Mohon tunggu...
Elfi Handayani
Elfi Handayani Mohon Tunggu... -

Elfi Handayani| Akuntansi UIN Jakarta 2011 | LDK Syahid UIN I Lisensi UIN Jakarta I BEM FEB I Komisi D Puskomda BantenI Pemilik 100 cita cita dan 1000 cara untuk mewujudkannya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ibu Jagoan di Hidupku

23 Desember 2014   09:01 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:39 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Karyati, wanita yang lahir pada tahun 1954 silam adalah pekerja keras, kini berusia 60 tahun, sosok wanita pemberani dan pantang menyerah yang biasa kupanggil sebagai ibu.

Semua orang pasti menyayangi ibunya, termasuk juga aku, anak kelima dan terakhir yang dimiliki oleh ibu.

Ibuku memulai hidup bersama orangtuanya beserta adiknya yang berjumlah 9 orang di Tasikmalaya, Jawa Barat. Bukan berasal dari ningrat apalagi berdarah bangsawan. Ibuku lahir ditengah keluarga sederhana yang penuh kehangatan. Sedari kecil ibuku telah menjadi perempuan kecil yang tegar sebelum berangkat ke sekolah, pasti beliau membantu pekerjaan orang tuanya dirumah, beliau selalu bangun sebelum adzan subuh berkumandang karena tugas membantu mencuci dan memasak itu menjadi kewajibannya.

Tak hanya sampai disitu,beliau menempuh jarak sekolah yang cukup jauh dari rumah, dan beliau tempuh dengan berjalan kaki, sampai melewati pasar pancasila yang cukup jauh dari rumah. Tak hanya sekolah formal yang beliau jalani, siang selepas pulang sekolah, biasanya ibu melanjutkan dengan mengikuti sekolah agama ditempat yang berbeda, ibu harus menempuh jarak yang cukup jauh pula sampai melewati persawahan dan juga bukit.

Selepas pulang sekolah, beliau pergi kerumah tetangga untuk membantu pengemasan lada untuk dijual, dimana setelah itu beliau mendapatkan upah yang akan beliau tabung dan disisihkan pula untuk membeli jajanan. Dengan segudang aktivitas selain bersekolah dan juga jarak yang ditempuh cukup jauh, tidak pernah menyurutkan langkah ibu untuk berprestasi disekolah, beliau beberapa kali menjadi perwakilan sekolahnya dalam perlombaan, contohnya lomba marathon tingkat kabupaten.

Ibuku, bersekolah hanya sampai Sekolah Menengah Pertama, karena kondisi finansial keluarga dan saat itu juga beliau mempunya 9 orang adik. Ibuku tak ingin tinggal diam, beliau mengikuti kursus gratis menjahit pada saat itu. Belajar dengan tekun dan penuh semangat itulah yang beliau lakukan, sehingga beliau mahir menjahit sampai dengan sekarang.

Lalu ibuku menikah dengan seorang arsitek di tasikmalaya bernama Kemas (Alm) yakni bapakku tercinta. Ibu dan bapakku lalu hijrah ke Jakarta, ibuku mempunyai lima orang anak yang pertama bernama Heny Rodiani, yang kedua bernama Herlan, ketiga bernama Cecep Wahyudin(Alm), keempat bernama Ellis Nurliani dan kelima adalahaku, Elfi Handayani.

Ayahku bekerja disebuah perusahaan jasa arsitek sampai akhirnya beliau terkena stroke, hal itu membuat ibuku memutar otak untuk membiayai hidup kami, anak-anaknya. Sejak ayah mengalami stroke, ibuku berjualan sayur dirumah. Berangkat kepasar pukul 02.00 wib setiap harinya, dimana kebanyakan orang sedang tertidur lelap, beliau sudah berangkat kepasar membeli sayuran untuk dijual dirumah. Angin malam, kegelapan dan kesunyian malam, tak pernah beliau hiraukan, yang ada hanya bagaimana untuk bertahan hidup dan memberikan rezeki yang halal untuk anak-anaknya.

Tahun 2000 saat aku masih duduk di kelas dua bangku Sekolah Dasar, ayahku meninggal, setelah tujuh tahun mengalami stroke. Kakak-kakaku sibuk mencari kerja kesana kemari untuk membantu ibu membiayai dua adik yang masih bersekolah dan juga membiayai kebutuhan rumah tangga.

Ibu tak henti-hentinya mendapatkan cobaan, kakaku mengalami sakit parah yang membuat ibu harus membayar rumah sakit yang cukup mahal pada saat itu. Ibu menawarkan tanahnya untuk dijual dan juga menawarkan sertifikat rumah, demi untuk membayar tagihan rumah sakit. Akhirnya ada tetangga kami yang bersedia membeli tanah kepunyaan ibu, untuk biaya rumah sakit sampai kakaku, Herlan sembuh sehat wal afiat.

Masa-masa sulit sudah ibu alami, tidak punya beras, tidak punya uang untuk membeli makanan dan hanya makan dalam satu kali sehari sudah pernah dialami oleh ibu. Aku tak bisa membayangkan bagaimana jika aku yang berada diposisi ibu, apakah aku sanggup menerima cobaan dengan sabar dan ikhlas seperti ibu. Oh Allah.. jagalah ibuku agar senantiasa dalam kehangatan cahaya iman-Mu

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun