Mohon tunggu...
Haniffa Iffa
Haniffa Iffa Mohon Tunggu... Editor - Penulis dan Editor

"Mimpi adalah sebuah keyakinan kepada Tuhanmu, jika kau mempunyai keyakinan yang baik kepada Tuhanmu, maka kau akan bertemu dengan mimpimu." #Haniffa Iffa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hari Ini, Tepat 100 Hari Kau Pergi

9 Maret 2020   20:13 Diperbarui: 9 Maret 2020   20:21 1279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat ini aku berada di titik di mana kepergianmu bukanlah suatu hal untuk ditangisi, namun lebih untuk mengingatkanku bahwa tiada yg abadi di dunia ini. Sejauh mana kita melangkah, kita tetap kembali kepada peraduan-Nya. Sungguh, semua milik-Nya dan akan kembali pada-Nya.

Kata orang, aku terlalu berlebihan dalam menangisi kepergianmu. Bagaimana tidak dek, karenamu aku mulai bisa membuka diri dengan orang lain di perantauan ini, mulai bisa menyembuhkan lukaku satu per satu, bahkan belajar untuk sekedar jatuh cinta lagi kepada orang lain yang hingga kini belum bisa untuk ku lakukan.

Kau benar dek, aku memang bodoh, hingga kini tak pernah bisa berpaling darinya, seseorang yang telah lama mengisi hatiku, bahkan setelah hampir empat tahun berlalu sejak kami memutuskan untuk memulai jalan kami masing-masing. Hingga kini, aku berada di titik love is bullshit. Tapi kamu tak perlu khawatir dek, pasti ada seseorang yang mampu menyembuhkan hatiku suatu saat nanti, seperti katamu waktu itu.

Dek, bagaimana bisa aku tidak merasa kehilanganmu dengan amat sangat jika kita sering meluangkan waktu bersama bahkan untuk sekedar menikmati senja di sore hari. Mendengar ceritamu, tentang keluarga yang selalu kau banggakan, tentang seseorang yang kau sukai diam-diam, tentang ketiga sahabatmu, bahkan tentang orang-orang yang menyakitimu. Bagaimana bisa aku melupakan itu.

Aku masih mengingat pagi itu kala kau tiada. Semalam suntuk hatiku gelisah, entah mengapa. Bahkan aku tak mampu menerjemahkan hati dan pikiranku sendiri. Aku memaksakan diri untuk bisa memejamkan mata setelah subuh agar bisa datang dan tidak mengantuk nanti saat wisudamu. Aku terlelap, sejenak.

Sekitar pukul tujuh pagi, telepon genggamku sesekali berbunyi, tapi tak ku hiraukan dan malah ku silent agar tidak menggangguku. Entahlah, aku merasa lelah sekali. Sekitar pukul 8.30 aku bangun. Ku lihat banyak sekali panggilan tidak terjawab dan pesan whatsapp yang masuk. Grup-grup whatsapp pun ramai.

Aku masih belum tersadar penuh. Ku buka satu per satu pesan yang masuk. Ada satu pesan yang memberiku kabar dengan pelan-pelan,  "fa, sudah tau kabar tentang Faqih?", kabar apa pikirku saat itu. Ada juga yang langsung to the point, inti kabarnya sama, Faqih telah tiada. Lalu ku buka lagi pesan selanjutnya, "Kak, Faqih meninggal", ah ini orang bercandanya kelewatan, tadi malem masih ketemu aku kok, pikirku kala itu.

Ku buka pelan-pelan foto yang dikirimkan teman-teman di whatsapp. Astaghfirullahal 'adziim. Ku lihat tanda pengenalnya, iya benar dia. Satu per satu ku lihat foto-foto yang dikirimkan teman-teman padaku. Innalillahi waiina ilaihi raji'un. Ku lihat lagi ada tumbler merah favoritnya yang sering dia bawa kemana-kemana. Ya Allah, ini benar dia? Antara sadar dan tidak, aku berusaha mencerna apa yang ada di dalam pikiranku.

Rasanya benar-benar berada dalam mimpi buruk, namun itu nyata. Astaghfirullahal 'adziim. Kullu nafsin dzaaiqotul maut, setiap yang bernyawa pasti akan mati. Tak henti-hentinya aku menenangkan diriku sendiri. Masih berharap ini hanyalah sebuah mimpi. Astagfirullahal 'adziim.

Hingga detik ini, rasanya masih seperti mimpi, bahkan setelah 100 hari berlalu. Di awal kepergianmu, aku tak bisa menangis setetes pun, namun dadaku terasa sangat sesak, berhari-hari. Sesak sekali. Sakit. Seminggu, dua minggu setelah kepergianmu, aku mulai bisa menumpahkan air mataku. Bahkan ada di mana aku menangis begitu terisak, sakit sekali rasanya. Bagaimanapun, tidak bisa dipungkiri bahwa kematian adalah kehilangan yang paling menyakitkan.

Di sini, di bumi Tuhan ini, aku menjadi saksi bahwa kau adalah hamba-Nya yang baik. Terimakasih telah menjadi adik yang baik. Aku rindu ceritamu, "kak, gua kesel sama si X" "kak, gua capek," "kak, gua mau cerita, tapi ingetin gua ya nanti," ah lucu kamu dek, kita kan sama-sama pelupa. Bagaimanapun, setiap pertemuan pasti ada perpisahan. Kami di sini sangat menyayangimu, tapi ternyata Tuhan jauh lebih sayang kamu. Setidaknya terimakasih telah menjadikanku tempatmu berteduh dari dunia yang menghujanimu dengan luka dan air mata. Faqih, baik-baik di sana yaa, nanti kita ketemu lagi, insyaAllah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun