Mohon tunggu...
Eki Tirtana Zamzani
Eki Tirtana Zamzani Mohon Tunggu... Guru - Pendidik yang mengisi waktu luang dengan menulis

Guru yang mengajar di kelas diperhatikan oleh 25-30 siswa, apabila ditambahi dengan aktivitas menulis maka akan lebih banyak yang memperhatikan tulisan-tulisannya. ekitirtanazamzani.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Menimbang Kembali Netralitas NU pada Pilpres 2019

10 Agustus 2018   00:42 Diperbarui: 10 Agustus 2018   13:16 947
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Keputusan Presiden Jokowidodo untuk memilih K.H. Ma'ruf Amin sebagai calon wakil presiden (cawapres) pada pemilihan umum (pemilu) tahun 2019 begitu mengejutkan masyarakat (9-8-2018). Inisial M yang telah dilontarkan oleh politisi partai PPP, muhammad romahurmuziy adalah K.H. Ma'ruf Amin. 

Beliau merupakan tokoh Nahdlatul Ulama (NU) yang kini menjabat sebagai ketua Majelis Ulama Indonesia (MU'I). Koalisi partai pendukung Presiden Jokowi memilih pasangan nasionalis-religius.

Pertanyaan saya sekarang, mengapa Presiden Jokowi tidak memilih Mahfud MD? Itulah yang sekarang masih mengganjal dibenak saya. Secara popularitas Mahfud MD itu lebih dikenal oleh masyarakat. Karena beliau sering diundang sebagai pengamat pada acara-acara televisi tentang masalah hukum yang terjadi di Indonesia.

Beliau tidak duduk pada posisi struktural pengurus besar nahdlatul ulama (PBNU). Namun beliau mengaku sebagai nahdliyin (warga NU). Beliau pernah dipercayai oleh mantan Presiden Abdurrahman Wahid untuk menjabat sebagai Menteri Pertahanan pada Kabinet Persatuan nasional. Menurut penuturannya di televisi. Saat itu beliau menjadi dosen di universitas daerah jogja. 

Beliau ditelpon langsung oleh Gus Dur untuk menerima jabatan sebagai Menteri. Menurutnya jabatan sebagai menteri sangat istimewa. Karena tidak sembarang orang bisa mendudukinya. Mungkin harus bergelar akademik tinggi dulu seperti gelar Profesor.

Jabatan sebagai ketua mahkamah konstitusi juga pernah diembannya (2008-2013). Mahfud MD juga dikenal sebagai pejabat yang bersih. Belum ada kasus-kasus hukum yang menjeratnya. Berita yang beredar dimasyarakat selama beberap hari terakhir mengerucut ke nama Mahfud MD. 

Namun kejutan terjadi, Mahfud MD harus legowo untuk menerima keputusan Presiden yang memilih K.H Ma'ruf Amin sebagai calon wakilnya pada pilpres tahun 2019 nanti.

Mungkin koalisi partai pendukung Presiden Jokowi mempunyai pandangan lain terhadap pilpres pada tahun 2019. Menurut pendapat saya ada perasaan trauma bagi pengurus partai PDI-Perjuangan pada pilkada DKI Jakarta. 

Saat itu pasangan yang didukungnya Ahok-Jarot tidak bisa memenangkan pilkada DKI Jakarta. Padahal sebelum pilkada berlangsung, berbagai lembaga survey lebih mengunggulkan pasangan Ahok-Jarot untuk memenangkannya dari kandidat lain.

Namun isu agama yang berkembang dimasyarakat bisa mengubah pilihan rakyat. Isu Video penistaan agama yang menyebar dengan cepat di youtube. Hal tersebut berhasil menurunkan popularitas pasangan Ahok-Djarot saat itu. Akhirnya pada saat hari-h pemilihan. Pasangan Anies-Sandi berhasil memenangkan pemilukada DKI Jakarta. 

Penghitungan hasil cepat quick qount di berbagai televisi menunjukkan hasil yang sama. Lalu pada hasil akhir rekapitulasi suara di KPU juga memenangkan pasangan Anies-Sandi. Sehingga Anies-Sandi dilantik oleh Kemendagri sebagai Gubernur dan wakil Gubernur DKI Jakarta periode 2017-2021.

Mungkin hal inilah yang tidak ingin terulang kembali pada pilpres tahun 2019. Ma'ruf Amin diyakini bisa memperkuat suara Jokowi. Suara-suara nahdliyin (sebutan warga NU) didaerah-daerah bisa menjadi lumbung suara pasangan Jokowi-Ma'ruf. 

NU dikenal sebagai organisasi islam tradisional. Pengikutnya diyakini begitu loyal dalam mendukung kandidat yang telah ditunjuk oleh Kyai (sebutan pimpinan pesantren) untuk dipilih oleh santrinya (pelajar di pesantren).

Namun kendalanya saat ini adalah biasanya pengurus besar nahdlatul ulama (PBNU) selalu netral dalam menentukan pilihan pemimpin bagi pengikutnya. Sehingga NU itu terkenal dengan sebutan organisasi islam yang tidak berpolitik praktis. Meskipun ada beberapa tokohnya yang dicalonkan oleh partai politik. Namun organisasi islam NU biasanya selalu menjaga netralitas dalam pemilihan kepala daerah. 

Hal ini terjadi pada saat pilkada di Provinsi Jawa timur. Kedua kandidatnya berasal dari tokoh NU yakni Ibu Khofifah dan Gus Ipul. Khofifah merupakan pempinan organisasi ibu-ibu muslimat NU. Sementara Gus Ipul adalah ketua gerakan pemuda Anshor.

Apabila keputusan ini juga berlaku pada pilpres mendatang pada tahun 2019. Koalisi pendukung Presiden Jokowi pasti yang akan dirugikan. Lumbung-lumbung suara NU yang berasal dari derah-daerah tidak bisa didapatkan secara penuh.

Hal ini tentu butuh strategi yang baik untuk bisa memenangkan pasangan Jokowi-Ma'ruf pada pilpres tahun 2019. Mungkin harapan partai koalisi pendukung Jokowi memasangkan Presiden Jokowi dengan Ma'ruf adalah untuk meminimalisir isu-isu agama yang suatu saat berkembang dimasyarakat. 

Sehingga apabila terjadi tidak berpengaruh besar terhadap pilihan masyarakat. Karena cawapres Jokowi berasal dari tokoh Islam dari salah satu organisasi islam terbesar di Indonesia.

Sejarah mencatat ada petahana yang mengikuti pilihan presiden pada periode kedua dan berhasil memenangkannya. Pada pemilu presiden tahun 2009 di Indonesia. Waktu itu Presiden SBY berpasangan dengan Boediono. 

Pasangan tersebut bisa memenangkan pemilu. Setelah itu pada pemilu presiden Amerika Serikat pada periode kedua. Obama bisa terpilih kembali menjadi Presiden Amerika Serikat. Hal ini bisa disebabkan oleh tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja presiden saat menjabat selama lima tahun.

Namun pengalaman buruk petahana terjadi pada pilpres tahun 2004. Saat itu mantan Presiden Megawati Soekarno Putri harus mengakui keunggulan lawannya Pak SBY. Ibu Mega saat itu berpasangan dengan Ketua PBNU Almarhum Kyai H. Hasyim Muzadi.

Belajar dari kegagalan pada pilpres pertama di Indonesia secara langsung tersebut. Mesin-mesin partai koalisi pendukung Presiden Jokowi yang berada didaerah-daerah harus bisa bekerja lebih keras lagi. 

Mereka bisa meyakinkan kepada masyarakat bahwa koalisi nasionalis-religius yang telah diusung koalisi partainya bisa membuat negara Indonesia menjadi lebih baik pada lima tahun kedepan.

Mojokerto, 10-08-2018

Salam,

Eki Tirtana Zamzani

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun