Â
Pic: Erfindra
Â
*
Untuk seorang perasa, merindui seseorang yang tak ingin di rindui adalah sebuah kenikmatan sendiri tanpa perlu alasan apapun. Seperti menanti sepertiga malam dengan harapan kau akan terbangun. Dan sialnya, kau memang selalu terbangun pada jam-jam segitu. entah itu dengan alasan yang masuk akal, kadang bahkan untuk sebuah alasan yang terdengar konyol. semisal kau yang terbangun karena digigit semut lalu dengan lugunya kau bertanya padaku "Ndra, Apakah aku terkena diabetes?". Dan endingnya selalu begitu, meskipun kubilang tidak namun kita akan terus memperdebatkan hal-hal yang tidak penting seperti itu hingga langit memutih. Dan kau adalah kau. Dari dulu tak pernah berubah. si keras kepala yang tak mau mengalah meskipun salah.
Untuk seorang wanita dewasa yang berumur lebih tua dariku, adalah hal yang biasa jika mendengar kau merepet saban hari padaku. Dari masalah terkecil sekalipun, apalagi masalah besar. Mampus sudah! Â Sebab dalam sikon tertentu, kau memang tampak seperti ibuku yang jika sedang merepet bisa bikin badanku meriang seperti terserang penyakit Malaria. Sampai terasa remuk semua tulang-tulangku. Aaarrrgh.. Kau.
Aku mengenalmu memang tak sampai separuh usiaku berbatang. Tapi aku cukup tahu bahwa kau adalah seorang pencurhat yang buruk. Kau selalu saja bercerita tentang mantanmu yang aneh seperti namanya yang juga aneh itu. "Pink" bah! Nama macam apa itu? Bahkan lebih buruk dari nama kucingku si Boedjang Kelana. Dan jika sudah tentang dia kau seperti induk ayam yang kehilangan anak. Menyepi dan bertengger seorang diri di atas pagar sambil sesekali berkokok galau. Dan saat-saat seperti itu apapun yang aku katakan tak ubahnya angin lalu yang berhembus sepoi menyusuri celah-celah daun bambu dan membuat kera yang tertidur pulas di atas pohon jatuh mengenaskan.
Apapun itu, sesungguhnya bagiku kau lebih dari sekedar seorang kakak. Kau adalah sahabat, satu-satunya teman terbaik yang pernah kumiliki. Dan "maaf" kau juga adalah seorang kekasih. Setidaknya, kita pernah pacaran selama 29 hari. Tidak lebih dan tidak kurang. Cukup 29 hari saja. Untuk orang-orang aneh seperti kita 29 hari kurasa sudah cukup untuk saling menjengkelkan, saling ejek dan saling over-overan buat lupain mantan. Aku masih ingat ketika kita berusaha mati-matian mencari nama yang romantis untuk memanggil pasangan. Dan jatuhnya kau panggil aku "Kera Sakti". Meh! Jelek betul. sampai sekarang aku masih bingung, nama itu sisi romantisnya dimana sih? Pun sebagai bukti cinta nan tiada taraku padamu maka saat itu kupanggil dikau "Mak Lampir" sebagai panggilan sayang. Lupakan Abi-Ummi, Papi-Mami, Ayah-Bunda, Kanda-Dinda dan Ayak-Bebeb. Katamu, kita terlalu tua untuk panggilan semenjijikan itu. Dan sebagai pacar aku tidak di perkenankan membantah. Oke, fix, fine, Â baiklah..
Untuk seorang perasa, memang terlalu banyak cerita yang tak akan ada habisnya jika itu tentangmu. Manakala di sebuah malam yang sekarat di bibir subuh, kau menceritakan padaku soal niatmu untuk pergi menjauh. Nada suaramu kala itu sungguh risau, bahkan kau tak mengizinkanku bertanya kenapa dan kemana kau akan berlabuh. meski akhirnya kau memberikanku sebuah alasan, tapi tak serta-merta hal itu dapat kuterima dengan lapang dada. Bagaimana mungkin kuizinkan kau pergi begitu saja setelah apa yang kita lalui sejauh ini bersama. Entah itu kau tahu, kau sangat berarti bagiku. Entah itu pula kau tahu, betapa banyaknya suka-duka yang kita lalui bersama. Aku tak habis pikir bagaimana bisa kau berpikir untuk pergi meninggalkanku. Sial!
Katamu, hubungan ini terlarang dan kau mencoba menjauh dari yang namanya ketergantungan. Dan katamu lagi, suatu saat kita akan sama-sama mempunyai pasangan. Dan kau tak bisa melihatku bersama orang lain. Terlebih kita terpaut usia di badan. Dan jikapun nanti hubungan ini di bawa kepernikahan katamu, kau bahkan sudah tak bisa lagi memberiku keturunan. Dan untuk semua alasan itu kau hanya memberiku hak diam tanpa boleh menjawab, membatah atau bertanya apapun. Tapi bagaimana aku bisa diam aduhai Mak Lampirku sayang?
Untuk seorang wanita dewasa, aku bisa mengerti realitas yang kau selipkan dalam setiap alasanmu, aku pun mengerti tentang kekhawatiranmu berikut kenyataan-kenyataan yang memang tidak seenaknya saja berjalan seperti yang kita mau. Untuk seorang pencinta aku akan mengerti itu. Aku pun bisa memahaminya. tapi untuk seorang perasa? maaf, aku sedang tidak berselera berputus asa.