Mohon tunggu...
Fitri.y Yeye
Fitri.y Yeye Mohon Tunggu... Administrasi - otw penulis profesional

Wanita biasa.\r\nPenulis Novel Satu Cinta Dua Agama & Rahasia Hati

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Satu Cinta Dua Agama [17]

12 April 2011   02:00 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:54 265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

[caption id="attachment_101191" align="aligncenter" width="364" caption="Cinta itu telah tumbuh//GettyImages"][/caption]

Kolaborasi: Rajawen [tao-li] Katedra + Fitri y. Yenti

Ramli ya?!" Sekali lagi Li mengulang pertanyaannya tentang sosok yang ditanyakan Tri. Entahlah, mengapa Li masih menyimpan rasa cemburu di hatinya. Namun cepat-cepat ditepisnya, karena sadar, bukankah Tri tidak menjadi kekasihnya lagi? Bahkan ia telah menganggap Tri sebagai adiknya.

"Bagaimana, Ko?" Pertanyaan ulang Tri mengagetkan Li.

"Adiakku..... Ehmmmmmm, menurutku dan melalui terawang batinku, sepertinya Ramli cocok untukmu, walaupun sebenarnya lebih cocok sama aku!" Li berusaha menggoda Tri.

"Aah, Koko, gitu deh. Kayak Ki Joko Bodo saja! Kalau itu tidak usah tanya!" Sahut Tri manja.

"Adiak. Serius nih! Ya, aku rasa cocok dan perasaanku Ramli adalah lelaki yang baik. Tak ada salahnya Tri membuka hati dan memberikan kesempatan kepada diri sendiri untuk mencintai lelaki lain selain aku! Berikan kesempatan juga bagi Ramli untuk membuktikan cintanya padamu!" Kali ini Li bersikap serius.

"Baiklah Kokoku. Sebagai adik, aku akan menurut. Tapi awas, jangan cemburu ya hi hi hi ....." Tri tertawa cekikikan balas menggoda Li.

"Huuuu... Awas ya..."Sambut Li.

* Awan putih menggantung di atas puncakGunung Singgalang. Matahari bersembunyi dibaliknya, memercik bias sinar ke langit petang. Pintalan-pintalan awan menggulung laksana gumpalan kapas putih terhampar di langit biru. Pelangi setengah melingkar menghias angkasa. Burung-burung beriringan menuju sarang,menyempurnakan suasana sore di kampung damai tempat Tri kini bernaung.

Begitu indah desa kelahirannya,berada diantara bukit barisan dengan bentangan sawah yang bertingkat-tingkat.Lama Tri tertegun dengan negerinya dimana ia tumbuh.

Tak pernah ia kehabisan kata untuk melukiskan karunia terbesar yang diberikan Tuhan untuk tanah kelahirannya. Ini hanya bagian kecil darikeindahan alam nusantara. Belum lagi khazanah budayanya yang begitu tinggi.  Tri berkali mengucap syukur dengan semua nikmat indah itu.

Tri tersenyum sendiri, melayang lagi angannya jauh. Pada sosok lelaki yang dulu mengisi hatinya. Li …! Kini bayangan itu bergantian muncul dengan wajah lelaki baru yang dipaksanya ada dalam khayalnya. Ramli!

Terus saja secara bergantian dua wajah ituhilir mudik dalam alam pikirannya kini.Harusnya Tri tidak perlu lagi ragu, karena Li bukanlah kekasihnya kini. Tetapi mengapa setiap mengingat Ramli, dia selalu membandingkan lelaki itu dengan Li?

Bisakah Ramli membuatnya bahagia? Apakah benar Ramli adalah jodohnya?

“Oh..Tuhan, beritahu aku, apa yang terbaik untukku, ” pintanya pada Yang Maha Kuasa.

* Demikianlah hari demi hari semakin mendekatkan Tri dengan Ramli. Apalagi Li selalu mendukungnya. Benih-benih cinta mulai tumbuh di hati mereka. Ada benarnya, cinta akan bersemi bila diberikan kesempatan untuk tumbuh. Waktu yang akan menyuburkan kemudian.

"Ah, sepertinya aku memang mulai menyukai Ramli!" Tri berkata pada dirinya sendiri. "Ternyata memang tidak salah, perasaan cinta bisa tumbuh seiring berjalannya waktu!"

Telepon genggam Tri berdering. Melihat nomor yang menghubunginya, dahi Tri berkerut. Ia sengaja tak berusaha menjawab panggilan tersebut dan membiarkan sambungan terputus dengan sendirinya.

"Rizal! Kenapa sih setiap hari menghubungiku? Bosan. Dia lagi dia lagi!" Tri menggerutu sendirian.

Rizal tampak kesal sekali, ingin rasanya ia membanting telepon genggamnya dan memarahi Tri. Ia merasa tidak dihargai oleh sikap Tri yang berkali-kali tidak menerima teleponnya.

"Tri, kenapa sih kamu tidak mau menerima teleponku? Seharusnya kamu tahu perasaanku. Bagaimana setiap hari aku merindukanmu. Apa aku tidak pantas mencintaimu?!"

"Jangan panggil aku Rizal bila tak bisa mendapatkanmu, Tri! Aku tak kalah dengan Li, dan aku rasa lebih baik!!!" Geram Rizal dan berikrar pada dirinya dalam kendaraan yang sedang melaju.

Rizal, memang sedari dulu sampai saat ini tiada putus asa untuk mendapatkan cinta Tri. Berbagai cara telah dilakukan, namun belum juga ia mampu menaklukan hati wanita itu.

"Apa yang harus aku lakukan lagi?"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun