Mohon tunggu...
Fritz Siregar
Fritz Siregar Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

PhD Student, University of New South Wales

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Hakim Konstitusi dari Merdeka Utara

15 Desember 2014   03:29 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:18 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akan tetapi, keinginan untuk mengirimkan calon terbaik ke Mahkamah Konstitusi semakin berkurang. Meningkatnya institutional legitimacy, dan peran penting yang dimainkan oleh Mahkamah, membuat MA cenderung tidak lagi mengirimkan calon terbaik menjadi Hakim Konstitusi.

Sebagai seseorang yang mengerti perjalanan Mahkamah sejak berdirinya, dan telah “dididik” di Mahkamah hampir selama 10 tahun, institutional memory Mahkamah melekat di benak Fadlil sehingga tidak heran, Fadlil merupakan salah seorang yang paling banyak berdebat dengan para Hakim Konstitusi lainnya dalam Rapat Permusyawaran Hakim. Fadlil mungkin dianggap tidak menjadi “agen” yang baik bagi MA dalam memutus perkara yang berkaitan dengan kepentingan MA. Pada

Putusan 34/PUU-XI/2013, Mahkamah mengabulkan permohonan yang diajukan Antasari Azhar yang menyebabkan diperbolehkannya peninjaun kembali (PK) berulang di MA. Fadlil mendukung putusan ini dengan tidak menjadi dissenter.

Pada putusan lain yang berkaitan dengan pengujian formil UU Mahkamah Agung (UU 3/2009), yang salah satunya mengatur pasal krusial perubahan syarat pensiun dari 67 ke 70 tahun (berkaitan dengan keterpilihan Harifin Tumpa menjadi Ketua MA), Fadlil juga tidak menjadi “agen” yang baik dengan mendukung putusan mayoritas yang menyatakan pembentukan UU MA  tidak memenuhi syarat formil, akan tetapi “demi asas kemanfaatan, UU tersebut tetap berlaku” (Putusan 27/PUU-VII/2009). Peran sebagai “agen” untuk melindungi MA, diperankan dengan baik oleh Arsyad Sanusi dan Muhamad Alim dengan menolak (dissenting) putusan ini dan berpendapat pembentukan UU Mahkamah Agung tersebut tidak melanggar syarat formil.

Independensi Fadlil untuk memutus sesuatu yang dia percayai, dan menempatkan dirinya berseberangan dengan institusi dimana ia berasal, mungkin kurang mendapat tempat di hati pimpinan MA.

Konon kabarnya, sifat Fadlil yang tidak suka “sowan” ke MA mungkin menjadi pertimbangan “ketidakpatuhan” Fadlil kepada institusi MA. Pada saat fit and proper test dilaksanakan di MA, Fadlil baru mendapat undangan untuk hadir 30 menit setelah waktu fit and proper test berlangsung. Fadlil baru tiba di MA satu jam setelah fit dan proper test selesai. Pada sore harinya, MA mengumumkan kedua calon Hakim Konstitusi untuk periode 2015-2020.

Sejarah institusional MK telah membuktikan bahwa Mahkamah memiliki peran yang sangat signifikan, tidak sekedar memberikan perlindungan konstitusional kepada setiap individual rakyat Indonesia akan tetapi juga sebagai penyeimbang kekuataan politik diantara institutisi konsitutional di Indonesia. Menyadari kekuatan politik yang berkecamuk pada saat ini, lembaga Mahkamah Konstitusi yang tidak sekedar profesional, tetapi berwibawa dan mandiri dalam memutus, merupakan hal yang diperlukan bangsa ini. Sayang, Mahkamah Agung melepaskan momentum baik untuk menentramkan Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun