"Sayang anak! Sayang anak! Ayo, jajan murah-meriah buat anak. Murah, cuma lima ribu perak". Begitulah cerocos seorang pedagang mainan anak-anak saat menawarkan barang dagangannya kepada penumpang KRL Ekonomi jurusan Bogor-Jakarta, akhir pekan lalu. Sesaknya penumpang, tak menjadi rintangan bagi si penjual mainan anak ini. Ya, sesekali memang ada penumpang yang membeli mainan-mainan itu diantaranya robot-robotan, kapal-kapalan, mobil- mobilan sampai gangsing. Di KRL Ekonomi memang sudah menjadi pemandangan biasa setiap hari, tak hanya padat dengan penumpang, tapi para pedagang, pengemis, pengamen, hingga penyapu kereta berebut mengais rejeki. Rata-rata, barang yang dijual kebanyakan produk imitasi terutama impor dari China. Tak hanya mainan anak-anak, beragam aksesoris, jam tangan, kacamata, korek api gas, perabotan rumah tangga, sampai alat untuk memasukkan benang ke jarum yang dijual Rp 500,-, mudah dijumpai. Belum lagi buah impor yang dijual juga dengan harga miring. Seorang pedagang saat diajak berbincang oleh penulis mengakui jika produk impor lebih banyak dilempar ke pasaran lantaran harganya yang murah dan bentuknya menarik karena tiruan dari produk asli. Istilahnya barang aspal alias asli tapi palsu. "Ngambil barangnya dari agen di Tanah Abang atau Senen, semua produk China," aku Aboy, seorang pedagang mainan anak. Dia mengaku tak ambil pusing dari mana asal barang dagangannya. Terpenting laku dijual dan dapat untung banyak. "Rata-rata yang jualan mainan di kereta semuanya barang luar, lumayan laku sih karena harganya murah dan mirip aslinya," imbuh pria berperawakan kurus itu. Kendati demikian, Aboy mengakui jika kualitas barang-barang tiruan ini sangat rendah. "Ya, namanya juga buatan China, tahulah, harganya juga murah. Kalau pengen awet, beli aslinya tapi pasti mahal," paparnya. Memang, beberapa tahun ini produk impor banyak membanjiri pasar dalam negeri. Hal itu tidak terlepas dari Perjanjian Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN-China atau lebih dikenal dengan istilah ACFTA telah berjalan hampir dua tahun, terhitung dari Januari  2010. ACFTA merupakan kebijakan perdagangan bebas antara negara-negara ASEAN dengan China. Usulan pertama dicetuskan oleh China pada November 2000, kemudian ditandatangani pada 4 November 2002 di Phnom Penh, Kamboja, oleh sebelas kepala pemerintahan. China berani mencetuskan ide ini, karena mereka telah memprediksi sanggup menggeser Amerika Serikat di posisi ketiga dalam hal perdagangan dengan ASEAN setelah Jepang dan Uni Eropa di posisi satu dan dua. Dampak dari ACFTA ini, paling sederhana seperti terlihat maraknya pedagang asongan di KRL Ekonomi Bogor-Jakarta. Belum lagi di toko-toko rumahan, supermarket bahkan pasar tradisional, beragam merek China sangat mudah dijumpai. Produk China menguasai setiap lini di negeri ini, karena menyediakan barang kebutuhan sehari-hari dengan kualitas seadanya, harga murah meriah semakin membuat produk China laris-manis. Nah, lalu kemanakah produk dalam negeri? Kenapa sampai kalah bersaing sehingga lambat laun tersisihkan dari negerinya sendiri? Usut-punya usut, produk Indonesia sulit bersaing akibat harga bahan baku dan produksi yang tinggi. Tak ayal, permintaan akan produk China semakin meningkat lantaran harga jual yang di bawah produk dalam negeri. Hal ini tentunya menguntungkan konsumen karena dapat membeli produk dengan harga lebih murah. Sayangnya, membanjirnya produk asing ini dipastikan akan menghancurkan industri dalam negeri. Sudah berapa banyak pabrik yang gulung tikar gara-gara bahan baku mahal, biaya operasional dan produksi yang membengkak, sementara saat produk dilempar ke pasaran tak diminati konsumen. Ujung-ujungnya pemutusan hubungan kerja (PHK) massal sehingga kian menambah jumlah pengangguran. Oleh karena itu, pemerintah harus memberikan proteksi dan penguatan kapasitas terhadap industri dalam negeri dengan menekan harga bahan baku dan biaya produksi. Selama ini, listrik dalam komponen biaya industri merupakan komponen yang cukup besar. Kenaikan tarif dasar listrik (TDL) menjadi pemicu peningkatan biaya produksi industri barang dan jasa, serta bahan kebutuhan pokok masyarakat. Dalam hitungan pemerintah dan PLN, rata-rata kenaikan TDL hanya sebesar 10% dan khusus untuk industri 15%. Akan tetapi, dalam kenyataannya dunia usaha menanggung beban kenaikan mencapai 40%. Bahkan untuk sektor tertentu beban kenaikannya mencapai 60%. Bagi industri, kenaikan beban listrik yang memicu peningkatan biaya produksi dapat mengubah peta persaingan pasar antara produk lokal dan impor. Pada sisi lain, tanpa peningkatan daya beli masyarakat, kenaikan biaya listrik itu semakin memberatkan konsumen rumah tangga dan juga dunia usaha. Sebelum ada kenaikan tarif listrik saja, dunia usaha terutama sektor industri manufaktur sudah mengalami persoalan daya saing dan kewalahan melawan serbuan produk impor yang kian membanjir dengan harga murah. Apalagi dengan berlakunya ACFTA, persaingan semakin sukar dimenangi industri dalam negeri. Letak masalahnya di mana? Inti persoalan kelistrikan nasional yang sudah bertahun-tahun tidak bisa diselesaikan secara tuntas oleh pemerintah dan PLN adalah akibat struktur biaya produksi dan jaringan listrik yang tidak efisien serta pasokan tidak memadai. Dari sisi struktur biaya, peranan pembangkit PLN yang menggunakan energi primer berupa bahan bakar minyak (BBM) masih tergolong besar. Dengan demikian, menjadi sangat penting bagi pemerintah dan PLN untuk mempercepat konversi penggunaan energi primer BBM ke energi primer lain seperti gas alam. Dengan mendorong diversifikasi penggunaan energi domestik kepada gas, setidaknya akan mengurangi tekanan tambahan permintaan pada sumber energi BBM. Hal ini sebenanrnya menjadi poin pertama dari prioritas Program Aksi Ketahanan dan Kemandirian Energi dalam pemerintahan SBY-Boediono. Dalam masalah gas, pemerintah harus mulai berani mengambil sikap tegas. Kalau memang industri dalam negeri membutuhkan gas dalam jumlah besar, maka kontrak jual beli gas dengan negara asing harus diamandemen. Dengan ketersediaan gas dan listrik yang cukup dan berharga murah, maka industri dalam negeri akan makin siap bersaing dengan industri China di era ACFTA. Dalam beberapa tahun terakhir, kebutuhan gas semakin meningkat seiring semakin luasnya penggunaan sumber energi ini baik untuk industri maupun untuk rumah tangga dan sebagai bahan baku industri. Konsumsi gas sebagai energi final adalah ketiga terbesar setelah BBM dan batubara, lebih tinggi dari listrik dan LPG. Namun ada masalah terkait industri gas selain produksi adalah pasokan untuk kebutuhan dalam negeri yang masih terbatas. Pembentukan harga yang tidak sepenuhnya memakai prinsip pasar di dalam negeri membuat sebagian produksi dijual ke pasar luar negeri. Kondisi ini membuat kepastian pasokan untuk industri kebutuhan dalam negeri belum stabil. Pemerintah mencoba mengatasi hal ini dengan kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) dan memprioritaskan alokasi gas dari lapangan baru yakni Lapangan Donggi–Senoro untuk kebutuhan domestik. Saat ini memang produksim gas Indonesia terus digenjot. Namun permasalahan krusial yang terjadi adalah kebijakan pasokan gas domestik yang masih tersandera masalah kontrak dan keterbatasan infrastruktur. Untuk itu, kebijakan DMO harus bisa menjamin ketahanan dan kemandirian energi. Sayangnya revisi terhadap UU Migas hingga kini masih terkatung-katung. Maka tak heran jiga ada anggapan pemerintah tak serius menjaga dan memperbaiki ketahanan energi nasional. RUU Migas yang sudah diajukan sejak 2004, sampai hari ini belum ada kejelasan. Ini menunjukkan pemerintah tak memiliki keseriusan menangani persoalan energi. Peraturan Menteri (Permen) ESDM No 2/2008 Tentang Domestic Market Obligation (DMO), Pasal 1 menyebutkan Kontraktor berkewajiban menyerahkan 25% bagiannya dari hasil produksi minyak dan gas bumi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Memang, urusan gas berbeda dengan minyak. Kalau minyak boleh dijual ke siapa saja, sedangkan gas tidak bisa dijual sembarangan. Begitu juga soal pembangunan LNG, tidak semudah membangun ICP. Kilang LNG tidak akan dibangun jika tidak ada kepastian pembeli, sedangkan proses negosiasi memakan waktu cukup lama bisa mencapai 3-5 tahun. Soal negosiasi ulang Blok Tangguh, juga tidak semudah membalikan telapak tangan, karena ada implikasi legal dan bisa terkena penalty. Terkait pasokan dalam negeri, juga masih dihadapkan pada banyak masalah seperti kelangkaan gas. Kita sering menonton ibu rumah tangga yang mengeluhkan langkanya gas, sehingga mengakibatkan harga naik. Di stasiun pengisian gas, truk-truk pengangkut tabung gas antre karena pasokan berkurang gara-gara distribusi pipa penyalur terganggu. Keberadaan PT Perusahaan Gas Negara (PGN) juga belum menjadi prioritas pasokan gas dari negara. PGN merupakan perusahaan milik negara yang didirikan untuk menyalurkan gas dari daerah eksploitasi minyak dan gas kepada konsumen. Dalam peraturan menteri disebutkan, prioritas pasokan gas adalah untuk perusahaan minyak, gas, listrik, baru PGN. Jadi PGN ini bukan perusahaan penghasil gas melainkan perusahaan penyalur. Namun, ke depan PGN juga akan membeli sumur-sumur gas untuk mengelola gas alam cair (LNG) menjadi gas, sehingga bisa menjadi perusahaan gas bukannya perusahaan pipa gas negara. Ketika PGN didirikan pada 1859, bisnis inti PGN adalah mendistribusikan gas ke kawasan perumahan. Seiring dengan waktu, kini bisnis inti PGN adalah mendistribusikan gas dan menyediakan transportasi gas di wilayah operasional di Pulau Jawa, Sumatera, dan akan terus memperluas jaringannya ke seluruh wilayah Indonesia. PGN telah merumuskan Rencana Strategis Jangka Panjang Perusahaan 2010-2020 dan Rencana Usaha Perusahaan 2010-2014 untuk memandu pertumbuhan Perseroan mencapai visi dan misinya. Dalam kerangka ini, PGN telah menetapkan fokus bisnis pada pengembangan terminal penerima LNG, gas metana batubara atau Coal Bed Methane (CBM) ataupun moda transportasi gas bumi lainnya. Selain itu, untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, PGN dan Pertamina sudah memulai pembangunan infrastruktur Floating Storage RegasificationTerminal (FSRT) Jawa Barat. Seperti dirilis PGN, langkah tersebut sebagai upaya memanfaatkan LNG untuk kebutuhan dalam negeri, khususnya bagi pembangkit listrik PLN. Saat ini PLN masih membutuhkan pasokan gas lebih dari 600 million metric standard cubic feet per day (mmscfd). Persoalan gas sangat terkait dengan upaya menekan biaya pokok penyediaan listrik. Menurut penghitungan PLN, biaya pokok penyediaan listrik PLN jika memakai gas rata-rata Rp 318 per kWh, jika memakai BBM Rp 1.600 per kWh, sedangkan jika memakai batubara biaya pokok penyediaan listrik sebesar Rp500 per kWh. Manajemen PLN memperkirakan, penurunan pasokan gas dari 389 trillion british thermal units (TBTU) menjadi 320 TBTU mengakibatkan pembengkakan subsidi hingga mencapai Rp 11,4 triliun. Sementara itu, keterlambatan dalam pengoperasian terminal penyimpanan dan regasifikasi menambah subsidi Rp 2,6 triliun. Dalam penghitungan PLN, kebutuhan gas yang diperlukan perseroan itu mencapai 1.500 juta kaki kubik. Adapun pasokannya hanya 300-400 juta kaki kubik. Jika fasilitas penampung dan regasifikasi gas alam cair selesai dibangun, kemampuannya baru sekitar 400 juta kaki kubik, itu pun sampai saat ini komitmen gasnya baru 50 persen dari total kapasitas. Padahal, perseroan itu menargetkan untuk menurunkan porsi BBM untuk pembangkit listrik. Pembangunan infrastruktur FSRT juga menjadi milestone infrastruktur LNG di Indonesia, di mana setelah sekira 30 tahun negara memproduksi LNG, baru saat ini LNG dimanfaatkan untuk kebutuhan dalam negeri karena tersedianya infrastruktur FSRT. Proyek ini merupakan bentuk dukungan terhadap  kebijakan pemerintah tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional 2010, dalam mengembangkan Infrastruktur Gas melalui proyek pembangunan FSRT Jawa Barat. Proyek ini diwujudkan  oleh PT Nusantara Regas yang merupakan perusahaan patungan  Pertamina  (60%) dan PGN (40%). FSRT Jawa Barat direncanakan akan beroperasi pada Januari 2012 dengan kapasitas 3 juta ton LNG pertahun atau setara dengan penyaluran 400 juta kaki kubik gas bumi per hari (MMscfd) yang akan dimanfaatkan untuk pembangkit listrik PLN Muara Karang dan Tanjung Priok, Jakarta. Alokasi LNG  yang diperoleh pada  saat ini  sebesar 1,5 juta ton per tahun atau setara dengan 200 MMscfd dari kontraktor Blok Mahakam, Kalimantan Timur. Oleh karena itu, PT Nusantara Regas sedang mengupayakan tambahan pasokan LNG sampai mencapai kapasitas maksimum. FSRT atau terminal gas alam cair Jawa Barat  merupakan teknologi baru di dunia dalam penyimpanan dan regasifikasi LNG. Untuk FSRT Jawa Barat ini merupakan fasilitas dengan sistem bongkar muat LNG dari kapal ke kapal (ship to ship) yang pertama kali di Asia dan merupakan FSRT ke-12 di dunia. Keunggulan infrastruktur terapung ini jika dibandingkan dengan terminal LNG di darat adalah biaya pembangundan dan pengoperasian yang lebih murah, waktu pembangunan yang lebih singkat dan dapat dilakukan mobilisasi dengan mudah tepat untuk Indonesia yang merupakan negara kepulauan. Mudah-mudahan dengan penerapan teknologi moderen dan terus membenahi persoalan-persoalan di atas, pasokan gas bagi industri dalam negeri, PLN, dan konsumen rumahn tangga aman terjamin. Sehingga, tidak ada kesan dalam persaingan ACFTA dewasa ini, industri domestik tidak dihadapkan pada dilema pasokan gas seret. Begitu juga PLN, tak ada lagi istilah biarpet karena kekurangan suplai bahan bakar. Listrik bagi dunia usaha juga rumah tangga dampaknya sangat signifikan. Aliran listrik mati, sama halnya dengan kerugian besar bagi dunia usaha. Artinya, daya saing industri dalam negeri sangat terkait pada ketersediaan energi nasional. Jika semua hal ini berjalan sebagaimana mestinya, Indonesia tidak akan menjadi pasar empuk produk asing yang terbuka lebar oleh ACFTA.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H