Belajar dari Kematian Ibu Kartini

Sebagai perempuan,

kita merupakan pemilik tubuh. Artinya, ketika hamil dan melahirkan, kita juga yang memegang peran paling besar, mau hamil dan melahirkan seperti apa dan dalam kondisi yang bagaimana. Kita punya harapan kok, untuk nggak jadi pasien rujukan. Kita bahkan punya harapan, untuk membawa angin perubahan. Termasuk mengajak para penyedia jasa layanan kesehatan, untuk meningkatkan kualitas pelayanan.

Ini yang bisa kita lakukan:

1. Mempelajari segala hal yang berkaitan dengan kehamilan dan persalinan. Kenali tubuh kita. Pahami kapan sebaiknya hamil, kapan sebaiknya ditunda. Apa yang terjadi saat tubuh kita hamil, perubahan apa yang menyertai, supaya nggak kagetan. Kasihan dokter juga bu bidan, mereka sudah capek dan banyak urusan. Masa sih hanya karena untuk nanya, “Boleh nggak saya makan manisan?”, kita harus nelpon mereka tengah malam? *peace*

2. Menjalankan pola makan dan gaya hidup sehat seimbang. Percaya deh, dokter juga bakalan senang kalo pasien hamilnya sehat-sehat. Kata teman saya tadi, selain lebih minim risiko komplikasi, pasien yang menjalankan hidup sehat seimbang biasanya juga lebih langsing, cantik, dan bugar, meski dalam keadaan hamil.

3. Pelajari keterampilan yang bermanfaat dalam menjalani masa kehamilan dan proses persalinan. Jenisnya sesuaikan saja dengan kondisi tubuh, minat, dan keyakinan masing-masing. Mulai dari belajar olah napas, relaksasi, yoga, pilates, berenang, senam hamil, hypnobirthing, dan masih banyak lagi. Keterampilan ini penting, sebagai upaya mengelola ketidaknyamanan yang hadir seiring perubahan tubuh selama kehamilan. Ibu-ibu yang terbiasa belajar mengelola napas, berolahraga rutin, terampil menyelaraskan tubuh fisik, mental, dan spiritualnya, biasanya juga lebih tenang dan mampu berpikir secara seimbang dalam menghadapi persalinan.

4. Memeriksakan kehamilan secara teratur dan mencari provider yang mendukung (terbuka berdiskusi, mendukung persalinan normal, menerapkan IMD dan ASI ekslusif, rawat gabung, asuhan sayang ibu sayang bayi). Jika perlu, susunlah rencana persalinan (birth plan). Isinya bisa berupa harapan-harapan kita, mau “diperlakukan” seperti apa. Kepingin memilih posisi melahirkan yang nyaman, tulis. Ingin suami diijinkan mendampingi dan memotong tali pusar bayi, catat. Menjadikan Inisiasi Menyusu Dini minimal 1 jam sebagai syarat, cantumkan. Begitu juga dengan niat untuk menyusui secara ekslusif.

5. Kalau sudah, sampaikan harapan-harapan kita tadi bersama bidan atau dokter. Diskusikan mana yang memungkinkan untuk diterapkan, mana yang belum. Kapan bisa diterapkan, kapan tidak. Prinsipnya, jadikan nakes sebagai tim kompak dalam proyek kita nanti: persalinan aman, nyaman, minim trauma baik bagi kita, bayi, maupun nakes itu sendiri.

Lalu di mana peran laki-laki?

Bikinnya bareng-bareng, tanggungjawabnya juga bareng-bareng dong...

Itu sebabnya, ajak dan libatkan mereka, untuk menjalani segala prosesnya bersama-sama. Siap belajar, siap mengantar, siap jaga. Menyambut Sang Buah Cinta lahir ke dunia.

Semoga, perubahan-perubahan kecil yang kita mulai dari diri sendiri ini, pelan namun pasti, turut menyumbang peran dalam menurunkan angka kematian ibu (juga bayi!) di negeri ini.