Mohon tunggu...
Er. Fendra
Er. Fendra Mohon Tunggu... -

Selanjutnya hari terus berganti, dan beberapa kenangan masih ingin kunikmati...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kitab Salah Paham

21 Agustus 2014   13:04 Diperbarui: 18 Juni 2015   02:59 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1408575655142765939

[caption id="attachment_320218" align="alignnone" width="448" caption=""][/caption] imajinasi.wordpress.com
*
Jika mentari datang, gadis itu tak kunjung mati ditungkai lenganku. wajahnya sepucat rembulan, ia selalu menatapku dengan tatapan senyap. Bibirnya yang mungil sepertinya tak pernah berhenti memberiku senyuman yang dingin. Padahal semalam aku tlah membunuhnya. Berulang kali kurasa, tapi jika malam datang lagi, tiba-tiba saja ia sudah ada dan tertidur kembali dilenganku. Dan senyuman dingin itu kembali merajam mencabik-cabik seluruh isi hatiku.

Aku memang tak pernah mengenal siapa gadis itu, kecuali senyumnya yang hambar. Ia selalu datang dan pergi sesuka hatinya, seperti hantu. Sering, aku pura-pura tertidur untuk mencari tahu dari mana ia datang, kususuri setiap sudut dinding kamarku dengan kerlingan mata setengah terpejam. Tapi aku selalu gagal, ia datang secepat cahaya dan kembali bersandar ditungkai lenganku yang kasar.
Dalam kondisi seperti ini kerap kali ia membuat emosiku pecah berantakan. aku memakinya seperti orang kesurupan. Nyaris semua isi kebun binatang kutumpahkan diwajahnya yang beku. Namun seperti biasa, ia hanya tersenyum melihatku. Senyum penuh gigil yang membuat dendamku semakin hinggap dipuncak. aku sudah hilang akal mencari cara agar ia mati atau paling tidak ia tak lagi mendatangiku.

Disuatu malam yang sekarat. aku diam-diam tlah menyiapkan sebuah strategi yang jitu nan busuk untuk membunuhnya lagi. Ketika itu ia datang bersama senja dan langsung merebah dilenganku. Aku menghela nafas panjang lalu dengan penuh sigap kutusuk tubuhnya dengan belati yang sengaja kuselipkan dibawah bantal tidurku. Dan darah segar pun mengalir mengikuti barisan lantai kamar demikian pula bau anyir pun merebak diseluruh alam, aku selalu berpikir bahwa aku tlah berhasil membunuhnya. Tapi jika mentari datang. ia kembali tersenyum ditungkai lenganku seraya bersandar tanpa sedikitpun terluka. Saat itu aku benar-benar hilang akal. Dan sampai kini aku sangat membenci membenci gadis itu.

**

Namaku Ali, seorang pria bertubuh gelap yang terdampar di istana khayangan. Makhluk kerdil yang berumur kurang lebih 28 tahun yang terpaksa mengecap getirnya hidup didaerah konflik disudut pengap provinsi Aceh. Aku pernah menikah, tapi istriku meninggal tak lama setelah para penjajah yang datang dari ibu kota menanduskan seluruh nyawa orang kampungku. Raja dijakarta baru saja mengesahkan fatwa. Betapa halalnya membunuh segenap manusia yang bernafas ditanah ujung sumatra ini. Dan sialnya, diwaktu yang sama juga baru saja melepas niat menahkodai bahtera hidup.

Saat itu aku dan Yunda istriku baru saja menuntaskan akad nikah dihadapan penghulu. Dengan penuh suka-cita dan rasa bahagia tak terkira kami pulang menuju rumah mertuaku. Akhirnya, setelah bertahun-tahun kami mengikat hati dengan status hubungan tak jelas. Lunas sudah terbayar siang tadi. aku baru saja menyunting bidadari yang bersedia menemani hidupku hingga maut memisahkan.

Aku pulang dengan senyum kemenangan, istriku hanya tersipu-sipu saat kulirik wajahnya yang tertimbun ribuan cahaya serupa emas. Ia tersenyum padaku. Senyum yang anggun. Anggun sekali... Senyum termanis yang tak pernah kusangka juga merupakan senyum terakhir yang akan kudapat darinya.

Baru saja aku tiba dihalaman rumah, puluhan penjajah dari ibu kota tlah menanti kedatangan kami dengan senapan siap lepas landas. Aku terhenyak, suasana begitu hening. Dan para tamu yang datang kepesta pernikahanku diam tak bergerak seperti patung lupa diri. Akupun tersedan penuh gigil, belum juga sempat kutarik nafas untuk bertanya apa yang terjadi. tiba-tiba saja dari arah belakang seseorang menerjang tubuhku hingga aku tersungkur diatas tanah.

"Separatis keparaaaaat!" pekiknya.

Suasana pun berubah menjadi gaduh. para tamu yang sedari tadi tak bergeming berhamburan berlarian pontang-panting cari selamat. Istriku yang juga sedari tadi tak henti-hentinya tersenyum kini berteriak sejadi-jadinya. Ia histeris bukan kepalang. Aku tak tahu petaka apa yang sedang kutunai perhitungan. Yang pasti sakit yang kini menjalar tubuhku seakan ingin membuatku pingsan. Samar kulihat, beberapa orang berpakaian belang menarik baju istriku hingga terhempas berserakan. Kali ini aku tak lagi perduli pada senapan. Sebagai seorang suami yang baru sehari menjadi suami aku mencoba melawan. Harga diriku sudah benar-benar diinjak oleh para iblis peliharaan negara itu. Aku bangkit dan berlari kearah istrisku yang tengah mereka dicengkram. Tapi naas, belum juga sampai kugapai tangan istriku. Sebuah benda tumpul mendarat dibelakang kepalaku. Aku langsung ambruk seketika, dan beberapa kaki langsung melayangkan terjangan membabi-buta ditubuhku. Aku kalah, aku benar-benar tak berdaya menghadapi para setan yang memanggul senapang itu.

Jiwaku hancur bukan kepalang, tak puas dengan kelakuan biadab itu. Dengan setengah tak sadarkan diri aku dipaksa oleh mereka menyaksikan adegan yang sungguh ingin membuat jantungku meledak;

Saat itu kulihat beberapa pria berbaju belang menindih istriku. Bergiliran. Bergantian. Istriku diperlakukan persis seperti hewan yang dikuliti sejuta abdi negara. saat itu aku hanya ingin mati. Betapa sakit hatiku melihat ia disiksa manusia-manusia biadab itu. Aku, yang bahkan ia pilih dari segenap pria lain untuk menjaganya tak kuasa untuk melindunginya. Air mataku mengalir bersama darah yang mengucur deras dari tubuhnya. Aku hancur.. Aku benar-benar hancur... Lalu beberapa saat kemudian kudengar suara senapang menggema dipuncak angkasa disusul teriakan bergemuruh mencekik hening. Sejenak aku merasa seperti mati.

Sebenarnya, yang mereka cari bukanlah aku. Tapi karna nama Ali yang kusandang sama dengan nama salah satu gelar petinggi separatis didaerahku. aku terpaksa menerima seluruh hidupku hancur berkeping-keping. Aku juga harus menerima kenyataan istriku diperkosa lalu dibunuh didepan mataku sendiri. Sebuah drama hidup paling kejam nan jahanam mesti kupikul kini sampai aku mati. Tapi, penindasan memang tak pernah usai untuk manusia yang tertimpa nasib sial menyandang nama Ali. Akupun lagi-lagi harus meringkuk dikamar sempit dan gelap dengan kedua kakiku dirantai besi. Kata mereka aku Ini gila. Dan mereka pun merubah namaku menjadi si Ali Sakit Jiwa.

Sebenarnya, sekarang hidupku cukup senang dengan nama baru kudapat, kini aku sudah bisa terbebas dari terjangan kaki penjajah berbaju belang. Atau hantaman pantat bedil yang membuatku hilang akal. Kecuali satu hal, aku masih menaruh dendam pada gadis sialan yang selalu datang dan tersenyum padaku setiap malam itu.

Aceh Barat Daya. 21-Agust 2014. Er. Fendra

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun