Kiprah Partai Golkar di kancah politik tidaklah selalu mulus, terkadang duri tajam datang mencoba menggoyahkan keteguhan. Dualisme kepemimpinan yang sempat mendera internal partai antara kubu Agung Laksono dan Aburizal Bakrie membawa Golkar pada posisi kritis, karena mau tidak mau membuat kekompakan pengurus dan kader sedikit terpecah. Islah atau pertemuan damai diantara kedua kubu yaitu Agung Laksono dan Aburizal Bakrie akhirnya datang sebagai penyejuk hati setelah konflik berlangsung cukup lama. Kedua kubu sepakat untuk mengakhiri perseteruan yang terjadi untuk menyelamatkan partai ini dari jurang kehancuran, tentu dengan melakukan berbagai langkah yang salah satunya memikirkan kandidat Ketua Umum Partai Golkar selanjutnya.
     Memang, mencari sosok pemimpin baru bagi sebuah partai besar tidaklah mudah. Dibutuhkan pemimpin sejati yang dapat mengemban amanah dengan baik, berani berkorban untuk sesuatu yang dipimpin, serta ikhlas menerima kritik saran dari orang yang dipimpin. Berbicara tentang pemimpin, menarik jika kita  mendengar nama Airlangga. Nama Airlangga cukup dikenal oleh khalayak ramai, baik Airlangga masa lalu maupun Airlangga masa kini. Airlangga masa lalu adalah pendiri sekaligus raja Kahuripan, yang membawa kerajaan tersebut ke puncak keemasan. Airlangga masa kini adalah Airlangga Hartarto, kader muda Partai Golkar yang aktif memberikan berbagai ide-ide untuk perubahan.
     Dua sosok Airlangga ini memiliki kemiripan nama dan impiannya terhadap sesuatu yang dipimpin. Keterkaitan kedua Airlangga dari dimensi waktu yang berbeda inilah yang disebut sebagai korelasi Airlanggaisme. Korelasi Airlanggaisme merupakan kumpulan ide-ide dan upaya Airlangga masa lalu yang dapat menjadi nasehat bagi Airlangga Hartarto dalam mewujudkan impian dan harapannya untuk Partai Golkar. Kehadiran Airlangga Hartarto patut diacungi jempol, ditengah krisis kepercayaan publik terhadap partai politik dan krisis pengkaderan di tubuh partai politik. Airlangga Hartarto mencoba menawarkan ide transformasi Partai Golkar Dalam pandangan penulis, transformasi Partai Golkar dapat diarahkan untuk menjadi partai yang aspiratif dan berbudaya.
     Pada hakikatnya, upaya upaya yang dilakukan oleh Airlangga Raja Kahuripan dapat dimodifikasi oleh Airlangga Hartarto untuk Partai Golkar. Ada empat pokok dalam Airlanggaisme yang dapat dilakukan. Pertama, Raja Kahuripan membangun asrama sriwijaya di tahun 1036 untuk pengawal kerajaan dan rakyatnya. Dalam hal ini, Airlangga Hartarto perlu menjadikan Partai Golkar sebagai asrama yang nyaman bagi seluruh elemen didalamnya, rumah yang damai bagi pengurus dan kadernya, yang terikat dalam kehangatan tali silaturahmi. Langkah yang pertama ini perlu dilakukan agar Partai Golkar tidak lagi terjerumus dualisme-dualisme berikutnya di masa yang akan datang.
     Kedua, Raja Kahuripan meresmikan pertapaan di Gunung Pucangan pada tahun 1041 sebagai sarana meditasi dan renungan atas berbagai permasalahan kerajaan. Dalam hal ini, bukan berarti Airlangga Hartarto membangun tempat meditasi, melainkan memperkuat aspek religiusitas bagi pengurus dan kadernya. Berbagai cara yang dapat dilakukan yaitu mengadakan kajian dan diskusi akbar yang membahas keterkaitan nilai religi dalam perjuangan partai politik, mendukung kegiatan kegiatan keagamaan seluruh elemen didalamnya. serta mengadakan renungan politik di akhir tahun sebagai sarana evaluasi kinerja partai dalam suasana formal atau non formal.
     Ketiga, Raja Kahuripan membangun jalur darat yang menghubungkan antara daerah dengan pusat kerajaan demi memperkuat hubungan antara pusat dengan daerah. Airlangga Hartarto perlu menguatkan komunikasi internal partai antara pengurus pusat dan pengurus daerah, dengan cara mengadakan lingkar  pengurus dan kader partai, merintis Call Center pengurus pusat atau SMS Center Ketua Umum Partai demi mendengar dan menindaklanjuti berbagai aspirasi dari pengurus daerah. Airlangga Hartarto sangat perlu mendengar curahan hati dari berbagai pihak sebagai bentuk realisasi partai yang aspiratif dan berbudaya.
     Keempat, Raja Kahuripan juga menaruh perhatian lebih terhadap dunia seni budaya di lingkungan kerajaan, yaitu dengan dihasilkannya karya sastra fenomenal berjudul Kakawin Arjuna Wiwaha yang dikarang oleh Mpu Kanwa di tahun 1035. Airlangga Hartarto perlu melakukan pembinaan ideologi Pancasila dan Partai Golkar kepada kadernya secara intensif untuk mewujudkan budaya politik yang baik. Tak ada salahnya mengadakan kegiatan yang berhubungan dengan seni dan kepemudaan untuk menjaring kreatifitas kader kader muda partai demi kemajuan partai berlambang beringin ini, karena politik sendiri adalah seni mewujudkan kesejahteraan rakyat dengan kebijakan yang menyejukkan hati.
    Sekali lagi, inisiatif Airlangga Hartarto untuk mencalonkan diri sebagai pemimpin Partai Golkar patut mendapatkan kredit khusus dari seluruh pihak, mengingat usianya yang masih muda dan energik untuk transformasi Partai Golkar yang aspiratif dan berbudaya di masa yang akan datang. Asiratif mendengar suara rakyat, berbudaya dengan menjadi teladan bagi terwujudnya politik santun dan bersih di negeri ini (Dito).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H