Mohon tunggu...
Fawaidurrahman Faid
Fawaidurrahman Faid Mohon Tunggu... -

nevernervous..

Selanjutnya

Tutup

Money

Meretas Posisi Ekonomi Syariah di Tengah Pusaran Ekonomi Lain

23 November 2010   04:02 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:22 535
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Keempat, jaminan Sosial. “… dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu, bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta).[10] Prinsip ini menggariskan bahwa di dalam modal dan aset seorang pengusaha terdapat hak bagi orang lain. Jumlah hak ini  bisa dihitung, dan harus dikeluarkan atau diambil dari pengusaha tersebut.  Kelima, kerelaan dalam bertransaksi. “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.[11] Karena itu, pemaksaan dan penipuan misalnya, benar-benar terlarang dalam ekonomi Islam.

Keenam, Jujur, amanah, dan transparan. Nabi saw. bersabda: “Pebisnis yang jujur dan amanah akan dibangkitkan bersama para nabi, para shiddiq, dan orang-orang saleh” (HR Tirmidzi). Prinsip ini menekankan aspek moralitas dan integritas para pelaku ekonomi. Tanpa aspek ini, akan timbul tindakan korupsi, manipulasi dan sebagainya. Ketujuh, kelonggaran. “Dan jika (orang berutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.[12]. Prinsip paling indah dalam ekonomi Islam adalah anjuran dan janji amat baik bagi mereka yang mau berbesar hati menangguhkan pembayaran utang bagi yang berkesusahan. Bukan, malah memberikan sanksi dan denda yang berlipat-lipat.

Setelah memperhatikan prinsip-prinsip di atas, Islam tampaknya mengambil posisi tidak sebagai tandingan (lawan) ataupun sandingan (kawan). Sistem ekonomi Islam lebih menekankan prinsip dan warna bagi suatu sistem, dan bukan merupakan sistem itu sendiri. Artinya, Ekonomi Liberal dapat  menjadi ekonomi Islam, manakala prinsip dan warnanya diselaraskan. Demikian pula ekonomi kerakyatan. Dia menjadi eknomi Islam ketika prinsip-prinsip syariah mennjadi dasar dan kerangkanya.

Ekonomi Islam berada di tataran ideologis, moralitas, dan etika, tidak pada tataran teknik operasional dan detil yang lain. Karena itu, sistem apapun, baik liberal, sosial, kerakyatan dan sebagainya, selama menerapkan prinsip-prinsip etika Islam, maka itu bukanlah cela untuk disebut sebagai Ekonomi Islam atau Ekonomi Syariah.

The Future Expectation: Sebuah Catatan Penutup

Masyarakat madani bukanlah suatu hal yang mustahil untuk diwujudkan, mengingat kondisi tersebut pernah terjadi di zaman Rasulullah SAW dan Islam sendiri pernah pula mengalami masa keemasan, dimana peradaban dan kebudayaan Islam berhasil menguasai jazirah Arab, Asia Barat dan Eropa Timur sejak abad ke sebelas sampai dengan awal abad ke tigabelas Masehi. Tetapi, untuk dapat mewujudkan masyarakat madani yang kita harapkan bersama, diperlukan suatu upaya besar dan berjangka panjang. Kita harus mampu merubah paradigma berfikir dan berperilaku dari masyarakat kita yang selama ini dipengaruhi oleh faham dan cara-cara kapitalis.

Perubahan tersebut harus diikuti dengan pengembangan kelembagaan, model, instrumen dan kebijakan yang dituangkan dalam suatu Arsitektur Ekonomi Syariah yang menjadi pedoman arah pengembangan ekonomi syariah kedepan dalam rangka mewujudkan masyarakat madani, “baldatun toyyibatun warobbun ghofur“. Untuk itu, diperlukan pemikiran dan diskursus diantara praktisi, akademisi/cendekiawan, pemerintah dan para alim ulama untuk merumuskan sistem atau arsitektur ekonomi syariah tersebut sehingga momentum pengembangan ekonomi syariah yang kita miliki saat ini tidak berlalu begitu saja, tetapi benar-benar dapat dimanfaatkan secara optimal dan menjadi solusi bagi berbagai persoalan ekonomi dan sosial bangsa ini tanpa harus terjebak dengan slogan simbolik “Syariah-isme”. Wallahu a’lam Bissawab.

[1] Hal ini bisa dilihat semisal dalam sejarah perkembangan ekonomi Islam walaupun waktu dulu belum disinggung mengenaik perekonomian secara sistemik melainkan hanyalah sebuah realitas perekonomian yang sehat dan menyejahterakan. Lebih detailnya lacak Akhmad Mujahidin, Ekonomi Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2007), hlm. 2-3.

[2] Realitas perekonomian Indonesia diakui atau tidak masih mengandung sistem murabahah. Hal ini dapat diukur dengan analogi riba dengan sistem bunga yang memiliki kesamaan yang berarti az-ziyadah yang dalam pengertian fikih didefinisikan dengan kullu qordin Jarra Naf’an fahuwa riba. Lacak dalam al-Syarbini, Al-Iqna’, (Indonesia: Dar ihya’ al-Kutub al-Arabi,tt) II: 6.

[3] Kecenderungan tersebut penulis dapatkan ketika penulis mengikuti pelatihan BMT, yang mana salah satu pembicaranya mengatakan yang demikian.

[4] Prinsip tersebut searah dengan istilah Ushul Fikih Taghayyar al-Hukm bi Taghaiyyur al-azmina wa al-amkina. Wahbah az-Zuhaili, Uşūl Fiqh al-Islami, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1986). hlm. 835.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun