Oleh Suyatno
Untuk di satu wilayah kabupaten saja, perjalanan harus ditempuh 10 jam dengan melewati bukit dan lembah. Itulah Sumba Timur, sebuah kabupaten yang disesaki oleh bukit tandus dan lembah subur di ceruk-ceruk berjauhan. Gunung kapur yang memanjang dan berlipat-lipat hanya ditumbuhi oleh rumput savana yang luas. Kemudian, di batas kaki bukit terdapat tumbuhan dengan air yang melimpah. Hanya saja, untuk menjangkau lembah subur itu, kendaraan harus meliuk-liuk menaiki dan menuruni bukit.
Di ceruk bukit itulah, penduduk Sumba Timur bertani dan berkebun. Mereka berpencar-pencar di antara punggung bukit dan turunan lembah. Berdasarkan kondisi geografis itu, sekolah dibangun dengan sistem satu atap karena murid sedikit dan jarak ke sekolah yang jauh. Kondisi keluarga yang teramat miskin, pertanian tadah hujan, dan hewan piaraan yang lamban berkembang mewarnai suasana penduduk pedesaan itu.
Peserta SM3T angkatan 2 tahun 2013 ditempatkan di sekolah-sekolah satu atap itu untuk memenuhi kekurangan guru dan ketertinggalan cara bersekolah. Sebagai tim monev SM3T Unesa, penulis mengunjungi sekolah-sekolah yang serba terbatas itu dengan senang hati. Selain suka petualangan, penulis juga tidak mau mengecewakan peserta yang sudah 7 bulan di lokasi itu.
Hari pertama, Kecamatan Mahu, di ceruk bukit sisi Timur arah Selatan Kecamatan Malolo menjadi sasaran kunjungan. Perjalanan dimulai pagi pukul 06.00 dari Waingapu dengan kendaraan gardan ganda agar mampu menjelajah lumpur dan kerusakan jalan. Ternyata dugaan itu benar. Jalan yang dilalui hanya selebar dua meter di lereng bukit tidak beraspal. Kemudian, menuruni bukit untuk memasuki wilayah lembah dengan jalan yang dipenuhi genangan air yang berkubang-kubang. Kemudian, jalan menaiki bukit lagi untuk membelah bukit berikutnya. Turun lagi masuk lembah dengan jalan berlumpur. Begitulah seterusnya, perjalanan yang ditempuh untuk sampai di Kecamatan Mahu, sebuah kecamatan baru sejak tiga tahun yang lalu. Tubuh diguncang-guncang ke kiri dan ke kanan yang memunculkan keasyikan sendiri. “Jalan seperti ini seperti jalan di Jawa Timur tahun 80-an yang penuh dengan makadam,” gumam penulis.
Lima jam berselang, tanpa istirahat karena tidak ada warung satu pun, tim disambut anak-anak dengan bergegas mendekati arah mobil dengan bersandal jepit, berseragam merah-putih dan merah-biru.
“Selamat pagi, Pak,” ucap mereka serentak dengan suara malu-malu.
Rasa pegal karena guncangan mobil yang berkeras-keras itu sirna seketika. Betapa luas Indonesia. Di ceruk bukit tersembunyi pun, terdapat anak sekolah.
“Cita-citamu apa?” Tanya penulis.
Mereka menjawab hanya lima profesi, yakni bidan, polisi, tentara, guru, dan hansip. Mereka yang disebut itulah yang sehari-hari dikenali anak-anak. Tidak ada yang menyebut profesi dokter, hakim, jaksa, arsitek, atau yang lainnya. Bahkan, penulis tersentak ketika mendengarkan jawaban siswa puteri tentang cita-cita.
“Saya tidak punya cita-cita, Pak,” jawab Lindana dengan santainya.
“Mengapa tidak bercita-cita?” tanya penulis menyelidik. Dia diam saja sambil menyembunyikan wajah di balik candela kelas.
“Saya suka guru SM3T karena masuk terus,” ujar Nobert, siswa SMP Satap kelas VIII.
“Berarti, gurumu jarang masuk, ya,” jawab penulis. Nobert terdiam lama dan tiba-tiba disenggol temannya untuk tidak mengatakan iya.
“Guru SM3T itu tidak marah-marah, Pak,” sela siswa lainnya.
Rata-rata, guru asli, yang diangkat atau honorer kabupaten, sering marah-marah dan main pukul jika tidak dituruti perintahnya oleh siswa.
Dari sekolah Satap itu, tim mengunjungi SMPN Mahu, yang baru saja meluluskan siswa pertama kali sejak berdiri tahun 2010. Mereka baru saja melaksanakan pesta kelulusan karena ke-16 siswa lulus semua. Ada bekas bakar kambing dan periuk menanak nasi. Bahkan, siswa kelas VIII masih terlihat lelah sambil duduk di teras sekolah.
“Kami tadi malam merayakan kelulusan, Pak” ujar Alyunsus Umbu H, kepala SMPN Mahu, Sumba Timur.
“Kami bersyukur lulus semua. Saya akui semua ini karena bantuan guru SM3T Unesa yang mampu membimbing siswa,” tambahnya. Tahun depan, mereka berharap dapat jatah guru SM3T lagi agar prestasi siswanya terus meningkat. Guru SM3T sangat membantu keberlangsungan sekolah.
SMPN Mahu berada di kaki bukit gersang berhadapan dengan kantor Camat Mahu yang penuh ilalang. Tanah yang ditempati selalu berair sehingga terlihat subur. Sinyal HP tidak ada kecuali di bukit atasnya. Penduduk berumah ilalang (umalalang) saling berjauhan di pungung-punggung bukit. Pasar tidak ada. Toko kelontong hanya satu. Rumah kepala desa sangat megah dan tidak ada rumah lain di dekatnya.
Selama di Mahu, tim banyak berbincang dengan kepala sekolah, guru, dan kepala desa. Intinya, mereka sangat senang dengan SM3T Unesa karena membawa pembaharuan belajar. Mereka meminta agar tahun depan ditempati lagi guru SM3T Unesa. Kendala yang sangat besar adalah jarak siswa ke sekolah yang sangat jauh dan guru yang pulang, kembali ke sekolah sangat lama karena jalan yang sulit dan jauh. Malam hari, pukul 20.00 tim kembali ke Waingapu untuk persiapan keberangkatan esoknya di lokasi yang berbeda. Penat tidak dirasa karena teringat dengan siswa di Mahu yang penuh keceriahan meski berada dalam keterbatasan.
Perjalanan hari kedua dimulai. Tepat pukul 06.00 pagi, dua tim berangkat bersamaan dengan arah yang berbeda. Tim 1 diikuti oleh Bu Lutfiyah Nurlela dan Abdurachman Syam Tuasika menuju Pulau Salura untuk mengunjungi Sekolah Satu Atap yang ditempati SM3T Unesa. Tim 2 adalah Suyatno dan Suryanti yang bertugas memantau guru SM3T di dua kecamatan terdepan, terjauh, dan terbelakang, yakni Tapundung dan Pinupahar. Guru SM3T dari kecamatan lain turut mengikuti rombongan dalam satu mobil. Untuk tim 2, mobil yang dipakai garden ganda dengan penampang terbuka agar mampu menjelajah daerah sesulit apapun. Guru SM3T untuk rombongan 2 rela berada di bak terbuka meskipun goncangan sekeras apapun. Kami berpisah dengan rombongan 1 sejak dari penginapan.
Sejauh mata memandang di perjalanan, terlihat padang savana di sekujur bukit seperti diselimuti karpet hijau. Mobil kadang di atas bukit, meliuk di lereng, masuk dasar bukit, naik lagi, turun lagi, dan melintasi hutan sedang. Pemandangan sangat indah. Rumah penduduk sesekali terlihat namun lebih banyak savana dan hutan sedang yang terlihat. Kuda, sapi, babi, kambing, dan anjing milik penduduk terlihat bergerombol tanpa diikat di tanah-tanah lapang.
“Terima kasih, Pak dan Bu. Saya sudah dikunjungi. Tidak menyangka dosen Unesa sampai di lokasi terpencil ini,” ujar Olivia, guru SM3T Unesa Jurusan Sendratasik itu. Memang, untuk sampai di lokasi Olivia, mobil harus menempuh 6 jam perjalanan. Rombongan berhenti selama 1 jam untuk berbincang dengan guru dan masyarakat Tapundung. Sekaligus makan siang dengan membuka bekal nasi bungkus yang dibawa dari Waingapu.
Mobil berjalan lagi. Naik-turun dan goncangan dialami lagi. Kali ini, arah sasaran Kecamatan Pinupahar di balik puluhan bukit pantai selatan Sumba Timur. Hutan lindung, tanaman kayu besar-besar, rumput setinggi tiga meter, dilalui dengan mata yang harus waspada. Betapa tidak. Jalan hanya dua meter lebarnya dan tertutup rumput. Tidak ada yang melintasi jalan itu jika tidak oto yang memaksakan lewat untuk membawa barang-barang ekonomis dan penumpang. Rumput tinggi tidak pernah dibabat. Jika berbelok, mobil harus pelan dan membunyikan klakson. Sesekali, hewan biawak lewat. Betapa gelap, jalan rusak, dan sungai selalu dilintasi ditambah hujan pegunungan yang cukup deras. Penumpang bak terbuka sudah menyiapkan terpal. Ada 23 sungai yang harus dilewati dengan kemiringan bibir sungai di atas 45’ derajat.
[caption id="attachment_328114" align="aligncenter" width="383" caption="Perjalanan ke Sekolah Pelosok di Sumba Timur"]
Tepat pukul 17.00, rombongan tiba di kantor Kecamatan Pinupahar, pinggir jalan dan dekat dengan pantai selatan. Pak Camat sekeluarga menyambut dengan antusias sehingga rasa lelah perjalanan yang memakan waktu 11 jam itu sirna seketika. Guru SM3T di lokasi Pinupahar juga menyambut dengan menunjukkan siswa yang telah dibina dalam bermain musik. Ilham, guru di SMPN Pinupahar, adalah peserta SM3T dari Jurusan Sendratasik, bidang seni musik. Anjing juga turut mendekat. Kami berbincang di teras rumah dinas camat. Mandi dan makan malam bersama memberikan kenikmatan tersendiri. Obrolan dilanjutkan sampai pukul 23 malam. Ketika menjelang senja, kami sempatkan menikmati pantai yang akan ditutup oleh matahari tenggelam. Capek dan penat terobati. Malamnya, kami menginap di sekolah untuk tim puteri dan tim putera menginap di gedung kosong penjaga pasar mingguan di depan kecamatan.
Hasil bincang-bincang itu jika disimpulkan adalah pendidikan berlangsung tidak merata karena perbedaan geografis; Masyarakat tradisional dengan pikiran tradisional pula, menghambat kemajuan belajar siswa karena sering menghalang-halangi siswa bersekolah karena jauh dan susah; sarana jalan yang rusak parah mengganggu roda perekonomian warga dan kemajuan pendidikan; banyak hasil tanaman dan peternakan tidak dapat dijual karena jalan yang sering terputus jika hujan deras; pendidikan berlangsung apa adanya karena guru yang tidak ada; SM3T sangat membantu perkembangan siswa dan kemajuan warga.
Pagi, pukul 07.00, semua sudah mandi, sarapan mi goring, dan sudah siap di mobil. Arah Okatana, sebuah kawasan pedalaman di kaki bukit masuk ke dalam, akan menjadi sasaran kunjungan berikutnya. Kali ini, jalan lebih sulit karena harus menerabas lewat ladang dan sungai. Jalan utama rusak berat dan tidak dapat dilalui. Oleh karena itu, tim memutuskan kunjungan di pagi hari untuk menghindari hujan pegunungan yang biasanya turun setelah pukul 12 siang.
Halaman sekolah kami masuki dengan mobil. Terlihat di kejauhan segerombolan penduduk menyaksikan kami tetapi tidak mendekat. Ketika turun, ada satu orang tua mendekati dan menyalami.
“Selamat datang. Saya komite sekolah Satap Okatana ini,” ujar pensiunan guru Injil itu. Kami pun akrab sambil menikmati roti sumbu (ubi kayu goring) di rumah dinas kepala sekolah yang terbuat dari bambu. Obrolan akrab terjadi.
Di halaman sekolah, terlihat anak-anak laki-laki berlatih sepakbola dalam rangka lomba antarsekolah yang dilaksanakan dua minggu lagi di kecamatan. Siswa lainnya berkumpul di kelas untuk berkenalan dengan tim. Mereka sangat sederhana, baju lusuh, dan bersandal jepit. Anjing warga turut bebas keluar-masuk ruang kelas bersama mereka. Buku tulis, pensil, dan permen kami bagikan. Kegirangan dan keceriahan mewarnai suasana pagi itu.
Betapa masyarakat hidup apa adanya, dengan tanah tadah hujan, dan peternakan ala kadarnya. Mereka menyatu dengan alam. Hingar bingar perkembangan zaman, sama sekali tidak menyentuh mereka. Pendidikan hanya sebuah obat bagi mereka untuk memberikan kepastian masa depan generasinya. Baca, tulis, dan hitung merupakan tuntutan sementara agar mereka mampu berkomunikasi dengan pihak luar. Ujung-ujungnya, mereka bertani dan berternak seperti nenek moyangnya yang juga bertani dan berternak. Hidup hanyalah daur ulang yang berkepanjangan.
Pukul 10.00, kami berpamitan. Air mata para guru SM3T di Okatana mengalir deras. Tim terdiam menyimpan air mata itu dalam ingatan keterharuan. Penduduk melambaikan tangan kerinduan. Beberapa siswa SMP, memasukkan kelapa muda dengan senyum. “Hanya ini yang kami punya,” batinnya.
Sungai kami lintasi lagi. Mobil pelan-pelan mengambil jalur baru melintasi bukit dan pinggir pantai. Jalan malah tambah rusak tetapi tidak panjang rusaknya. Kecamatan Karera kami lintasi. Betapa kecamatan itu sangat maju dengan jalan bagus dan ada dua bank. Mengapa Kecamatan Pinupahar yang hanya berjarak 40 km saja dari Kecamatan Karera seakan tidak tersentuh? Itulah kenyataan. Pinupahar, sebuah kecamatan baru, 13 tahun lalu berdiri, masih berada dalam gulatan keterbelakangan. Pinupahar menghadap ke Australia. Hanya saja, kemajuan tidak pernah melintasinya. Guru SM3T-lah yang memberikan segumpal mimpi untuk pembaharuan melalui pendidikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H