Mohon tunggu...
Donny Anggoro
Donny Anggoro Mohon Tunggu... -

bukan siapa-siapa, hanya seorang yang ingin mempublikasikan gagasan-gagasan kecil ke dalam tulisan yang mungkin berguna

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Cemplon:Menakik melalui Lelucon

18 April 2011   10:30 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:41 694
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Umar Nur Zain lahir di Cirebon, 15 April 1939 dan wafat tahun 1996. Kiprahnya memang lebih banyak di bidang jurnalistik, walau tanpa disadari lewat Cemplon sesungguhnya ia berhasil menunjukkan kemampuan literernya. Ia mendapat gelar Bachelor of Arts tahun 1962 di Akademi Teater Nasional yang kemudian menjadi Sekolah Tinggi Publisistik. Istrinya, Retno Himawati seorang jurnalis di LKBN Antara. Ia pernah mengikuti Advance Editorial Course Thomson Foundation di Cardiff, Inggris. Menjadi wartawan serta redaktur di Berita Indonesia, Berita Yudha, Proklamasi, Sinar Harapan, dan terakhir di Suara Pembaruan sampai akhir hayatnya.

Selain Cemplon, ia juga menulis beberapa buku seperti Rissa (novel, dari cerita bersambung Suara Pembaruan tahun 1990), Piccadilly, dr. Anastasia, Namaku Wage, Bu Guru Dwisari, dan Belantara Ibu Kota. Ia juga menulis buku nonfiksi Penulisan Feature. Semua bukunya selain Cemplon kebanyakan diterbitkan Grafikatama Jaya, penerbit yang digagas dan dikelola sastrawan Satyagraha Hoerip - sampai Hoerip wafat. Karya lainnya, semisal Rissa, adalah kemampuannya mengolah wacana literer walau ditulis dengan populer. Ceritanya sangat sederhana, bahkan jika merujuk istilah zaman sekarang sangat kosmopolit. Rissa menceritakan seorang mahasiswa yang ketika terbangun mendapati dirinya berubah menjadi burung meliwis. Dalam pengembaraannya ia bertemu Rissa seorang wanita muda, cantik dan kaya, istri simpanan seorang pejabat. Mereka kemudian bersahabat karena Rissa lebih sering ditinggal sendirian oleh suaminya. Ada humor, suspens bahkan roman di Rissa. Sayang, karena dibuat sebagai cerita bersambung (dan barangkali ditulis kemudian langsung dimuat) endingnya terlampau keburu tuntas sehingga Rissa gagal menjadi serangkaian kisah yang menggigit sampai akhir.

Kendati demikian, Umar Nur Zain layak dikenang sebagai satu dari penulis yang kuat di negeri ini. Memang, ia tak sampai membuat karya yang lantas menuai pujian atau penghargaan sastra (namanya tak tercatat dalam Leksikon Sastra Indonesia Modern). Mungkin karena novel-novelnya semacam Rissa bukan karya yang penuh permenungan, namanya cenderung luput dalam kesusastraan Indonesia modern. Padahal lewat Cemplon yang sangat menggelitik ia telah berhasil menorehkan gaya baru yang tak begitu banyak ditekuni penulis-penulis kita di masa kini. Gagasan humor yang dipadu dalam cerita pendek itulah yang sesungguhnya mampu meretas dua bentuk kepenulisan sekaligus: sastra (ada kisah, tokoh sentral, imaji) dan jurnalistik (kejadian aktual, satire dan sarkasme).

Hikmat Kurnia, penyunting buku Cemplon, Maaf Anda Boleh Lewat yang diterbitkan Puspa Swara dalam pengantarnya menulis, ”Dengan cara ini ia bisa memasuki dan menelusuri semua peristiwa yang dijumpainya melompati batas-batas ruang, waktu bahkan logika,”

Di era 2000-an ada Sengklirip yang berkisah mirip Cemplon (menggunakan tokoh sentral dan memparodikan kejadian aktual) di majalah Djakarta! namun kurang menjadi kritik sosial yang menyentil. Ada Surat dari Palmerah di Jakarta Jakarta, tapi itu pun tak selalu menggunakan figur Sukab yang juga gemar ganti profesi. Sukab lebih banyak muncul dalam cerpen Seno Gumira Ajidarma (belakangan ia malah jadi serial komik). Ada esai Harry Roesli di Kompas atau kolom Sujiwo Tejo di Sinar Harapan yang lugas dan menyentil - tapi itu pun tak mempunyai figur, pun benang merah karena tidak ditulis berkesinambungan.

Cemplon sebagai masterpiece Umar Nur Zain di bidang jurnalistik, bahkan sastra sesungguhnya mengingatkan kita pada banyak hal. Di luar kritik sosial yang jika dibaca sekarang masih terasa kontekstual, kita belum lagi memiliki penulis andal yang mampu mengolah lelucon khas dan idiomatik. Wajarlah begitu Umar Nur Zain wafat, berakhir pula serial Cemplon - pun sampai harian Sinar Harapan, koran tempat pertama kali Cemplon muncul - terbit kembali pada 2002. Kepergian Umar nyaris belum tergantikan walau di masa kini muncul esais -kolomnis sosial -budaya atau politik yang cenderung serius dan tekstual - bahkan elitis, terutama yang ditulis budayawan.

Kepergian Umar seolah menunjukkan bahwa masih ada ragam kepenulisan kita yang tertinggal - karena ketidakbetahan dan nafsu banyak penulis untuk melebur segala khazanah seni, pemikiran atau apa pun juga ke masyarakat luas serta rasa penting tentang peran diri dalam sejarah. Cemplon adalah salah satu contoh bentuk tulisan yang hidup tanpa menjadi keminter. Ia jenaka tapi juga satire mirip Art Buchwald, seorang satiris kondang Amerika. Ia begitu lugas seperti A. Samad Ismail, penulis terkenal dari Malaysia (Samad adalah cerpenis dengan latar belakang jurnalistik yang kuat seperti Umar).

Membaca serial Cemplon sebenarnya akan sangat membantu kita dalam proses ”menjadi Indonesia” di tengah-tengah masyarakat kita yang tak dapat dipungkiri lagi sedang mengalami ”gegar budaya”. Ia menjadi sarana menertawakan diri sendiri agar dalam kehidupan yang ditulis Umar di pengantar Ny. Cemplon, unik, indah, semarak meski kadang pahit dan sengsara, kita bisa tersenyum kecut, meringis, mengumpat, bahkan bersyukur.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun