Mohon tunggu...
Nanda Zayf
Nanda Zayf Mohon Tunggu... -

Ilegaleri Seart

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mbok Sukasih

5 Maret 2017   13:05 Diperbarui: 29 April 2017   23:59 281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tak lama, kutemukan nenek tadi dengan suara sisiran sapu yang terbawa angin terdengar dari balik kios kecantikan. Kuhampiri perempuan separuh baya yang sedang memisahkan botol plastik di antara tumpukan sampah lainnya. Kusapa dia kembali dan melontarkan pertanyaan- pertanyaan singkat untuk menjawab rasa penasaranku tentang mahluk Tuhan yang mulia ini. Sukasih namanya. Usianya sudah mencapai 65 tahun. Sebagian besar hidupnya bergantung pada pekerjaan sebagai tukang sapu lorong pasar, tepatnya di wilayah deretan kios counter handphone dan lantai dua kios-kios yang menjajakan tekstil. 

Dari pengakuannya yang terdengar lirih, Mbok Sukasih, begitu aku memanggilnya, memulai pekerjaannya setelah pintu besi kios-kios mulai tertutup. Mungkin sekitar pukul 23.00 WITA Mbok Sukasih menyisir lorong demi lorong, dari ujung pasar satu ke ujung yang lain, dari lantai satu hingga lantai dua hanya untuk menyingkirkan sampah yang tidak berada pada tempatnya. Beliau juga memanfaatkan pekerjaannya untuk menyisihkan botol dan kardus yang bisa dia jual lagi ke pedagang rongsokan. 

Gemericik hujan di atap mengiringi cerita Mbok Sukasih. Rambut putihnya berkilau saat kilat kembali menyala. Tangannya yang tampak tulang dan kulit sesekali menyeka jidat kerutnya akibat tetesan hujan yang mencuri celah atap. Sudah 25 tahun mbok kerja di sini, jauh sebelum pasar ini sempat terbakar mbok sudah hidup di sini. Ya, beginilah pekerjaan mbok setiap hari bersihkan lorong-lorong. Kalau bukan mbok yang bersihkan, pasti lorong-lorong ini jadi lebih kotor karena nggak ada lagi yang mau, ujar Mbok Sukasih sambil berjalan tertatih-tatih menuju lantai dua. Kulihat jam tanganku menunjukkan pukul 01.45 WITA. 

Harusnya, wanita seumuran Mbok Sukasih sudah beristirahat dan tidur nyenyak di rumah. Menikmati masa tua bersama cucu dan keluarganya tanpa harus terbebani dengan pekerjaan hanya untuk sesuap nasi. Sekilas dalam benakku terbesit pertanyaan apakah Mbok Sukasih sudah tak memiliki keluarga yang mampu mengurusnya? Entahlah. Berbagai macam pertanyaan berkecamuk di kepalaku, tapi enggan kulontarkan semuanya hanya karena aku bersikukuh mempertahankan etika yang pernah diajarkan orang tuaku.

          Sungguh tak tega mata ini menyaksikan perjuangan seorang nenek renta untuk lorong pasar yang lebih banyak orang tak mempedulikannya. Bahkan pikiran beberapa manusia elite lainnya, lorong pasar berkesan kumuh. Padahal di balik pemikiran-pemikiran cetek itu ada seseorang yang berjuang demi kebersihan lorong pasar. Mbok Sukasih masih terus berkutat membersihkan ubin lantai lorong yang sudah tak berbentuk lagi. Tapi kali ini, bukan sapu yang dipegangnya, melainkan kain lap basah bertongkat untuk mengepel sepanjang lorong lantai dua.  Mbok bersihkan pasar ini sendirian, Mas, nggak ada yang bantuin. 

Dinas kebersihan cuma terima angkut sampah yang di depan setelah mbok kumpulkan. Mereka mana mau bersihkan sampai lorong-lorong ini, ujarnya menceritakan kisah sambil memeras kain pel yang mulai pekat. Mbok di sini digaji berapa sama Dinas Pasar? Spontan kulontarkan pertanyaan yang terbesit begitu saja setelah mendengar kisahnya. Dengan tegas mbok Sukasih membantah hingga membuat keningnya mengeluarkan urat-urat tegang. 

Saya nggak digaji mereka, Mas! Yang digaji Cuma tukang yang angkut sampah di depan. Terkadang mbok dikasih pedagang-pedagang pasar. Saya ikhlas bersihkan lorong ini. Dikasih ya saya terima, nggak dikasih ya sudah ikhlas saya, lanjutnya pasrah. Dinas pasar sebenarnya sudah tahu lama kalau mbok yang bersihkan lorong ini. Tapi ya begitu, seakan mereka nggak mau tahu. Sepeser pun saya nggak pernah dikasih dari Dinas Pasar dan saya pun juga nggak pernah minta. Kisah pilunya membuatku terdiam sepanjang perjalanan pulang. 

          Angin sisa hujan yang dinginnya menusuk hingga ke tulang hampir tak bisa kurasakan. Pikiranku hanya terpaku pada kisah Mbok Sukasih. Aku tak habis pikir, bagaimana bisa tak ada penghargaan satu pun untuk seseorang yang berjuang keras menjaga kebersihan lorong pasar itu. Apalagi di usianya yang mencapai senja, dan seorang wanita yang seharusnya tak bekerja sekeras itu hingga sepertiga malam. Ya, aku benar-benar tak habis pikir, pun dengan diriku yang sialnya saat ini cuma bisa memikirkannya tanpa bisa membantu banyak menyelamatkan kehidupan Mbok Sukasih.

By: Arananda

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun