Pemerintah selama ini lupa untuk membangun infrastruktur pengamanan logistik pangan yang dibangun terencana dibeberapa kota strategis lumbung pangan seperti standbynya (tersedia selalu) Cold Storage dan BlastFreezing dalam kapasitas daya tampung yang besar serta bisa menampung apa saja bahan pangan (buah buahan, sayuran dan protein hewani) agar bisa diamankan untuk menjaga kesetabilan harga serta ketersediaan pangan masyarakat.
Memang sudah ada ketentuan dari Kementerian Pertanian yaitu Permentan No. 32/2017 tentang penyediaan, peredaran, dan pengawasan ayam ras yang berisi pasal tentang suplai bibit "pembagian 50% DOC untuk peternakan rakyat dan 50% lagi untuk perusahaan terintegrasi," akan tetapi di lapangan Permentan ini tidak berjalan sebagaimana dikehendaki atas musyawarah dan kesepakatan peternak rakyat, perusahaan terintegrasi dan pemerintah. Bahkan saat ini masih saja ada perusahaan yang bisa mendapatkan impor GPS. Akibatnya hasil Tim Analisa kembali dimentahkan oleh oknum aparat Pemerintah sendiri.
Saat ini DJPKH sudah memiliki Tim Analisa Perunggasan Nasional katanya sudah bisa di kantongi data yang akurat tentang persediaan GPS dan PS secara sekala nasional. Dana dan energi untuk menyerap data dan informasi tersebut juga sudah sangat besar dikeluarkan yang diambil dari APBN. Â
Jangan terjadi dana menguap begitu saja tanpa ada arti dan manfaat bagi kepentingan rakyat. Angka potensi produksi dari Kementan RI cq. DJPKH suda ada, baik data demand dan supply ayam sampai akhir tahun 2020 ini. Lalu mengapa masih saja banyak keputusan yang tidak berjalan dilapangan ? Ada apa sesungguhnya ? Bahkan sedang disusun Renstra National Stock Replacement (NSR) untuk sektor perunggasan. Lalu apa lagi ? Faktor manusiakah dilapangan ?
Tim Analisa seharusnya juga bisa difungsikan sebagai intelijen peternakan nasional disamping terus mengupdate data persediaan bibit unggas sehingga mereka bisa dan mampu menganalisa faktor makro sedia payung sebelum hujan seperti bencana alam (seperti kasus Covid-19), tantangan ekonomi, inflasi yang kaitannya bisa berdampak besar atau kecil kepada stabilisasi kehidupan ekonomi sektor perunggasan (sebagai fungsi hedging).
Solusi yang harus segera ditempuh oleh Pemerintah adalah :
1. Pemerintah serta seluruh pilar perunggasan sebaiknya dapat segera meninjau kembali UU No.18 Tahun 2009 agar bisa dibenahi dan direvisi menuju pembenahan peternakan yang lebih berkeadilan dengan penentuan segmentasi pasar yang jelas bagi para pelaku peternakan.
2. Pemerintah dapat menata ulang kembali pengaturan perbibitan unggas ras nasional (GPS) secara terukur dan teratur, benar dan konsekwen sehingga tidak terjadi lagi kepentingan oknum sesaat dan bisa berdampak over supply yang mengakibatkan kerugian cukup besar di peternak. Fungsi Tim Analisa ditingkatkan kembali kearah fungsi hedging bersama DJPKH bagi perunggasan nasional.
3. Pemerintah harus segera dapat menghimpun potensi Peternakan Rakyat sehingga bisa menjadi potensi pelaku usaha yang modern dan terintegrasi sehingga usaha peternakan rakyat bisa memiliki kemampuan daya saing yang tinggi, sehingga mata rantai niaga yang panjang bisa segera dipotong dan diputus.
4. Setelah kasus Covid-19 berakhir, Pemerintah harus fokus untuk memikirkan pembenahan ekonomi rakyat secara berkelanjutan dan berkeadilan termasuk peningkatan ekonomi petani dan nelayan dengan membangun potensi petani dan nelayan berkoperasi untuk bisa memproduksi jagung dan tepung ikan yang berkualitas dari dalam negeri sendiri yang juga bisa mendukung peningkatan efisiensi usaha perunggasan nasional.
Dari data yang ada potensi FS di kandang para Breeder, pada bulan April-Mei setelah dikurangi cutting HE ada stock FS sebanyak 346 juta ekor, artinya ada rataan setara daging sekitar 346.000 Ton. Dipastikan akan muncul masalah perunggasan jika daya beli melemah dan ditambah dengan pengaruh kebijakan PSBB Covid-19 seperti keadaan saat ini.