Saat itu kulihat beberapa pria berbaju belang menindih istriku. Bergiliran. Bergantian. Istriku diperlakukan persis seperti hewan yang dikuliti sejuta abdi negara. saat itu aku hanya ingin mati. Betapa sakit hatiku melihat ia disiksa manusia-manusia biadab itu. Aku, yang bahkan ia pilih dari segenap pria lain untuk menjaganya tak kuasa untuk melindunginya. Air mataku mengalir bersama darah yang mengucur deras dari tubuhnya. Aku hancur.. Aku benar-benar hancur... Lalu beberapa saat kemudian kudengar suara senapang menggema dipuncak angkasa disusul teriakan bergemuruh mencekik hening. Sejenak aku merasa seperti mati.
Sebenarnya, yang mereka cari bukanlah aku. Tapi karna nama Ali yang kusandang sama dengan nama salah satu gelar petinggi separatis didaerahku. aku terpaksa menerima seluruh hidupku hancur berkeping-keping. Aku juga harus menerima kenyataan istriku diperkosa lalu dibunuh didepan mataku sendiri. Sebuah drama hidup paling kejam nan jahanam mesti kupikul kini sampai aku mati. Tapi, penindasan memang tak pernah usai untuk manusia yang tertimpa nasib sial menyandang nama Ali. Akupun lagi-lagi harus meringkuk dikamar sempit dan gelap dengan kedua kakiku dirantai besi. Kata mereka aku Ini gila. Dan mereka pun merubah namaku menjadi si Ali Sakit Jiwa.
Sebenarnya, sekarang hidupku cukup senang dengan nama baru kudapat, kini aku sudah bisa terbebas dari terjangan kaki penjajah berbaju belang. Atau hantaman pantat bedil yang membuatku hilang akal. Kecuali satu hal, aku masih menaruh dendam pada gadis sialan yang selalu datang dan tersenyum padaku setiap malam itu.
Aceh Barat Daya. 21-Agust 2014. Er. Fendra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H