Mohon tunggu...
Yulherina Chaniago
Yulherina Chaniago Mohon Tunggu... Dokter - Pemerhati Jaminan/ Asuransi Kesehatan, Ketua Perhimpunan Dokter Keluarga Indonesia

1. Magister Kesehatan Masyarakat\r\n2. Dokter\r\n3. Dukung Medika Selaras

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Profesi Dokter Tetap Didamba Walau Tanpa Kepastian Masa Depan

14 Mei 2015   20:51 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:02 185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pengumuman SNMPTN tahun 2015 sebagai salah satu jalur seleksi masuk ke perguruan tinggi negeri di seluruh Indonesia, menggambarkan bahwa program studi bidang kesehatan kembali menduduki peringkat atas pilihan calon mahasiswa. Harapan besar menjadi dokter, menempatkan program studi kedokteran diminati sebagain besar peminat, sehingga tidak sedikit siswa SMA dengan nilai baik, tidak lolos SNMPTN bukan karena nilainya, melainkan karena pilihan program studi yang diminati banyak calon mahasiswa.

Gambaran diatas berbanding terbalik dengan berbagai cerita tragis nasib dokter ketika bekerja diberbagai wilayah Indonesia, khususnya wilayah yang termasuk Daerah Tertinggal, Perbatasan, dan Kepulauan (DTPK). Berita terhangat adalah meninggalnya seorang dokter di Papua yang sedang mengabdi sebagai dokter Pegawai Tidak Tetap (PTT) akibat terserang malaria serebral. Papua memang wilayah endemik malaria, namun kehilangan seorang putra unggul bangsa, jelas merupakan kerugian besar bagi bangsa Indonesia yang sedang terseok-seok menggapai status negara berkembang yang bebas dari berbagai penyakit menular. Kalau saja siswa SMA yang berminat menjadi dokter tersebut membaca berita ini, seharusnya akan ada yang mencoba surut kebelakang, namun tidak demikian adanya, minat untuk menjadi dokter tetap besar, apapun yang akan dihadapi kelak.

Belum pupus dari ingatan diskusi yang cukup hangat juga terjadi dikalangan dokter beberapa waktu lalu tentang penolakan Judicial Review UU No 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteranyang tidak menghilangkan pasal pemidanaan dokter walau dinyatakan tidak ada pelanggaran disiplin oleh MKDKI. Bahkan pakar hukum tatanegara Prof. Mahfud MD ikut berkomentar yang intinya mengatakan dokter adalah profesi biasa sehingga tidak perlu diistimewakan dengan membuat kekhususan tentang pemidanaan. Adil dan wajar tanggapan beliau jika sudut pandang yang digunakan adalah kesamaan kedudukan setiap warganegera dimuka hukum. Namun kalau melihat kejadian sebagaimana dialami almarhum Dr. Dhanny Elya Tangke, rasanya Negara harus kembali melihat posisi dan tanggungjawab melindungi tenaga kesehatan yang ditugaskan diberbagai wilayah Indonesia, karena mereka menjalankan tugas pemerintah memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat.

Pemerintah tidak boleh memandang Indonesia dari kacamata kota besar, kota sedang, dan kota kecil saja, karena di Indonesia terdapat 35 kabupaten di 12 propinsi yang masih memiliki wilayah sesuai kriteria DTPK. Perhatian pemerintah harus besar pada wilayah tersebut, karena dengan penduduk yang terbatas dan sebaran luas, tidak ada pola pembiayaan yang sesuai selain pembiayaan penuh oleh pemerintah. Perhatian terhadap dokter dan tenaga kesehatan lain yang ditugaskan diwilayah tersebut, tidak boleh hanya diberikan dalam bentuk tunjangan daerah sangat terpencil yang memang lebih besar dari wilayah non DTPK, tapi itu tidak cukup untuk memberikan keamanan, kenyamanan dan kepastian masa depan. Walaupun sebagian besar dokter yang bersedia ditugaskan di DTPK tersebut melakukannya tanpa pamrih, namun sudah sepatutnya pemerintah memberikan perhatian lebih dengan melakukan monitoring keberadaan mereka, untuk memastikan semua berada dalam keadaan yang kondusif untuk menjalankan tugas. Rumor yang mengatakan sejawat Alm. Dr. Danny tidak mendapatkan pelayanan yang layak ketika dirujuk ke rumah sakit rujukan, menambah keyakinan, bahwa pemerintah tidak memiliki pola perlindungan yang efektif untuk tenaga diwilayah rentan musibah tersebut.

Perjuangan dokter untuk meminta peniadaan pasal pemidanaan bukanlah dimaksudkan untuk meminta pelakukan khusus, melainkan untuk menunjukkan dokter juga perlu dilindungi karena berbagai pekerjaan yang rentan konflik dengan pasien dan berbagai pemangku kepentingan. Jika pemerintah tidak mengabulkan permohonan tersebut, maka harus dibuatkan perangkat yang membuat dokter dapat membela diri dari tuntutan pasien dengan tuduhan malpraktik pada kasus Steven Johnson, atau Syok Anafilaktik yang terjadi karena reaksi alergi. Saat ini belum ada perangkat yang memungkinkan dokter dapat bekerja tenang, tidak melakukan defensive medicine agar terhindar dari berbagai tuntutan tersebut. Sikap sinis yang ditunjukkan berbagai pihak terhadap upaya judicial review itu tidak serta merta berubah menjadi simpati ketika dokter harus meregang nyawa didaerah yang tidak semua orang pernah dan mau ditugaskan ditempat tersebut.

Profesi dokter memang ujung tombak yang bersinggungan langsung dengan masyarakat, sudah sepatutnya dokter diberikan jaminan masa depan yang lebih jelas, khususnya untuk yang bersedia ditugaskan ditempat terpencil seperti wilayah DTPK tersebut. Masyarakat diwilayah terpencil juga berhak mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak dari tenaga kesehatan berkualitas, namun hak tersebut tidak akan terpenuhi jika tidak ada dokter yang bersedia ditugaskan ketempat tersebut. Pemerintah tidak akan kuasa memaksa dokter mengisi fasilitas kesehatan di wilayah DTPK, karena kebijakan WKS telah dibatalkan pada tahun 1992. Pemerintah hanya dapat berharap ada dokter yang tersentuh dan tergerak hatinya untuk bertugas di wilayah DTPK. Saat ini calon dokter kuliah dengan biaya mahal tanpa beasiswa, kecuali subsidi melalui institusi pendidikan negri yang sulit dipahami oleh mahasiswa. Kalaupun ada beasiswa, bentuk dan sifatnya sama dengan beasiswa untuk mahasiswa lain. Berbeda dengan pendidikan militer dan kepolisian yang dibiayai sepenuhnya oleh pemerintah, ditambah kepastian diangkat menjadi pegawia Negara pasca lulus kuliaj. Nyatanya uang kuliah dan berbagai keperluan lain, dibayar tunai oleh mahasiswa program studi profesi dokter.

Hidup tanpa kepastian memang tidak nyaman, namun rasa itu akan terkalahkan dengan dorongan hati untuk berbuat. Walau dengan gaji tidak seberapa, sekolah lebih lama, ada sertifikasi kompetensi, internsip, lalu PTT, tidak mengurangi hasrat putra bangsa untuk menjadi dokter. Gambaran bakti nyata tanpa bicara, langsung menyentuh masyarakat pengguna jasa, menawar sakit dan derita pasien, seolah obat yang menguatkan semangat putra bangsa yang memilih menjadi dokter dan mengabdi diwilayah terpencil. Malaria bukannya tidak diketahui sebelumnya, namun kuasa Ilahi lah yang membuat malaria lebih kuat dari daya tahan tubuh Dr. Danny, sehingga komplikasi membuat perjuangannya terhenti, dan membuat almarhum kembali ke Sang Pencipta lebih awal dari rerata bangsa Indonesia yang memiliki Umur Harapan Hidup sampai 71 tahun. Tidak ada asuransi profesi yang memberikan jaminan untuk kasus sejenis, begitu juga jika terjadi kematian karena kecelakaan atau bencana alam. Sungguh ironi yang memerihkan hati, jika melihat berbagai kemudahan dan kemewahan yang dimiliki oleh berbagai kompartemen Negara yang lain. Dibandingkan dengan uang muka kepemilikan mobil atau dana reses anggota DPR, jelas gaji seorang dokter PTT dengan risiko kematian, tidak ada nilainya. Entah kapan ironi ini akan berakhir, mungkin ketika tidak ada lagi putra bangsa yang berminat menjadi dokter. Sebuah banyangan yang nyaris tidak mungkin terjadi, karena profesi dokter masih dipandang sebagai profesi yang memiliki kemulian walau belum tentu kemewahan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun