Acapkali sensitifitas seorang intlektual dituangkan dalam bentuk karya sastra sebagaimana para ulama terdahulu banyak menulis karya mereka dalam bentuk diwan yang berisi sya'ir-sya'ir tentang nasehat, ujaran hikmah dan bahkan kritik kepada penguasa di zamannya. Ungkapan dalam karya sastera juga banyak ditulis ulama nusantara, sebagai wasilah penyampaian nilai-nilai agama kepada umat, seperti  karya Hamzah Fansuri yang menulis Syair Dagang, Raja Ali Haji yang menulis Gurindam Dua Belas, bahkan Buya Hamka yang banyak menoreh novel sastra sebagai media penyambung dakwah risalah agama.
Jalan Pulang, sebuah karya Prof Wan dalam bentuk prosa bersajak---boleh jadi---berisi intuisi yang diluahkan dari akumulasi sensitifitas intlektual tentang kondisi kekeinian yang menimpa umat. Pilihan karya dalam gabungan Bahasa sajak, agaknya menjadi alternatif yang diyakini dapat menyambungkan segala bentuk sensitifitas intlektual itu menjadi bahasa kominikasi yang relevan. Karena, pilihan bahasa sering menjadi satu-satunya cara dalam menampakkan realitas dari sesuatu yang tak mampu dipendamkan dalam jiwa. Maka dalam tajuk puisi Kerugian, Prof Wan mengungkapkan sebuah kegelisahan;Â
Raja dan menteri tidak sehaluan, Belanda Feringgi menjadi tuan.Â
Alim ulama saling bersengketa, Si jahil tukil angkuh berbicara.
Sekolah universiti sibuk berniaga, Anak bangsa hilang adab keliru agama.
Masjid dan istana di tutup rapat, Sarang maksiat tempat berehat.
Bait ungkapan ini terasa berbincang tentang realitas keummatan yang hari ini sedang dirasakan. Kemudian dalam tajuk Kita dan Anai-Anai, terlihat bait-biatnya sebagai cermin dari sikap keilmuan sekaligus untaian harapan;
Perbedaan kecil biarlah mengalir, lihatlah pada niat, kebaikan lama terhasil.
Kegigihan melawan kejahatan pelbagai anasir, Yang jahil, yang zalim, yang angkuh degil.
Kehilafan sedikit janganlah dibuat bukit, dibangkit-bangkit di setiap surau, masjid
Hormatilah hujjah-hujjah dikutip, bintang-bintang ulama teratur tertib.