang lebih hebat! dan anehnya itu terjadi di DUNIA PENDIDIKAN? Apakah mereka tidak membaca Undang-Undang tentang pendidikan? Sungguh aneh tapi nyata!!!
Tapi rakyat kecil seperti kami apalah daya, belum lunas utang Rp 16 juta, kami harus menerima putra kami yang teraniaya. Padahal PT tersebut memakai uang kita karena didanai pemerintah. Kemana kami mengadu? Mengadukan perguruan tinggi tersebut mungkin sama dengan mengantarkan leher ke pedang penyamun dengan tuduhan PENCEMARAN NAMA BAIK. Padahal tetes air mata seorang ibu bukanlah hal main-main, kegundahan seorang ibu bukanlah pencemaran nama baik melainkan duka begitu mendalam, bahkan sampai tak dapat tidur karenanya, bukanlah alasan untuk mencemarkan nama baik. Apalah daya kami rakyat kecil, belum kering air mata ini, telah ditambah luka pula. Kami tak punya siapa-siapa kecuali Engkau ya Allah! Engkau adalah khoirul maakiriin (sebaik-baik pembuat makar)
MAU DIBAWA KEMANA BANGSA INI? APAKAH AKAN DIBAWA KE ALAM RIMBA RAYA DIMANA YANG KUAT FISIK PASTI MENANG YANG LEMAH FISIK PASTI KALAH (WALAUPUN CERDAS!). Sayang sekali, mereka dulunya adalah orang-orang cerdas! orang yang akan membuktikan Indonesia tidaklah serendah apa yang Dunia kira. Kini anak-anak cerdas itu telah berubah, lebih mengedepankan otot dibanding otak?
STOP KEKERASAN DI DUNIA PENDIDIKAN!!! SELAMATKAN ANAK BANGSA!!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H