Mohon tunggu...
Fawaidurrahman Faid
Fawaidurrahman Faid Mohon Tunggu... -

nevernervous..

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Kau dan Kupu-kupu

19 Maret 2011   19:40 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:38 225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Aku tidak tahu mengapa aku selalu mematuhi perintahmu untuk menanam bunga melati di dataran tinggi belakang rumah, menyiraminya tiap hari, dan menjaganya dari gangguan serangga dan kumbang-kumbang liar. Sementara aku begitu benci aroma melati. Apalagi harus merawatnya. Tapi, entah mengapa aku tidak bisa menolak perintahmu. Seolah kata-katamu adalah firman Tuhan yang jika tidak dilaksanakan aku akan merasa berdosa.

Aku masih ingat ketika tiba-tiba kau tersenyum manis. Manis sekali. Saat melihat melati mulai mekar dan bersemi. Kau mencium pipi kananku dan aku hanya bisa membalasnya dengan senyum termanis yang aku punya. Lalu terjadilah kontes senyum antara kau dan aku. Melati menjadi jurinya. Tapi, senyummu mengalahkan segala senyum bunga-bunga yang bermekaran kala musim semi. Apalagi senyumku. Sekali lagi kau mencium tepat di pipi kiriku, lalu bibirku. Aku mulai tak terkontrol, pikiranku melayang entah kemana, seluruh aliran darah melesat cepat menuju ubun-ubun dan degup jantungku bagai detak jarum jam yang menggugurkan angka-angka. Kepalaku berkunang-kunang. Tapi, aku masih sempat melihat wajahmu yang tampak kebingungan. Tiba-tiba dunia berwarna biru, semuanya biru, biru!

Setelah sadar, aku disambut dengan sebuah senyuman yang tak pernah ada tandingannya. Senyumanmu. Aku belum lupa saat kau menceritakan betapa anggun menjadi bidadari, jika dalam tiap jengkal langkahnya selalu menebarkan aroma melati. Padahal, seringkali kututurkan padamu, bahwa kehadiranmu lebih kudamba dan senyummu jauh lebih elok dari semua bidadari. Aku yakin, banyak bidadari yang iri melihat gemulaimu yang mempesona. Tapi, kau tak pernah mau mengerti perasaanku dan hanya menganggapku sebagai Adik. Meski berkali-kali kuucapkan bahwa aku ingin kau bukan hanya menjadi kakakku, melainkan kekasihku. Dan kau hanya tersenyum dan meninggalkanku begitu saja. Lagi-lagi senyummu meluluh lantakkan sendi-sendiku.

Namun, aku masih bingung ketika dengan begitu marahnya kau menamparku sekuat tenaga, saat aku mengusir seekor kupu-kupu yang ingin hinggapi melati. Padahal, aku hanya ingin menjaga bunga putih yang semerbak itu dari gangguan serangga, seperti yang kau tuturkan tempo dulu. Tapi, ada apa dengan kupu-kupu, hingga tega nian kau menamparku yang selalu melakukan segala titahmu? Apa karena kupu-kupu indah dipandang? Tapi dia juga serangga! Dan kau menyalahkanku lalu meninggalkanku bersama kupu-kupu yang tiba-tiba menghilang. Masih kusempatkan untuk menatap api kebencian berkobar di wajahmu.

Kau pun berlalu. Sementara aku hanya bisa diam, tanpa kuasaku untuk menegur perbuatanmu, ataupun menjelaskan betapa menyesalnya aku telah mengusir kupu-kupu indah itu, layaknya siang mengusir malam—yang sering kau sabdakan kepadaku, setelah mengajakku bermain petak umpet lalu mandi bersama di kolam waktu kecil dulu. Aku melewatkanmu begitu saja.

Sungguh, aku masih belum megerti tentang kupu-kupu yang karenanya kau meninggalkanku. Aku jadi membenci kupu-kupu. Rasanya ingin aku membantai kupu-kupu tiap kali aku melihat kelebatnya. Tapi, aku tak berdaya. Dia terbang tak sanggup kukejar. Yah, aku tidak pernah mampu mengejar kupu-kupu yang selalu terbang sesuka hati. Dan aku tahu mengapa aku tidak mampu melakukannya. Sayap. Yah… karena kupu-kupu punya sayap dan aku tidak. Sejak saat itu aku selalu berdoa kepada Tuhan agar memberikanku sayap. Aku berjanji, jika Tuhan memberiku sayap. Aku akan mengejar kupu-kupu itu kemana pun ia pergi lalu merobek-robek tubuhnya dan mengeluarkan isi perutnya.

Kini, di sini, aku hanya bisa merintih menahan perihnya jiwa dan dengan setia memandangi melati dan merawatnya. Aku selalu berandai-andai, sebentar lagi kau kembali. Inilah saat-saat yang sangat menyayat-nyayat jiwa. Sebuah penantian berhias rindu. Di mana waktu yang berlalu amatlah terasa panjang. Aku mulai mempunyai kebiasaan baru. Tiap ada semilir angin menyapa tubuhku, selalu kutitipkan sunyi rinduku. Dengan harapan ia akan menyampaikannnya kepadamu dengan lembut saat kau larut dalam buaian mimpi indahmu.

Berkali-kali kutitipkan perdu kasihku yang menetes di antara melati putih, semerbak wanginya seakan menyayat relung jiwa. Kini aku tak lagi membenci melati. Aku mencintainya seperti kau juga mencintainya. Namun rasa cintaku padamu melebihi segalanya. Apalagi pada melati. Apa karena aku lebih mencintaimu, hingga kau lebih mencintai kupu-kupu dari pada diriku? Tidak. Oh, aku semakin membenci kupu-kupu. Ingin sekali aku mencincang dan mengeluarkan isi perutnya. Dan lagi-lagi aku tak berdaya. Dia selalu terbang tak sanggup kukejar. Ketika seperti itu aku hanya bisa mengumpat, serta memaki Tuhan yang tidak mau mengabulkan do’aku dan memberiku sayap untuk mengejar kupu-kupu brengsek itu.

***

Cintaku, kini aku semakin lungkrah dan kumuh di pertengahan abad. Beberapa purnama telah kulalui dengan kerinduan yang menggerogoti jiwa, hanya untuk menunggumu di sini. Ya, aku masih di sini ditemani meleti putih yang kini semakin mengembangkan cabangnya. Kelopaknya pun memenuhi tiap reranting. Menciptakan keindahan bagi yang memandangnya. Aromanya menebarkan semerbak wangi. Memberikan kesegaran bagi yang menciumnya. Tapi tidak bagiku!

Aku masih terkatung-katung menahan rindu tiada bertepi. Aku yakin melati ini pun merindukanmu seperti halnya aku yang selalu merindukan senyumanmu, gelak-tawamu, sentuhan lembutmu. Aku mencintaimu. Ya, mencintaimu melebihi apa yang bisa kupahami tentang hakekat hidup. Hingga pada malam kelam, cukup hanya wajahmu menjadi bintang di angkasa. Pada malam penuh tetes hujan, cukup hanya namamu yang menjadi penghangat tubuh. Walaupun kau adalah kakak kandungku. Tapi, salahkah aku bila aku mencintai kakak kandung?! Kalau aku salah berarti Tuhan juga perlu disalahkan karena telah memberikan perasaan cinta yang begitu mendalam ini. Tuhan tidak adil telah memberiku anugerah cinta kepadaku yang kemudian mengharamkan jalinan cinta antara aku dan kakakku.

Mungkin Tuhan memang tidak sayang kepada semua hambanya, termasuk kepadaku. Atau jangan-jangan benar kata Hans Albert bahwa Tuhan memang tidak ada. Dan semua pertanyaan-pertanyaan tentang Tuhan memang tidak rasional. Sebab, baik itu Tuhan, cinta, surga, malaikat, neraka, memang tidak mempunyai kenyataan pada dirinya sendiri, melainkan hanyalah gambaran-gambaran yang dibentukan oleh manusia yang percaya akan semua itu. Ironisnya, manusia lupa bahwa semua angan-angan itu adalah ciptaannya sendiri. Yah, akan lebih baik jika aku membuang jauh-jauh yang namanya Tuhan. Agar tidak ada yang melarang dan mengharamkan cinta ini.

Kakakku, Cintaku… Aku sudah membuang Tuhan dari kehidupanku agar kita bisa bercinta denganmu tanpa ada penghalang. Sebab, aku hanya mencintaimu. Dan mencintaimu tak perlu aku mengandalkan sesuatu selain harapan untuk hidup bersama. Mencintaimu, purna sudah kutafsir segala hakekat maya. Tak tersisa satu pamrih pun bagi segala. Satu pun tidak. Sekarang, aku ingin kau cepat kembali ke bait-bait kehidupanku, sebelum kata menjadi bisu. Tapi, mengapa kau tak kunjung kembali? Di mana dirimu kini? Ada apa denganmu? Denganku, juga dengan kupu-kupu? Ah, lagi-lagi kupu-kupu!

***

Sang fajar kini tersenyum di ufuk timur, seolah mengabarkan sunyi yang sebentar lagi berlalu. Tampak di kejauhan sana seonggok bayang-bayang selengkung rusuk waku yang tak lagi asing di mataku, lebih-lebih di mata hatiku. Kaulah bayangan itu. Kau telah kembali dengan sesungging senyum menghiasi keindahan parasmu yang selalu membuatku kehabisan bahasa untuk mengungkapkan keindahan itu. Kau terus melangkah mendekati tempatku berdiri mematung diri. Tapi apa yang kau bawa di tangan kananmu? Oh tidak, lagi-lagi kupu-kupu dan lagi-lagi aku tak dapat berbuat sesuatu, kecuali diam dan diam. Apalagi saat kau mencium pipi kiriku. Sambil berbisik lirih apa kabar adikku…

Kau mendekati melati dan melepaskan kupu-kupu yang kau bawa tadi. Membiarkannya hinggap dan menikmati aroma melati. Sementara batinku berderak-derak melihat melati merasa tidak nyaman berada di dekat kupu-kupu brengsek itu. Melati butuh pertolonganku. Sementara kau tak pernah mengerti jeritan melati ketika kupu-kupu itu mulai berani merontokkan kelopaknya.

Dan kau hanya tersenyum memandang kupu-kupu yang terus menggerak-gerakkan sayapnya sambil menggerayangi melati. Kau pun tak hiraukan keberadaanku yang sekian lama menanggung rindu; menunggumu dengan penuh kesetiaan bersama melati di sini.

Oh, cintaku… mengapa kupu-kupu itu harus hadir antara kau dan aku? Ingin rasanya aku membunuhnya, tapi kini aku tak sanggup lagi. Karena kau mencintainya, dan aku tak ingin menyakitimu, membuatmu kecewa lalu pergi lagi dari kehidupanku. Aku masih ingin menikmati keindahan senyummu, walau toh kau tak pernah lagi tersenyum padaku. Menyapaku pun tidak. Kau hanya memberikan senyummu untuk kupu-kupu brengsek itu.

Mungkin kau tak pernah peduli betapa tersiksanya aku bila selalu berada di sisimu, sementara kau tak pernah hiraukan keberadaanku. Seolah kau anggap aku boneka sawah yang dipajang hanya untuk mengisir burung-burung yang ingin mencuri padi. Aku ini manusia! Tapi, akan lebih terlukanya aku jika kau malah pergi lagi dan tak kembali. Tidak. Aku tidak akan membiarkan itu terjadi. Aku tak sanggup, cintaku. Aku tak sanggup. Tanpa terasa hujan deras turun dari kedua mataku.

Tiba-tiba kau berteriak sambil menangis melihat kupu-kupu itu terbang menjauhi melati. Lagi-lagi kau menyalahkanku karena hanya diam dan menyuruhku mengejar kupu-kupu itu. Dan entah, selalu saja aku menuruti semua perintahmu. Dengan sepenuh tenaga aku berlari mengejarnya. Aku tak peduli dengan darah berceceran di kakiku karena menginjak carang atau pun duri. Tapi aku tidak lagi menggerutu kepada Tuhan agar memberiku sayap. Sebab, aku sudah mengubur nama Tuhan dalam sejarahnya sendiri. Aku terus mengejar kupu-kupu itu, hingga menembus ruang dan waktu.

Sejurus kemudian, aku melompat dan mendapatkannya. Meskipun akhirnya aku tersungkur ke dalam jurang dan bersimba darah. Tanpa terasa reruncing bambu telah menembus lambungku. Namun, aku masih berusaha menyempatkan diri memberikan senyum terindahku untukmu—meski ini adalah senyuman terakhirku—dan melihat wajah ayumu di atas sana. Tidak! Itu bukan wajahmu, melainkan kupu-kupu raksasa yang memakai bajumu. Lalu tubuhku terasa begiru ringan, aneh, tanpa beban. Dan aku tak lagi mendengar apa-apa, sunyi menyelimuti. Lalu gelap.

Jogja_seroja

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun