Mohon tunggu...
Bhege Widiyanta
Bhege Widiyanta Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

I am a college student and an assistant researcher at the Center for Religious and Cross-cultural Studies, Graduate School, Gadjah Mada University, Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

MENANTI SEPI

16 Juni 2014   23:07 Diperbarui: 20 Juni 2015   03:28 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Desa “Gemah Ripah” rusuh lagi akhir-akhir ini. Desa ini memang cukup kondang dalam skandal perselingkuhan; dimana warga lelaki, bahkan yang masih perjaka, gemar meniduri istri tetangga. Namun, huru-hara kali ini berbeda dengan yang biasanya. Setelah seminggu lalu seorang maling tewas dibantai massa karena ketahuan nyolong kerbau milik pak RT, kini seluruh wargadesa bersitegang dengan tampilnya dua kandidat lurah yang akan segera menggantikan lurah lama.

Tentu, hal ini menjadi kegembiraan yang tak biasa bagi wargadesa; pasalnya, pak Sumbul, lurah lama yang pernah memamangku dua periode pemerintahan desa itu dianggap hanya sedikit saja membuat kemajuan desa. Terang saja, selain pemimpin yang nihil visi-misi, pak Sumbul memang selalu banyak pertimbangan ketika memutuskan; lama, tidak cekatan dan tidak pernah memuaskan.

Sebut saja peristiwa pak Jumingan yang pernah ditangani pak Sumbul. Peristiwa hamil di luar nikah yang menimpa Maryatun, putri Pak Jumingan waktu itu, menghasilkan keputusan yang menyakitkan bagi Maryatun. Sudah jatuh, tertimpa tangga, malang benar nasib si Maryatun ini: tidak satupun lelaki di desa yang dengan besar hati mengaku telah menanam benih di rahim Maryatun. Usut punya usut, ternyata lelaki yang pernah menggauli Maryatun adalah para putra pak lurah sendiri. Ya… PARA putra pak lurah! Ini gila bukan?

Segala intrik licik nan culas dilancarkan guna menimbun kebenaran bahwa Marjoko dan Marjuki, putra-putra pak lurah itu, senyatanya sudah berkali-kali bercinta dengan Maryatun. Tragisnya, Marjoko tak pernah tahu bahwa Maryatun juga menjalin asmara dengan Marjuki, adiknya itu. Begitu pula Marjuki, kaget bukan main ketika mendengar bahwa Marjoko, kakaknya itu, sering bermalam dengan Maryatun di sebuah penginapan. Kasus ini tenggelam begitu saja, seiring dengan semakin jarangnya burung bangau yang asyik-masyuk bermain di persawahan.

Kembali lagi, pemilihan lurah kurang dari sebulan ke depan juga menjadi tontonan yang tak kalah seru di desa “Gemah Ripah.” Bagaimana tidak, wargadesa menjadi riuh dalam promosi-promosi dan tentu saja perselisihan sengit tak terelakkan lagi. Dapat dipastikan, wargadesa terbelah menjadi dua kubu; dimana mereka saling melancarkan aksi serang dan begitu fanatis memuja kandidatnya masing-masing. Aksi kampungan semacam tawuran, cacian kotor dan umpatan sampah juga kian marak.

Sebenarnya, masih ada kelompok ketiga yang tiada terpikat dengan hingar-bingar perkampanyean tersebut. Bisa jadi mereka berasal dari golongan apatis atau sekumpulan manusia galau yang masih bimbang berkeputusan. Namun, bila ditelusur lebih jeli, kebanyakan dari mereka adalah kaum ibu yang tiap hari hanya berupaya menghadirkan seonggok makanan untuk mengganjal perut putra-putri dan suami mereka, meski hanya rebusan singkong. Mereka adalah para ibu yang setia dalam kesehariannya menyapu sampah kampenye di jalanan desa “Gemah Ripah” dan mempercantiknya dengan puluhan kembang elok aneka warna yang dipajang rapi memadati jalanan.

“Mereka mengaku mencintai desa ‘Gemah Ripah’ dan bermuluk-muluk wicara berniat membangunnya, mereka mengaku berpihak padanya, namun tak satupun yang sungguh menunjukan hal itu. Kini, desa ‘Gemah Ripah’ telah sendiri, tiada yang menemani, kesepian; tak terasakan seorangpun yang benar-benar berpihak dan mencintainya dengan tulus, kecuali kami. Perseteruan dua kubu itu menunjukan kelupaan mereka bahwa manusia-manusialah yang menjadikan desa ‘Gemah Ripah’ ini ada,” ujar para Ibu; menggendong balita mungilnya sembari memungut remahan sampah bertuliskan ‘berdikari’ dan ‘kerakyatan.’

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun