Ketiga. Tipologi dakwah UAS yang wasathiyah (moderat) bisa merangkul semua puak yang selama ini sulit untuk bersua dalam satu titik temu, dengan sikap yang sesuai jargon 'jadilah da'i sebelum menjadi hakim' (du'at qabla qudhat), seolah berwujud deklarasi pemersatu umat dalam wadah ukhuwah. Dengan melakukan pendekatan (nata'awanu fi ittafaqna alaihi),bersinergi dalam kebaikan yeng telah disepakati, setidaknya bisa menjadi embrio atas prakarsa arus baru kekuatan umat. Kekuatan ini dari perpsektif sosial, ekonomi, politik, jelas bukan remeh temeh, namun laik untuk menjadi 'modal' massa yang dapat memindahkan posisi periferal umat ke tengah gelanggang dinamika politik bernegara.
Tiga hal di atas, setidaknya bagi mazhab Machiavelis dalam politik kekuasaan, jelas menjadi ancaman. Jika jelas demikian, maka sebelum UAS menularkan misinya lebih jauh ke tengah umat, maka pengaruhnya harus diredupkan segera, atau, jika memungkinkan untuk diamputasi. Dan jalan yang lebih realistik adalah dengan cara penolakan. Sebab, jika sudah ada yang menolak, berarti ada hal yang segera diambil langkah demi ketertiban dan bahkan demi alasan keutuhan berngara bangsa. Inilah justifikasi yang lebih pas, karena kekuatan negara ada dalam otoritasnya, dan otoritas itu ada dalam asumsi dan perpesptif orang yang sedang duduk di atas kekuasaan itu. Bukankah, kebenaran otoritas itu seringkali mengalahkan otoritas kebanaran?
Sebagai kawan seangkatan, penulis selalu berharap, semoga UAS tetap menjadi aggota Islah yang muslih, seperti idealisme nama angkatan itu dahulu di tabuhkan. Amin. Wallahu'alam.
*Dosen Pascasarjana UIN STS Jambi, ketua Organisasi Interasional Alumni al-Azhar Provinsi Jambi
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H