Mohon tunggu...
Donny Anggoro
Donny Anggoro Mohon Tunggu... -

bukan siapa-siapa, hanya seorang yang ingin mempublikasikan gagasan-gagasan kecil ke dalam tulisan yang mungkin berguna

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Cemplon:Menakik melalui Lelucon

18 April 2011   10:30 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:41 694
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pers Indonesia sebenarnya sudah pernah memiliki bibit unggul yang menjadi gagasan Tom Wolfe sejak 1973 dalam The New Journalism. Kala itu Wolfe mengawinkan disiplin dalam jurnalisme dengan kecantikan karya sastra. Lewat Cemplon yang lahir dari tangan Umar Nur Zain aspek tersebut sudah ada, walau di dalamnya lebih terkandung humor bernuansa parodi, bukan pada kedalaman berita yang ditulis dengan berkisah. Kendati demikian, Umar sudah memilikinya pada Cemplon yang ditulis dengan gaya cerpen (yang dengan hormat kita menyebutnya sebagai sastra). ”Kolom” atau ”esai” Cemplon adalah cerpen faktual yang mampu mencerahkan dari sisi humornya yang segar, cerdas dan menakik.

Ya, inilah ”jurnalisme sastra” ala Cemplon. Ia tak menggurui laiknya kolom yang ditulis tiap Minggu (Cemplon hadir setiap hari Minggu di Sinar Harapan sejak 1979, kemudian dilanjutkan di Suara Pembaruan ketika Sinar Harapan ditutup). Ia tak menjadi kisah mengharu-biru laiknya cerita bersambung di koran. Ia faktual tapi juga fiktif berbekal perkawinan penulisnya yang berlatar belakang jurnalistik dengan kemampuan literer. Ia pun nakal dengan memasukkan penulisnya sebagai pengemban misi sekaligus tokoh bersama Cemplon ciptaannya. Cemplon adalah cerpen, setengah esai karena muatan pribadi penulisnya. Kedalamannya bukan dari keberanian mengelola hal yang sulit. Justru dari kisahnya yang ”cuma” secuil (tulisan Cemplon paling-paling tak lebih dari 2-3 halaman spasi tunggal di layar komputer) terdapat kejernihan penulisnya mengelola hal faktual dalam kerangka humor sebagai cermin perkembangan dan kegagapan masyarakat kita.

Dalam Sederhana-isme (h.71, dalam Cemplon, Maaf, Anda Boleh Lewat, Puspa Swara, 1994) Cemplon didaulat berpidato untuk Hari Kebangkitan Nasional. Cemplon bersiap-siap. Dikenakannya longdres biru asal Eropa, parfum semerbak, dan sepatu yang dibeli di Italia sampai orang dari kejauhan melihatnya seperti berkilauan ditimpa terik matahari. Usai pidato Cemplon yang begitu berapi-api, ia malah kerepotan mencari butiran kalung perhiasannya yang gemerlap tiba-tiba copot dan berceceran di lantai. Ironis, padahal ia baru saja gembar-gembor menyerukan gaya hidup sederhana dalam pidatonya!

Kisah lain lagi, Film Televisi (h.23, Ny. Cemplon, Sinar Harapan, 1981) Cemplon yang mentang-mentang punya stasiun televisi merencanakan peliputan kunjungannya ke daerah yang baru saja tertimpa bencana alam gempa bumi. ”Lha, kok kamu sendiri yang jadi pemeran utama? Kan banyak bintang berbakat yang cantik-cantik?” tanya saya (‘saya’ di sini adalah Umar, si penulis).”Sekali-sekali boleh dong! Masak yang punya televisi nggak boleh?” jawab Cemplon ngotot.

Maka, jadilah pembuatan film dengan program peng-cover-an profil desa yang terkena gempa bumi. Tapi begitu film selesai, 70 persen adegannya habis untuk Cemplon. Di antaranya Cemplon sedang merenungi nasib korban gempa, Cemplon sedang memberi selamat, Cemplon geleng-geleng kepala dan seterusnya sampai wartawan yang diundang menonton memaki-maki. Maklum, Cemplon sudah menyiapkan berbagai kostum. ”Supaya penonton jangan bosan,” ujarnya genit. Ah, dengan mudah pembaca dapat menebak kisah ini adalah sindiran bagi pemilik stasiun televisi yang aji mumpung ingin jadi selebritis atau pejabat yang hanya ingin dilihat peduli kepada rakyat kecil…

Maka, dalam membaca Cemplon kita tak akan tergopoh-gopoh mencoba mengkaitkannya dengan kejadian aktual yang kebanyakan diambil dari suasana khas Jakarta. Ia mampu menyentil laiknya Sketsa Massa sebagai tulisan karikatural. Ia jenaka tapi cerdas tak kalah dengan kolom yang ditulis seorang budayawan. Bedanya, sentilan tersebut ditampilkan berkisah ala cerpen. Personifikasi tokohnya begitu fleksibel. Cemplon digambarkan cantik, langsing, seksi, centil, genit, kadang judes, pemarah, pemurung, ambisius, idealis dan lain-lain. Ia pun muncul sebagai tokoh yang multidimensi. Hari ini muncul di Bangkok, besok di Amerika, lusa ada di Afrika. Begitu juga pekerjaannya mulai dari penyiar radio, polantas, mucikari, pemilik stasiun televisi, istri pejabat sampai tukang santet! Sosok suaminya tak pernah digambarkan dengan jelas walau ia sudah berstatus ”nyonya”.

Cemplon karya Umar Nur Zain selanjutnya semakin bernyawa lewat gambaran kartunis senior Pramono dan S. Poerwono yang dalam setiap edisi selalu membubuhkan inisial ”Non-O” di sudut gambarnya. Popularitas Cemplon yang melambung era 1980-an di Sinar Harapan kontan membuat harian ini bak harian Kompas punya Oom Pasikom sebagai maskot. Bedanya, Oom Pasikom karya GM Sudarta lahir sebagai editorial cartoon dalam kerangka ”the art of protest”, Cemplon malah hadir dalam dua kerangka sekaligus, kartun dan kisah (yang notabene tentu juga bagian dari ”the art of protest” tadi!) Seperti Oom Pasikom (diperankan Didi Petet tahun 1992) yang diangkat ke film, Cemplon sempat diangkat ke layar kaca pada 1995 dengan Kris Dayanti sebagai pemerannya.

13031224871885081990
13031224871885081990

”Pada waktu Sinar Harapan Minggu pertama terbit, terpikir untuk menulis semacam Sketsa Massa dengan menggambarkan tulisan karikatural penduduk Jakarta yang bermacam-macam ini. Seorang guru saya, Soemarsono almarhum dari LKBN Antara yang memberi inspirasi. Ia pernah memberi keterangan, alangkah hebatnya Jakarta! Kalau kita berjalan ke mana saja tampak suasana karikatural. Dari situlah kemudian terpikir bahwa memang Jakarta adalah gudang sketsa tiada habisnya,” jelas Umar Nur Zain menceritakan proses kreatif Cemplon dalam pengantar buku Ny. Cemplon yang diterbitkan Sinar Harapan tahun 1981.

”Karena tulisan ini berkesinambungan, teman-teman menganjurkan untuk mencari tokoh tetap dan tiba-tiba saja nama Cemplon (yang memang tidak ada artinya itu) tak sengaja turun dari alam bawah sadar, ” tambah Umar.

***

Umar Nur Zain lahir di Cirebon, 15 April 1939 dan wafat tahun 1996. Kiprahnya memang lebih banyak di bidang jurnalistik, walau tanpa disadari lewat Cemplon sesungguhnya ia berhasil menunjukkan kemampuan literernya. Ia mendapat gelar Bachelor of Arts tahun 1962 di Akademi Teater Nasional yang kemudian menjadi Sekolah Tinggi Publisistik. Istrinya, Retno Himawati seorang jurnalis di LKBN Antara. Ia pernah mengikuti Advance Editorial Course Thomson Foundation di Cardiff, Inggris. Menjadi wartawan serta redaktur di Berita Indonesia, Berita Yudha, Proklamasi, Sinar Harapan, dan terakhir di Suara Pembaruan sampai akhir hayatnya.

Selain Cemplon, ia juga menulis beberapa buku seperti Rissa (novel, dari cerita bersambung Suara Pembaruan tahun 1990), Piccadilly, dr. Anastasia, Namaku Wage, Bu Guru Dwisari, dan Belantara Ibu Kota. Ia juga menulis buku nonfiksi Penulisan Feature. Semua bukunya selain Cemplon kebanyakan diterbitkan Grafikatama Jaya, penerbit yang digagas dan dikelola sastrawan Satyagraha Hoerip - sampai Hoerip wafat. Karya lainnya, semisal Rissa, adalah kemampuannya mengolah wacana literer walau ditulis dengan populer. Ceritanya sangat sederhana, bahkan jika merujuk istilah zaman sekarang sangat kosmopolit. Rissa menceritakan seorang mahasiswa yang ketika terbangun mendapati dirinya berubah menjadi burung meliwis. Dalam pengembaraannya ia bertemu Rissa seorang wanita muda, cantik dan kaya, istri simpanan seorang pejabat. Mereka kemudian bersahabat karena Rissa lebih sering ditinggal sendirian oleh suaminya. Ada humor, suspens bahkan roman di Rissa. Sayang, karena dibuat sebagai cerita bersambung (dan barangkali ditulis kemudian langsung dimuat) endingnya terlampau keburu tuntas sehingga Rissa gagal menjadi serangkaian kisah yang menggigit sampai akhir.

Kendati demikian, Umar Nur Zain layak dikenang sebagai satu dari penulis yang kuat di negeri ini. Memang, ia tak sampai membuat karya yang lantas menuai pujian atau penghargaan sastra (namanya tak tercatat dalam Leksikon Sastra Indonesia Modern). Mungkin karena novel-novelnya semacam Rissa bukan karya yang penuh permenungan, namanya cenderung luput dalam kesusastraan Indonesia modern. Padahal lewat Cemplon yang sangat menggelitik ia telah berhasil menorehkan gaya baru yang tak begitu banyak ditekuni penulis-penulis kita di masa kini. Gagasan humor yang dipadu dalam cerita pendek itulah yang sesungguhnya mampu meretas dua bentuk kepenulisan sekaligus: sastra (ada kisah, tokoh sentral, imaji) dan jurnalistik (kejadian aktual, satire dan sarkasme).

Hikmat Kurnia, penyunting buku Cemplon, Maaf Anda Boleh Lewat yang diterbitkan Puspa Swara dalam pengantarnya menulis, ”Dengan cara ini ia bisa memasuki dan menelusuri semua peristiwa yang dijumpainya melompati batas-batas ruang, waktu bahkan logika,”

Di era 2000-an ada Sengklirip yang berkisah mirip Cemplon (menggunakan tokoh sentral dan memparodikan kejadian aktual) di majalah Djakarta! namun kurang menjadi kritik sosial yang menyentil. Ada Surat dari Palmerah di Jakarta Jakarta, tapi itu pun tak selalu menggunakan figur Sukab yang juga gemar ganti profesi. Sukab lebih banyak muncul dalam cerpen Seno Gumira Ajidarma (belakangan ia malah jadi serial komik). Ada esai Harry Roesli di Kompas atau kolom Sujiwo Tejo di Sinar Harapan yang lugas dan menyentil - tapi itu pun tak mempunyai figur, pun benang merah karena tidak ditulis berkesinambungan.

Cemplon sebagai masterpiece Umar Nur Zain di bidang jurnalistik, bahkan sastra sesungguhnya mengingatkan kita pada banyak hal. Di luar kritik sosial yang jika dibaca sekarang masih terasa kontekstual, kita belum lagi memiliki penulis andal yang mampu mengolah lelucon khas dan idiomatik. Wajarlah begitu Umar Nur Zain wafat, berakhir pula serial Cemplon - pun sampai harian Sinar Harapan, koran tempat pertama kali Cemplon muncul - terbit kembali pada 2002. Kepergian Umar nyaris belum tergantikan walau di masa kini muncul esais -kolomnis sosial -budaya atau politik yang cenderung serius dan tekstual - bahkan elitis, terutama yang ditulis budayawan.

Kepergian Umar seolah menunjukkan bahwa masih ada ragam kepenulisan kita yang tertinggal - karena ketidakbetahan dan nafsu banyak penulis untuk melebur segala khazanah seni, pemikiran atau apa pun juga ke masyarakat luas serta rasa penting tentang peran diri dalam sejarah. Cemplon adalah salah satu contoh bentuk tulisan yang hidup tanpa menjadi keminter. Ia jenaka tapi juga satire mirip Art Buchwald, seorang satiris kondang Amerika. Ia begitu lugas seperti A. Samad Ismail, penulis terkenal dari Malaysia (Samad adalah cerpenis dengan latar belakang jurnalistik yang kuat seperti Umar).

Membaca serial Cemplon sebenarnya akan sangat membantu kita dalam proses ”menjadi Indonesia” di tengah-tengah masyarakat kita yang tak dapat dipungkiri lagi sedang mengalami ”gegar budaya”. Ia menjadi sarana menertawakan diri sendiri agar dalam kehidupan yang ditulis Umar di pengantar Ny. Cemplon, unik, indah, semarak meski kadang pahit dan sengsara, kita bisa tersenyum kecut, meringis, mengumpat, bahkan bersyukur.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun