PT. Integrator terbesar dengan mayoritas kandang budidaya Closed House (CH) selalu menjual LB pada pasar tradisional antara Rp.13.500,- -Rp.14.000,- (HPP mereka Rp. 12.500,-).
Sehingga berakibat hancurnya harga LB peternak Rakyat walaupun sudah ada Permendag No.96 tahun 2018 tentang Harga Acuan Penjualan di Konsumen harga ayam panen (LB) harus berada pada Rp.18.000,-/kg yang didukung dengan Surat Dirjen Perdagangan Dalam Negeri (PDN) Nomor 130/PDN/SD/5/2019 dan Surat Dirjen PDN Nomor 158/PDN/SD/6/2019.
Kemungkinan besar saat ini ada sebuah pertarungan perang dagang antar dua kubu PT. Integrator besar yang saling ingin menjatuhkan.
Dikarenakan secara UU No.18/2009 PT. Integrator dibolehkan menjalankan usaha budidaya Final Stock sebagaimana peternak rakyat melakukan budidaya dampaknya adalah perang antar siapa yang memiliki kandang CH dan kandang Open dan fungsi RPHU & CS tidak berjalan dan berfungsi sebagai buffer Stock disaat permintaan rendah (low demand).Â
Sedangkan pemasaran LB masih saja tertuju dan mebludak kepada pasar tradisional akibatnya harga peternak rakyat dihancurkan oleh dua kubu yang saling perang dagang yang salah satu integrator tidak ingin lawannya bisa recovery usaha jika harga LB yang berada pada harga Acuan Permendag.
Adanya reaksi administratif dari Pemerintah, kita pandang cukup baik, akan tetapi rupanya Pemerintah tidak lagi berwibawa untuk mengawal reaksi dan keputusannya dalam bentuk berbagai surat-surat yang terus di update.Â
Tetapi kenyataan dilapangan harga masih saja hancur dibawah harga Acuan Penjualan yang ditetapkan oleh Pemerintah.Â
Kejadian hancurnya harga LB di farm gate selalu berulang-ulang, sehingga para peternak menyatakan Pemerintah hanya berpura-pura untuk mensolusi tapi kenyataannya solusi yang bersifat PHP (Pemberi Harapan Palsu).
Selama ini, Permentan Nomor 32 Tahun 2017 tentang Penyediaan, Peredaran dan Pengawasan Ayam Ras dan Telur Konsumsi terutama pada Pasal 12 tentang kewajiban kepemilikan RPHU dan Cold Storage (CS) tidak tegas diawasi serta dijalankan sungguh-sungguh oleh Pemerintah.
Sehingga, para perusahaan besar terintegrasi dengan mudahnya membuang hasil produksi budidayanya kepasar tradisional yang menyebabkan kembali berulang ulang terjadi dalam periode bulanan hancurnya harga ditingkat peternak rakyat.
Sedangkan RPHU & CS seharusnya sudah menjadi rangkaian didalam supply chain dan harus menjadi tanggung jawab penuh pelaku GPS terintegrasi.