Mohon tunggu...
Donny Anggoro
Donny Anggoro Mohon Tunggu... -

bukan siapa-siapa, hanya seorang yang ingin mempublikasikan gagasan-gagasan kecil ke dalam tulisan yang mungkin berguna

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Saya dan Buku

15 April 2011   05:41 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:47 219
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

the power of book blog kompasiana

Sebagai penulis hidup saya tentu tak lepas dari buku. Pertamakali saya berkenalan dengan buku tatkala masih bocah. Sebelum saya tergila-gila pada buku dan belum bisa membaca saya tertarik pada gambar-gambarnya. Lama-lama ketika saya sudah lancar membaca saya selalu menemukan pengalaman menarik dari kegiatan membaca. Kakak saya yang seorang kutu buku banyak membeli buku-buku komik dan lain-lain. Karena semasa kecil saya penyakitan saya dilarang keluar dan lebih banyak berdiam di rumah. Dan berdiam di rumah berarti saya banyak menghabiskan waktu dengan membaca.

Ada kepuasan tersendiri membaca buku di rumah. Buku pertama yang saya baca adalah komik ACT (Album Cerita Ternama) yang mengadaptasi berbagai karya sastra terkemuka menjadi komik. Buku lainnya yang saya sergap adalah komik petualangan Tintin, komik Walt Disney, komik Gundala, komik Godam, komik-komik Superman, Batman, Spider-Man, Lucky Luke, Asterix, Iznogoud, Lampil, Tanguy & Laverdure, Roel Djikstra, Storm, Arad & Maya, komik-komik lokal Indonesia macam karya Kusbram, Ganes TH, Yan Mintaraga, Hasmi, Wid NS, R.A Kosasih, cerita Trio Detektif, Lima Sekawan, Sapta Siaga, buku cerita seri “Kancil” yang banyak memuat cerita terjemahan dan juga buku-buku karya Seno Gumira Ajidarma, Agatha Christie, Georges Chaulet, Putu Wijaya, Hilman Hariwijaya,Umar Nur Zain, Arswendo Atmowiloto, Teguh S. Harianto, Dwiyanto Setyawan, Djokolelono, Danarto, Iwan Simatupang, Budi Darma, dan Mochtar Lubis.

Dulu ketika tubuh saya masih ringkih buku adalah teman terbaik yang saya punya. Membacanya saya terbawa ke alam lain yang penuh petualangan fantastis sehingga saya lebih suka membaca daripada bermain. Dengan membaca buku saya jadi lupa kesedihan terhadap penyakit asma yang saya derita. Hidup rasanya menjadi lebih berwarna dengan membaca. Saya yang minder jadi percaya diri setelah membaca buku. Jika bertemu dengan teman-teman saya lebih suka kepada teman-teman sebaya yang juga senang membaca sehingga sering bertukar pinjam.

Kebetulan keluarga kami adalah pencinta baca sehingga setiap hari Sabtu atau Minggu agenda yang paling sering dilakukan bersama-sama keluarga adalah pergi ke toko buku. Selain itu saya juga anggota perpustakaan sekolah dan gereja yang cukup aktif. Dulu saya paling sering meminjam komik serta buku-buku cerita terjemahan dan karya lokal anak-anak macam “Si Doel” terbitan Balai Pustaka, karena buku yang paling banyak ada di sana adalah terbitan Balai Pustaka.

Dari kebanyakan membaca juga menonton film dan mendengarkan musik sejak kecil ini saya kemudian berangan-angan untuk suatu saat menulis cerita sendiri. Buku buat saya mengandung kekuatan yang tak bisa ditawar. Selain membawa saya ke alam fantasi buku buat saya punya kekuatan untuk menertibkan imajinasi atau pikiran yang suka mengembara ke mana-mana menjadi lebih terarah. Sampai dewasa saya selalu membawa buku sebagai teman menunggu di kafe.

Dari buku saya belajar budi pekerti dan kesetiakawanan dari komik Tintin, Tom Sawyer, Oliver Twist, dan Huckleberry Finn. Selain itu buku petualangan Fantomette karya Georges Chaulet dan juga Trio Detektif karya Alfred Hitchcock untuk pembaca remaja membentuk saya menjadi remaja yang pemberani. Buku Agatha Christie dan Sherlock Holmes membuat saya jadi suka menganalisis masalah. Sedangkan bacaan yang tergolong sastra seperti cerpen Seno Gumira, Mochtar Lubis (terutama buku “Harimau! Harimau!”), Danarto, Iwan Simatupang, Budi Darma, dan Putu Wijaya membentuk saya untuk lebih menghargai hidup dan paham bahwa ada banyak kehidupan lain yang bisa dijelajahi selain kehidupan pribadi kita.

Membaca sastra buat saya selain itu adalah juga latihan mengelola imajinasi yang justru malah membuat saya makin terobsesi untuk menulis cerita sendiri. Uniknya saya baru menyadari cerita yang tergolong sastra macam karya Putu, Seno dan lain-lain adalah karya sastra ketika menginjak bangku SMA. Dahulu saya tidak suka bacaan roman percintaan sehingga lebih suka buku yang menceritakan sisi kehidupan lain yang ternyata adalah karya sastra. Kenapa dulu saya tidak menyadarinya lantaran buku-buku yang saya baca itu tidak disinggung dalam pelajaran Bahasa Indonesia dan Sastra di sekolah. Keika saya tanaykan kepada kakak saya, kakak saya hanya menjawab buku-buku yang saya baca itu termasuk jenis avant-garde. Avant-garde istilah apa lagi itu, saya tidak mengerti walau kakak sudah menjelaskan. Kira-kira dulu artinya “memberi sesuatu yang lain atau baru”.

Dahulu saya malah kurang suka membaca sastra klasik macam “Sitti Nurbaya” dan “Layar Terkembang” karena bahasanya yang buat saya aneh dan terlalu berbunga-bunga tidak tedeng aling-aling macam karya Seno atau Putu yang begitu lincah dan lancar sehingga lebih enak dibaca. Apalagi settingnya kebanyakan kota Jakarta tempat saya tinggal sehingga kadang saya merasa seperti terwakili jika membaca kehidupan orang-orang kecil yang ditindas, atau orang-orang yang berperilaku anehdalam cerita-cerita mereka.

Tatkala menginjak bangku SD kelas lima saya mulai tertarik menulis cerita sendiri berupa novel akibat provokasi kawan kecil saya, Renatha namanya, yang mengajak saya menulis cerita di buku catatan. Renatha juga menulis cerita petualangan polisi di Jakarta yaitu “Mayor FX”. Cerita-cerita yang ditulis dibaca kami bergantian ketika jam istirahat atau saya juga pinjamkan kepada kawan-kawan sekelas lainnya yang berminat membaca. Sayangnya “Mayor FX” tak selesai digarap Renatha. Ia malah bangga dan tentunya sedikit iri hati karena saya bisa menyelesaikan cerita saya sendiri sampai tamat seraya merekomendasikan cerita saya kepada teman-teman lain untuk membacanya.

Dulu kelas lima SD karena hobi baca dan tulis saya sampai menyelesaikan dua buku novel yang saya tulis di buku catatan bersampulbiru dan merah. Judulnya “Grrrrhhhh!!!” (1986) di buku bersampul merah dan “Misi Kobra Putih” (1987) di buku bersampul biru.

Buku pertama mengisahkan alien dari planet Mars yang tedampar ke Bumi tatkala tubuhnya yang kecil dan ringkih menempel di pesawat ruang angkasa yang pulang dari penyelidikan di planet Mars. Ketika di Bumi menjumpai manusia, tubuhnya bisamenjadi mudah berkembang biak karena di planet asalnya, mars, ia termasuk spesies yang hampir punah.Di Bumi ia menggunakan tubuh manusia untuk berkembang biak menjadi banyak dan mengganggu kehidupan manusia. Setelah diketahui asal usul mereka dari Mars terutaam ketika seorang tentara berhasil menangkap alien itu hidup-hidup (karena ia sulit dimusnahkan dengan senjata api teknologi bumi) dan menelitinya, tim ekspedisi Mars kemudian mengolah bahan yang dulu ditemui di Mars menjadi bahan peledak bernama Marsunium untuk melawan mereka sebagai senjata. Bahan peledak itu diolah menjadi serbuk yang dimasukkan ke dalam butir peluru atau dibuat menjadi bom yang walhasil dapat menangkal serbuan alien itu. Ide cerita ini saya dapat setelah menonton film “Aliens” (1986) karya James Cameron dan “A Nightmare on Elm Street” (1984) karya Wes Craven. Saya mengolahnya jadi cerita aksi yang penuh horor dan bergelimangan darah.

Buku kedua “Misi Kobra Putih” adalah cerita tentang pasukan bersenjata anti teroris bernama “Kobra Putih” yang bertugas melawan penjahat yang ingin menguasai Bumi. Settingnya tahun 2030. Idenya didapat dari film “The Delta Force” (1986) yang dibintangi aktor laga populer kala itu, Chuck Norris dan film kartun prajurit luar angkasa yang pernah ditayangkan Senin sore pukul 17.30 di TVRI “Galaxy Rangers”. Tentu saja buku tersebut penuh dengan persenjataan dan kendaraan canggih mesa depan karena saya suka cerita fiksi ilmiah seperti cerita Jules Verne dan HG Wells di samping saya tergila-gila pada “Bintang Hitam” karya Djokolelono.

Kedua buku itu ketika “terbit” cukup mendapat sambutan dari kawan-kawan sekelas. Yang menariknya lagi salah satu gadis tercantik di sekolah kami tapi bukan teman sekelas, Stefanie namanya, suka dengan cerita yang saya buat. Hati saya berdebar-debar setiap mendengar Stefanie yang memuji-muji cerita saya. Tapi dulu saya hanya menyimpan kekaguman saya di dalam hati saja karena belum terpikirkan untuk pacaran kala masih bocah. Yang terpikir hanya senang saja punya penggemar cantik.

Sayangnya ketika SMP awal 1990-an dua buku tersebut raib entah ke mana karena terbawa banjir yang melanda rumah kami. Harta lainnya yang rusak selain kedua buku tersebut adalah kaset dan buku serta majalah koleksi saya. Saya sedih sekali bahkan sempat menangis menyesali kejadian ini. Sampai sekarang saya masih terkenang-kenang buku karya saya yang pertama hasil dari pergulatan imajinasi saya dan tentunya kekuatan dari buku akibat suka membaca.

Sampai menginjak dewasa saya selalu menemukan kekuatan dari buku-buku yang saya suka. Sampai sekarang buku cerpen Seno Gumira Ajidarma “Manusia Kamar” (CV Haji Masagung, 1987) dan Putu Wijaya “Gres” (Balai Pustaka, 1982) juga “Harimau!Harimau!” karya Mochtar Lubis dan “Koooong” karya Iwan Simatupang (keduanya dulu terbitan Pustaka Jaya pada 1980-an) adalah buku-buku yang mendorong saya untuk menulis cerita sendiri dan takkan pernah terlupakan dalam hidup saya.

Sampai dewasa buku-buku koleksi saya makin bertambah bahkan saya pernah mengelola toko buku sederhana di Cempaka Putih, Jakarta. Sayangnya toko buku yang saya bangun bersama almarhumah pacar saya hanya bertahan satu tahun karena sepi pembeli dan juga salah lokasi. Tapi meskipun sudah tutup, buku-buku yang masih tersisa kadang saya jual di acara-acara seminar di hotel berbintang dan acara diskusi di kampus. Semuanya hingga kini akhirnya habis terjual. Hasilnya kebanyakan saya pergunakan buat beli buku lagi.

Saya benar-benar merasakan kekuatan bukudari kecil hingga dewasa membentuk saya untuk menjadi penulis sepenuhnya. Buku-buku Alfred Hithcock, Seno, Putu, Mochtar Lubis, dan Budi Darma membentuk saya menjadi penulis cerita. Puisi-puisi Sapardi dan Subagyo Sastrowardoyo membentuk saya jadi penulis puisi. Esai-esai budaya Jacob Sumardjo, Hikmat Darmawan,dan Radar Panca Dahana membuat saya menjadi eseis. Tulisan-tulisan yang saya buat kebanyakan artikel kebudayaan populer tentang ulasan buku, komik, sastra dan film membuat hidup saya tak bisa lepas dari buku. Bahkan cerpen dan buku saya ada kini sedang diolah oleh perusahaan yang bergerak di bidang internet khususnya content provider menjadi e-book.

Membaca buat saya selain terbawa ke alam fantasi yang berbeda dan menambah wawasan juga saya seperti menemukan diri saya sendiri yang di dalamnya saya bisa ambil bagian untuk berperan, yaitu menulis. Buku adalah oase dan motivasi dalam hidup yang terasa makin sulit ini. Singkatnya buku adalah sahabat yang tidak pernah membosankan dalam hidup kita.*

Rawamangun, April 2011.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun