Pendidikan adalah kebutuhan dasar yang harus terpenuhi. Terutama anak-anak yang lagi membutuhkan bimbingan dari orangtua. Keluarga adalah sekolah pertama yang akan ditemui anak-anak.Â
Mereka akan diajari oleh ibunya bagaimana cara untuk berkomunikasi yang baik. Mereka akan diajari cara menyebut benda-benda yang ada di sekitar rumah. Saat usia telah mencukupi orangtua akan menitipkan pendidikan anak-anaknya ke sekolah formal. Mereka akan dididik oleh bapak/ibu gurunya di sekolah.
Peran orangtua terhadap anak-anak itu bisa saya umpamakan seperti matahari saat menyinari bumi. Sang matahari sebagai orangtuanya dan sang bumi sebagai anaknya. Orangtua hanya bisa memberi tanpa mengharapkan imbalan dari anaknya. Orangtua lah yang berperan penting terhadap pengetahuan anak. Masa depan anak tergantung dari perlakuan atau pendidikan yang telah diberikan oleh orangtua kepada anak pada saat ini.
Keluhan OrangtuaÂ
Saat pembagian rapor kemarin (Sabtu, 15/12), saya menjumpai nenek yang mengambilkan rapor cucunya. Setelah saya bertanya kepada nenek itu ternyata orangtua anak itu sibuk. Ayah dan ibunya sama-sama bekerja. Sehingga tugas orangtua sebagai pendidik anak berganti posisi kepada neneknya. Nilai rapor anak ini mencapai batas standar ketuntasan minimal (SKM).
Saya pun bertanya, "Nenek bagaimana adek saat di rumah. Apakah adik mau belajar?"
"Itu Pak dia itu kalau belajar sendiri. Saya sebenarnya kepingin dia itu menjadi anak yang pandai. Tetapi saya tidak bisa mengajarinya. Katanya dia itu ingin bapak yang memberikan pelajaran tambahan kepadanya". tutur nenek.
"Maukah panjenengan (anda) memberikan pelajaran tambahan kepada cucu saya saat pulang sekolah?" tanya nenek kepada saya.
Saya pun menjawab, "Maaf nek, untuk saat ini saya tidak bisa memberikan pelajaran tambahan saat pulang sekolah karena saya sepulang sekolah ada pekerjaan lain. Saya hanya bisa mengoptimalkan saat mengajar adik di kelas."
"Iya sudah Pak kalau begitu. Saya hanya bisa titip cucu saya ya?"
"Tolong Bapak ajari saat cucu saya mengalami kesulitan dalam belajar di dalam kelas!"
"Iya nenek, Insha Allah saya akan mengajari adek dengan baik di sekolah". jawab saya melanjutkan.
Itu adalah salah satu contoh sampel wali murid yang bercerita kepada saya. Mereka rela mengorbankan uang untuk memberikan anaknya les tambahan agar dia bisa menjadi pandai. Masih ada beberapa wali murid yang meminta saya untuk memberikan pelajaran tambahan kepada anak-anak mereka. Namun saya belum bisa menerimanya karena masih repot dengan kesibukan di luar sekolah.
Terus ada oran tua yang tidak punya kesibukan, tetapi beliau merasa tidak bisa mengajari anaknya. Beliau pun memilih mengeleskan putrinya itu ke guru les. Saya mengapresiasi keputusan ibu tersebut. Karena beliau merasa bertanggung jawab untuk mengeleskan putrinya saat nilainya di sekolah masih kurang.
Keputusan ibu tersebut saya rasa sudah tepat karena masa anak-anak tidak akan bisa terulang kembali. Saat kemampuan dasarnya baik maka dia bisa mengikuti pelajaran dengan baik saat nanti naik kelas.
Orangtua berikutnya mengeluhkan anaknya yang saat UAS (ulangan akhir semester) tidak mengerjakan soal essay. "Bagaimana Pak anak saya ini, saat semesteran soal essay-nya tidak dikerjakan. Saat saya tanya di rumah dia mengakui kalau dia ngobrol dengan temannya saat ujian berlangsung," tutur sang ibu.
Terlihat guratan wajah ibu ini begitu kecewa terhadap sikap anaknya di kelas. Saya hanya bisa memberikan solusi kepada beliau agar tidak mudah menyerah dalam mengajari anaknya dan saya beri saran agar beliau mendoakannya ketika selesai sholat.Â
Saya berusaha meyakinkan ibu tersebut kalau saya juga berusaha untuk ikut memperhatikan perkembangan pendidikan anaknya. Saya akan mendorong dia untuk mengerjakan soal ulangan saat ujian berlangsung.Â
Saya menilai orangtua ini tidak kurang dalam mengajari anaknya saat ada di rumah. Beliau pun pernah beberapa kali menanyakan materi pelajaran kepada saya.
"Iya Bu betul. Saya sudah mewanti-wanti putra ibu untuk duduk tenang saat pelajaran berlangsung. Namun anaknya tidak mau. Saat saya ancam akan saya laporkan kepada Ibu melalui pesan WhatssApp hanya bertahan beberapa menit. Setelah itu dia keluar bangku lagi,"saya menjelaskan.
"Pak kalau boleh saya memberi saran. Panjengan (anda) memberikan aturan kepada anak-anak saat pelajaran berlangsung. Saat ada anak yang keluar bangku saat pelajaran dimulai mereka bisa dikenakan denda. Mungkin dengan cara itu anak-anak yang hiperaktif akan bisa duduk dengan diam," Ibu itu menjelaskan.
"Oh iya Ibu saran panjenengan (anda) akan saya coba pada semester berikutnya. Anak panjenengan biasanya nilai matematikanya bagus, namun saat UAS jeblok," ucap saya.
"Oh iya pak dia itu kurang teliti. Dia mengeluhkan kesulitan saat menyelesaikan soal cerita. Katanya dia itu sulit dalam menalar soal cerita Pak," tutur ibu itu melanjutkan
"Kalau begitu Iya adik sering-sering berlatih mengerjakan soal cerita agar terbiasa Bu."
Kesimpulan
Ibu tersebut adalah wali murid terakhir yang bercerita kepada saya. Permasalahan anak memang tidak akan ada habisnya. Saat tidak ada masalah berarti tidak hidup. Dengan adanya masalah-masalah tersebut saya selaku orangtua anak-anak di sekolah akan selalu berusaha mencari solusi yang terbaik.Â
Inilah pentingnya bertukar pikiran antara guru dan orangtua  dalam mengambil sendiri rapornya di sekolah. Sehingga guru dan orangtua bisa bertukar pendapat tentang kebaikan pendidikan anak-anaknya di masa depan.
Semoga bermanfaat
Mojokerto, 16 Desember 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H