Mohon tunggu...
fetria saman
fetria saman Mohon Tunggu... Lainnya - Membaca dan belajar menulis

I'll tell u later

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Belajar dari Sejarah untuk Indonesia Satu

6 Oktober 2017   01:01 Diperbarui: 6 Oktober 2017   01:06 427
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Ramainya debat mengenai pemutaran film bersejarah Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia atau sering disebut G30S PKI beberapa pekan terakhir menjadi topik yang sering diperbincangkan. Majalah Tempo bahkan menjadikan hal tersebut sebagai headline dengan tajuk Sekali Lagi Hantu PKI. Kabarnya sempat terjadi pro dan kontra, pro karena banyaknya generasi muda yang belum tau tentang kejadian bersejarah pengkhianatan PKI dan kontra karena sarat kekerasan dan mengandung unsur propaganda. Tanpa menunggu hasil perdebatan tersebut, film Pengkhianatan G30S PKI ini tetap diputar.

Saya sendiri menonton film tersebut pada saat posisi saya sedang di Yogyakarta. Saya adalah generasi yang lahir pada era 80an dan jujur baru kali ini saya berani menonton film tersebut. Musik latar yang mencekam dan situasi yang menegangkan membuat saya dahulu takut menontonnya. Bahkan teman-teman kecil saya waktu itu mengatakan bahwa ada adegan orang yang digorok dan pada lukanya ditaburi garam. Entah itu benar atau tidak karena film tersebut telah banyak melalui sensor, namun membayangkannya saja membuat saya bergidik ngeri. Lebih ngeri daripada saat ditagih utang.

Terlepas dari perannya yang dianggap sebagai alat propaganda, saya merasa film ini sangat 'nyeni' dan mampu membangkitkan semangat patriotisme. Saya tidak ingin membahas mengenai kekejaman PKI tapi saya lebih tertarik pada semangat bela negara yang dimiliki angkatan bersenjata pada saat itu. Memang kita tidak dapat menjadikan sebuah film sebagai suatu patokan, tapi sebuah film bisa memberikan suatu pesan moral mengenai sikap kita seharusnya pada saat terjadi kudeta terhadap Pancasila.

Pancasila sebagai dasar negara adalah konsep yang telah ditetapkan para pedahulu kita. Dari situ kita belajar hidup ber-Bhinneka Tunggal Ika. Hingga saat ini kita telah menjadi bangsa yang mudah terprovokasi hanya karena isu yang intinya menekankan bahwa menjadi berbeda itu salah. Apakah kita semua harus menjadi seragam baru bisa diterima? Bukannya sesuatu yang berbeda itu justru lebih indah?

Jika melihat kalender, kita akan melihat tanggal merah diantara tanggal lainnya. Tanggal merah tersebut kebanyakan hari libur keagamaan dan hari libur nasional contohnya hari proklamasi kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus atau hari Kesaktian Pancasila pada tanggal 1 Oktober yang diperingati dengan cara melaksanakan upacara bendera. Ada beberapa hari besar yang meskipun bukan hari libur tetapi sangat bersejarah sehingga wajib diresapi maknanya misalnya hari Sumpah Pemuda, hari Kebangkitan Nasional, hari Kartini atau hari Ibu.

Kenapa manusia membutuhkan penanggalan dan kalender?

Karena manusia gemar mengingat-ingat. Sejak dahulu kala manusia mencari-cari bagaimana cara untuk menandai suatu peristiwa penting pada hari itu supaya bisa diceritakan kepada generasi mendatang. Baik hal buruk maupun hal baik, semua dapat dijadikan pelajaran bagi orang-orang dimasa selanjutnya. Hal buruk agar tidak terulang kembali, hal baik agar dikenang. Masa, waktu dan tanggal adalah sejarah. Jas merah, kata Bung Karno, Jangan Sekali-Kali Meninggalkan Sejarah!

Belajar dari sejarah bangsa ini dapat kita simpulkan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang diperjuangkan oleh berbagai macam suku, ras dan agama. Dahulu pejuang kita tidak pernah memandang perbedaan itu, karena mereka memiliki satu visi yaitu Indonesia merdeka. Hingga akhirnya muncullah Bhinneka Tunggal Ika yaitu walaupun berbeda-beda tetapi tetap satu. Konsep besar yang merata bagi seluruh masyarakat yang tinggal didalamnya.

Saat ini kita sudah lupa cara untuk menyatukan visi karena kita dibutakan oleh perbedaan. Padahal pelangi tidak akan muncul dengan indah tanpa warna-warna lainnya yaitu Mejikuhibiniu. Pernahkah terbayang memandang langit sehabis hujan dengan pelangi yang cuma berwarna satu misalnya merah saja, atau jingga atau kuning saja? Tidakkah kita belajar bahwa upaya untuk menyamakan ideologi seperti pada G30S PKI tersebut hanya bertujuan untuk memporak porandakan negeri ini. Jika kita bisa berkaca pada masa lalu, dan menghargai perjuangan pahlawan serta seluruh angkatan bersenjata di Republik Indonesia ini, tentunya mempersoalkan masalah perbedaan adalah hal yang sangat memalukan.

Jika kita bersikeras menyamakan sikap dan pandangan hidup, tidakkan hidup kita akan menjadi membosankan. Betahkah kita memakan nasi dengan lauk yang sama setiap hari? Atau menonton film yang sama setiap hari? Masyarakat masa kini terlalu gampang digerakkan oleh berita yang tidak jelas kebenarannya. Terlalu mudah menyakiti orang lain yang berbeda pandangan dengan dirinya sendiri. Tanpa kita sadari sebenarnya kita adalah saudara, kita tinggal di negara yang sama, bernafas dengan udara yang sama dan berjalan dibawah sinar mentari yang sama. Sampai kapan kita tega menyakiti hati kakak atau adik kita sendiri. Seorang penulis Rusia bernama Alexandr Solzhenitsyn pernah menulis bahwa jika ada orang yang jahat dan cara untuk menyingkirkan mereka adalah dengan memisahkan mereka lalu menghancurkannya. Namun batas yang membedakan baik dan jahat menembus hati semua manusia. Siapa yang tega melukai potongan hatinya sendiri?

Tindakan pemusnahan terhadap perbedaan hanya akan menjurus kepada pemusnahan massal. Dunia pernah belajar pada pembantaian yang dilakukan oleh Nazi. Bangsa Indonesia pernah belajar pada peristiwa G30S PKI dimana perbedaan ideologi mengakibatkan muncul keinginan untuk penyeragaman dengan menghalalkan segala macam cara. Lalu apakah kejadian-kejadian itu kurang cukup untuk mengingatkan kita kepada sejarah? Apakah darah itu kurang merah?

Sudah saatnya Indonesia bersatu. Sikap dan pandangan kita akan menentukan kemana arah perjuangan bangsa ini. Kita belum merdeka, kita masih berjuang melawan hoax dan konten negatif serta ujaran kebencian yang diserukan oleh komunis-komunis modern. Tugas bela negara tidak hanya menjadi tugas TNI dan Polri, namun juga menjadi tanggung jawab seluruh warga negara. Mari bergandeng tangan dan kesampingkan perbedaan. Bangsa ini butuh kesadaran untuk kembali ke ideologi Pancasila, kepada semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Jangan benci perbedaan karena berbeda itu indah. Bersatulah Indonesia!

Salam Persatuan,

Salam Satu Indonesia!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun