Mohon tunggu...
Ashwin Pulungan
Ashwin Pulungan Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Semoga negara Indonesia tetap dalam format NKRI menjadi negara makmur, adil dan rakyatnya sejahtera selaras dengan misi dan visi UUD 1945. Pendidikan dasar sampai tinggi yang berkualitas bagi semua warga negara menjadi tanggungan negara. Tidak ada dikhotomi antara anak miskin dan anak orang kaya semua warga negara Indonesia berkesempatan yang sama untuk berbakti kepada Bangsa dan Negara. Janganlah dijadikan alasan atas ketidakmampuan memberantas korupsi sektor pendidikan dikorbankan menjadi tak terjangkau oleh mayoritas rakyat, kedepan perlu se-banyak2nya tenaga ahli setingkat sarjana dan para sarjana ini bisa dan mampu mendapat peluang sebesarnya untuk menciptakan lapangan pekerjaan yang produktif dan bisa eksport. Email : ashwinplgnbd@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Peluang Besar, Gagal Manajemen Peternakan Nasional

21 Januari 2019   14:13 Diperbarui: 21 Januari 2019   15:32 2741
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kalau para pembaca mencermati judul tulisan ini, asosiasi pembaca akan mengarah kepada amburadulisasi pelaksanaan pengelolaan teknis secara keseluruhan pelaksanaan peternakan nasional baik hewan kecil maupun hewan besar ruminansia.

Pernah ada pakar yang mengatakan bahwa untuk hewan besar wilayah Indonesia tidak mungkin bisa mandiri dalam daging sapi mungkin orang ini adalah bagian dari para antek marketing Negara penghasil daging sapi dan kerbau agar Indonesia tetap bergantung kepada mereka. Kenyataannya masih banyak daratan hamparan luas Indonesia di berbagai pulau yang tidak/belum maksimal digunakan untuk peternakan hewan besar ruminansia secara intensif. 

Indonesia bisa saja mencapai target maksimalisasi produktifitas hewan besar sehingga bisa mengurangi devisa Negara untuk belanja importasi sapi atau daging sapi serta susu, apabila intensifikasi peternakan dapat dijalankan dalam sebuah sistem terpadu sejak pemuliaan perbibitan, produktifitas dan budidaya hingga paska panen serta mensinergikannya dengan berbagai limbah berkualitas tanaman pangan.

Berbagai Kekecewaan peternak sapi terhadap perubahan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 26 Tahun 2017, tertulis kewajiban importir untuk membeli susu sapi peternak lokal, menjadi Permentan Nomor 30 Tahun 2018, pembelian susu sapi tidak menggunakan kata-kata 'wajib'. 

Selanjutnya pada Permentan Nomor 33 Tahun 2018 tentang aturan kewajiban pembelian susu sapi untuk industri, tidak ada lagi sanksi bagi importir yang tidak membeli susu sapi lokal. Sehingga menjadi masalah yang berbuntut panjang. Hal ini bisa terjadi karena banyaknya kepentingan berbagai pihak dalam porsi kueh ekonomi peternakan di Indonesia. 

Sementara didalam upaya perubahan ketentuan dan aturan yang ada, tidak melibatkan semua pilar organisasi dan pelaku yang ada. Dampaknya adalah importasi terhadap kebutuhan nasional atas komoditas peternakan hewan besar ruminansia bisa semakin besar baik itu daging sapi maupun susu. Potensi Peternakan didalam negeri cenderung diabaikan. Ini semua tentu akan menguras devisa negara yang bisa berdampak negatif kepada permasalahan makro dan mikro ekonomi.

Semua ini adalah permasalahan manajerial serta perencanaan yang akurat dari Pemerintah serta komitmennya menjalankan UU terhadap lingkup peternakan Nasional yang bisa mengatur secara harmonis semua lini tingkatan para pelaku peternakan yang ada. 

Perlu diingat bahwa Peternakan adalah bagian dari potensi ekonomi nasional yang bisa meningkatkan nilai tambah bidang pertanian kita dan bisa menjadi andalan daya tahan dan kedaulatan swasembada pangan strategis Nasional (Protein Hewani).   

Untuk hewan kecil seperti unggas ayam ras, Indonesia sudah sangat mampu untuk memenuhi sepenuhnya kebutuhan dalam negeri sendiri baik daging ayam dan telur ayam, karena telah berjalannya sistem peternakan unggas ras yang intensif. 

Dalam hal perjalanan tataniaga ekonomi perunggasan yang melibatkan semua strata pelaku, masih belum berjalan dengan baik, karena masih terlihat tarik menarik antara pengusaha besar, menengah dan kecil karena Pemerintah belum maksimal untuk mampu menerapkan UU yang berlaku serta Ketentuan lainnya yang terkait sehingga masih terjadi amburadulisasi tataniaga berupa seringnya harga pokok usaha pada tingkat peternak tidak seimbang dan rasional dengan harga jual panen. 

Selanjutnya seringnya terjadi harga bahan baku jagung untuk pakan yang melonjak yang membuat harga pokok usaha menjadi naik, harga panen di tingkat peternak selalu tidak pasti, sementara harga karkas dan telur dikonsumen tetap meningkat mahal dan terkadang tidak terjangkau oleh daya beli masyarakat. 

Kejadian ketidak nyamanan berusaha dibidang perunggasan ini, membuat banyak kalangan menuding pihak Pemerintah tidak hadir secara baik didalam mensolusi permasalahannya sebagaimana amanat didalam UU serta ketentuan yang berlaku.    

Pada beberapa rezim kekuasaan di Indonesia sejak Soeharto hingga SBY, keberadaan peternakan masih didalam penempatan eksistensi bidang Peternakan yang berada didalam Departemen dan Kementerian Pertanian RI. 

Hanya saja disaat akhir kekuasaan SBY, Dinas Peternakan dieliminasi serta digabungkan dengan beberapa Dinas terkait di setiap Propinsi dan Kabupaten. Dinas Peternakan saat kekuasaan Joko Widodo berlanjut disatukan dengan Dinas Ketahanan Pangan dan di Kabupaten menjadi sub Dinas Peternakan pada Dinas Pertanian. 

Alasan eliminasi Dinas Peternakan ini, adalah untuk penghematan anggaran APBN. Hilangnya Dinas Peternakan ini, berdampak kepada hilangnya banyak kasus yang bersifat manipulatif (terutama program hewan besar) didalam realisasi APBN sejak Pemerintahan Gusdur, Megawati dan SBY.

Pada saat munculnya kekuasaan Joko Widodo bersama PDIP, ada harapan mayoritas rakyat dibidang pertanian dan peternakan jika rakyat memperhatikan pidato Jokowi yang selalu ingin memandirikan perekonomian Indonesia. 

Ternyata setelah berlangsung kekuasaan Jokowi selama 4 tahun, semua yang dijanjikan untuk kemandirian pertanian dan peternakan tidak terwujud malah melenceng jauh dari harapan masyarakat banyak. Bidang Peternakan didaerah masih saja berlanjut akan tetapi di perkecil perannya tetap berada pada sub dinas di Propinsi dan Kabupaten tidak ada perubahan peningkatan dari yang terjadi pada akhir jabatan SBY.

Harapan rakyat peternakan diawal era kekuasaan Jokowi adalah adanya realisasi Kementerian Peternakan RI disamping Kementerian Pertanian RI. Penantian rakyat peternakan selama tahun pertama dan kedua rezim Jokowi membuyar dan bidang peternakan tidak dijadikan andalan peningkat nilai tambah pertanian. 

Akibat tidak berperannya bidang peternakan, maka terjadilah dampak mahalnya harga daging sapi serta tetap gonjang ganjingnya harga telur dan daging ayam di peternak serta mahalnya karkas dan telur ayam di konsumen. Selanjutnya diterpa dengan ketergantungan pasokan daging sapi dan susu untuk Indonesia menjadi sangat besar dari importasi yang sangat menguras devisa negara.     

Seperti yang telah pernah penulis sampaikan 18 Februari 2018 dalam salah satu tulisan berjudul "Masalah Perunggasan Nasional Selalu Tidak Tuntas Solusinya oleh Pemerintah" sudah disampaikan beberapa masukan untuk pihak yang berkuasa yaitu Pemerintah yang sudah berjalan 4 tahun lebih akan tetapi tetap saja solusi untuk bidang Peternakan tidak dapat dirasakan signifikan oleh masyarakat. 

Harga daging sapi dan daging ayam karkas masih saja mahal di konsumen, begitu juga harga telur ayam. Jika permasalahan peternakan ini tidak di manajemen dengan baik, kedepan ketergantungan Indonesia untuk daging sapi akan sangat besar kepada importasi serta daya saing hewan kecil daging ayam dan telur di peternak semakin rendah saja sementara dikonsumen cukup mahal yang sangat kuat mengundang importasi. 

Sementara upaya para pedagang komoditi impor mengintai dengan gemasnya agar bisa dengan mudah menyerang masuk yang dapat mendesak produk komoditas dalam negeri yang rendah daya saing.

Kehadiran Tim Analisa Suplai Demand dan Tim Asistensi Perunggasan (TASDTAP) atau Tim Analisa Perunggasan Nasional, sejak dibentuknya sampai saat ini, sudah sangat baik dan benar serta perlu dipertahankan eksistensinya, agar konsistensi akurasi data dan kualitas bibit unggas ayam layer dan pedaging bisa terjaga dengan baik dan benar. Data akurat yang telah dimiliki oleh Pemerintah adalah alat handal untuk bisa mengatur dan merencanakan serta memperkecil permasalahan yang ada didalam ekonomi perunggasan Nasional menuju prestasi kemampuan daya saing yang tinggi.

Dengan akurasi data bibit Broiler dan Layer, Pemerintah memiliki kemampuan untuk mengendalikan persediaan protein hewani unggas Final Stock di masyarakat dengan baik saat ini. Walaupun demikian, sempat juga terjadi instabilitas harga telur dan daging ayam di konsumen pada bulan Juli-Agustus 2018 yang lalu. 

Artinya walaupun sudah diatur dengan baik serta memiliki data yang akurat, masih ada saja peluang terjadinya instabilitas harga komoditi. Selanjutnya untuk bisa menjaga kondisi harga dan kualitas persediaan di konsumen  secara stabil, diperlukan pembangunan yang seimbang untuk RPHU+ColdStorage (Sebagai Katub Pengaman Persediaan).

Keberadaan Permentan No.32/2017 tentang Penyediaan, Peredaran dan Pengawasan Ayam Ras dan Telur Konsumsi, Permentan ini mencakup perhitungan dan pengaturan impor GPS (Grand Parent Stock) Broiler afkir PS (Parent Stock) Broiler umur 65 dan 70 minggu, selanjutnya tentang pembangunan Rumah Potong Hewan Unggas (RPHU) dan Cold Storage serta pelarangan pembelian telur tetas impor di Breeding Farm. Permentan No.32/2017 perlu dipertahankan dan diperkuat sehingga lebih lengkap lagi serta berkeadilan.

Permentan inipun tidak dapat berjalan baik dan terlihat diabaikan oleh beberapa perusahaan perunggasan. Tidak dipatuhinya RPHU dan Cold Storage ini oleh para perusahaan besar perunggasan, akibatnya adalah harga LB ayam selalu jatuh seperti kondisi over supply (ditambah data yang belum akurat) di konsumen dan berdampak kerugian yang besar ditingkat peternak.

Dengan hadirnya UU No.18 Tahun 2009 Tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan yang membolehkan para perusahaan besar feedmill dan pembibitan bisa melakukan budidaya FS dan dibolehkan menjual hasil budidayanya langsung ke pasar tradisional, inilah sebenarnya biang kerok permasalahan selama ini. 

Pada awalnya telah berusia selama 42 tahun, dengan UU sebelumnya yaitu UU No.6 Tahun 1967 Tentang Ketentuan Ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan melarang para perusahaan besar feedmill dan pembibitan masuk ke budidaya FS. Seharusnya dengan diberlakukannya UU No.18 Tahun 2009, ada upaya Pemerintah untuk tetap bisa mempertahankan keberadaan Peternakan Rakyat disamping para perusahaan besar peternakan dengan cara membuat ketentuan yang berisi SEGMENTASI PASAR yang mengatur hasil pemasaran budidaya FS. Umpamanya hasil budidaya para perusahaan besar untuk kebutuhan pasar eksport, dan hasil budidaya para peternak rakyat untuk kebutuhan pasar Dalam Negeri serta dibangun semua kelengkapan katub pengaman hasil produksinya.

Pada saat ini Januari 2019, terjadi kembali yang kesekian kalinya penurunan harga LB di peternak berada dibawah harga produksi walaupun telah ada Permendag No.63/M-DAG/PER/9/2016 Tentang Harga Acuan Pembelian di Petani dan Peternak lalu berubah lagi menjadi Permendag No.27/M-DAG/PER/5/2017 yang telah menetapkan harga LB ayam pedaging di peternak Rp.18.000,-/kg dan telur Rp.18.000.-/kg, harga karkas ayam dikonsumen Rp.32.000,-/kg untuk Telur Rp.22.000,-/kg, harga daging Sapi Rp.80.000 s/d Rp.105.000,-/kg. Selanjutnya diubah lagi menjadi Permendag No.58/2018 untuk hasil unggas dibuat harga batas bawah dan atas untuk LB Rp. 17.000,- s/d 19.000,-/kg dan untuk Telur Rp. 17.000,- s/d 19.000,-/kg. Seterusnya berubah lagi menjadi Permendag No.96/2018 untuk hasil unggas dibuat harga batas bawah dan atas untuk LB Rp. 18.000,- s/d 20.000,-/kg dan untuk Telur Rp. 18.000,- s/d 20.000,-/kg, harga karkas ayam dikonsumen Rp.34.000,-/kg untuk Telur Rp.23.000,-/kg.

Harga pokok Januari 2019 per kg di peternak kandang OH (Open House) Rp.18.000,- s/d Rp.18.500,- dan dikandang CH (Closed House) Rp.17.000,- akan tetapi Permendag yang telah diganti sebanyak 4 kali ini juga kembali tidak berdaya dan tidak dipatuhi oleh semua para pelaku produsen perusahaan unggas, sehingga harga LB menjadi anjlok Rp.16.000,- s/d Rp.17.000,-. Dan harga Telur Rp.18.000,- s/d Rp.19.000.-/kg. Sampai kapan kita berbangsa dan bernegara bisa tahan dengan usaha komersial seperti ini yaitu berusaha seperti bermain judi yang hasilnya usaha sangat sukar ditetapkan disaat panen ? Artinya ada Pemerintahan, akan tetapi Pemerintah itu tidak berwibawa hadir didalam mensolusi dan mengkondusifkan iklim berusaha secara tuntas dan secepatnya untuk semua permasalahan perunggasan Nasional. Tidak hanya dalam peternakan unggas tapi permasalahan di peternakan Sapi juga lebih bermasalah.

Kebijakan blunder dari pemerintah yang menutup impor jagung, adalah merupakan penyebab utama menjadi mahalnya harga pakan. Malah, pada saat yang sama, importasi untuk bahan pakan pengganti/substitusi jagung juga dilarang oleh pemerintah. Hal ini berakibat harga jagung melambung sampai di atas Rp 4.000 per kg hingga sampai Rp.6.500 per kg. 

Mau tidak mau, para Peternak terpaksa membeli bahan pakan unggas dengan harga termahal di dunia. Seharusnya disaat penutupan impor jagung, Pemerintah sudah menyiapkan sistem pertanian jagung di dalam negeri sehingga Indonesia bisa swasembada jagung dengan harga yang bersaing sehingga biaya produksi perunggasan Nasional bisa berdaya saing tinggi. (disini letak blundernya).

Dalam masalah panjang realisasi kebijakan pelarangan AGPs pada 2017 bagi pembudidaya unggas, hal ini sangat membebani tambahan biaya terutama bagi peternak kecil dan menengah OH atas keterbatasan modalnya untuk memperbaiki fasilitas usahanya (kearah semi CH). Pemerintah seharusnya sudah mengantisipasi dan mempersiapkan ketentuan untuk kelangsungan hidup mereka. 

Dampak langsung dari  kebijakan pelarangan AGPs ini adalah meningkatnya biaya produksi pakan karena umumnya pengganti AGPs seperti probiotik, prebiotik, herbal, maupun acidifier harganya jauh lebih mahal dibandingkan dengan AGPs. Semua ini adalah serba dilematis dalam Manajemen Peternakan Nasional jika ditangani secara partial sebagaimana selama ini.

Keberadaan Tim Analisa Suplai Demand dan Tim Asistensi Perunggasan (TASDTAP) atau Tim Analisa Perunggasan Nasional perlu ditingkatkan jika setelah dapat dimunculkan NSR (National Stock Raplacement) perunggasan Nasional secara terupdate dan terkontrol, peningkatan peran lembaga TASDTAP selanjutnya adalah Pengawasan Pemerintah sesuai dengan standar kesehatan hewan yang telah ditetapkan terhadap kinerja semua perusahaan Breeding Farm GPS dan PS. Hal ini penting, mengingat manajemen perbibitan adalah sangat strategis kedepan dalam menghadapi tantangan persaingan serta kesinambungan persediaan dan kualitas di dalam negeri.   

Oleh karena itu, disamping peran lembaga TASDTAP yang sudah ada dan cukup baik, lembaga TASDTAP ini perlu ditingkatkan untuk mengawasi praktek pemeliharaan di semua perusahaan Breeding Farm seperti sistem perkandangan dan kualitas udaranya, kualitas pakan, serta penerapan biosekuriti di kandang. Sehingga permasalahan tantangan berupa virus flu burung H9N2 yang menyebabkan penurunan kekebalan dan kerusakan organ tubuh unggas yang pernah terdeteksi dan terjadi pada awal tahun 2017 di Jawa Barat, Jawa Tengah dan D.I. Yogyakarta, Sulawesi Selatan dan Bali bisa diatasi dengan cepat. Berbagai kemungkinan penyakit hewan unggas yang ada di Breeding Farm, dapat mengakibatkan turun drastisnya produksi telur sehingga bisa berdampak kepada persediaan bibit (GPS) dan indukan (PS) serta bakalan (FS) secara Nasional. Besar-kecilnya GGPS/GPS yang diimpor dan yang telah di budidayakan secara baik dan benar, sangat menentukan akurasi jumlah produksi PS, DOC-FS serta ayam hidup untuk konsumsi.

Potensi Peternakan Nasional adalah sangat besar jika dikembangkan secara baik dan benar serta dapat melibatkan potensi dan kemampuan peternakan rakyat secara tersistem dan terintegrasi dalam bentuk usaha Koperasi. Serta Pemerintah dapat mengkondusifkan iklim usaha peternakan nasional dalam bentuk ketentuan dan UU yang berkeadilan serta adanya komitmen politik Pemerintah yang didasari dengan DATA YANG AKURAT untuk mengembang tumbuhkan realisasi perencanaan pada sektor peternakan dan pertanian menuju kemandirian protein hewani yang berdaya saing tinggi di Indonesia.

Baru baru ini telah terjadi KRIMINALISASI PETANI & PETERNAK oleh REZIM PEMERINTAH JOKO WIDODO-JK dimana Petani & Peternak yang tergabung kedalam 15 organisasi Peternak & Petani berkumpul di Jakarta pada 22 November 2018 dan sekaligus membuat sebuah acara yang didalamnya ada "Petisi Ragunan" dikarenakan adanya kegundahan para Peternak & Petani dalam permasalahan Data (Beras, Jagung dan Data lainnya) yang kacau balau diantara Kementerian dan lembaga Pemerintah yang berimplikasi kepada kebijakan yang salah dari Pemerintah serta berdampak negatif dan merugikan secara langsung terhadap semua pelaku usaha Peternak dan Pertanian Rakyat. Petisi adalah hak demokrasi untuk menyampaikan pendapat serta dilindungi oleh Konstitusi malah KEMENTAN RI MENSOMASI dan memperkarakan ke Pengadilan, Peternak & Petani yang membuat "Petisi Ragunan" tersebut yang berakhir kepada pencabutan oleh KEMENTAN RI sendiri di Pengadilan. Semua ini adalah dampak dari MISMANAJEMEN PETERNAKAN DAN PERTANIAN kita selama ini serta egoisme merasa benar sendiri tanpa pendekatan sila ke 4 Pancasila yang akhirnya semua terlibat didalam PEMBUANGAN ENERGI, dana serta fikiran yang sia sia (Inefisiensi dalam berbangsa dan bernegara). Semoga hal sia sia seperti ini tidak terjadi lagi.

Nilai potensi Karkas & Telur dalam skala Nasional :

potensi-karkas-telur-5c4570486ddcae6e440be207.jpg
potensi-karkas-telur-5c4570486ddcae6e440be207.jpg
Usulan Solusi dari Penulis untuk Pemerintah :

1. Pemerintah harus akomodatif dan solutif cepat tanggap terhadap semua permasalahan peternakan perunggasan di Indonesia. Aparat Pemerintah adalah SDM yang digaji dan difasilitasi lengkap oleh seluruh rakyat Indonesia untuk tujuan mengurus, melayani dan mensolusi semua permasalahan yang ada dan terjadi berdasarkan UUD 1945 dan UU serta semua ketentuan yang ada dan berlaku.

2. Semua permasalahan perunggasan Nasional dapat disolusi dengan pengaturan bibit unggas secara akurat dari sejak GPS, PS dan FS yang dapat tertuang didalam National Stock Replacement (NSR) sehingga Pemerintahlah yang mengatur jumlah quota bibit unggas untuk setiap perusahaan pembibitan secara Nasional.

3. Pemerintah harus tegas didalam merealisasikan Permentan No.32/2017 tentang Penyediaan, Peredaran dan Pengawasan Ayam Ras dan Telur Konsumsi. Serta harus diterapkan ketentuan sanksi yang berat sehingga setiap pelaku perusahaan yang melanggar dapat dikenakan sanksi yang menimbulkan efek jera, sehingga ketentuan yang dibuat Pemerintah bisa berwibawa.

4. Pemerintah seharusnya sudah memiliki data yang akurat tentang daya tampung RPHU-Cold Storage secara Nasional sehingga dapat menjadi katub pengaman jika terjadi kelebihan produksi untuk mempertahankan kestabilan harga komoditas perunggasan Nasional. Jika seperti saat ini harga LB jatuh, sudah saatnya Pemerintah menekan para perusahaan perunggasan terintegrasi untuk bisa mengekspor karkas ayam beku sehingga harga LB didalam negeri berada pada posisi yang sesuai ketentuan Permendag No.58/2018 yang dirubah menjadi Permendag No.96/2018.

5. Pemerintah seharusnya mendukung solusi usaha Peternak Rakyat dalam membangun wadah usaha Koperasi Primer dan Skunder yang dikerjasamakan dengan BUMN Perunggasan dan terdiri dari SDM yang bersih dari semua kepentingan kelompok dan pribadi.

6. Pemerintah harus mampu untuk menurunkan harga pakan unggas dengan cara mendukung efisiensi pemupukan organik dan mengurangi petani untuk memakai pupuk anorganik, sehingga kemampuan kesuburan tanah terwujud untuk mendukung capaian produktifitas varitas unggul jagung (para petani jagung senang-bergairah jika produktifitas per Ha meningkat).

7. Adanya kemampuan Pemerintah menurunkan harga jagung Nasional, tentu akan bisa menurunkan harga pakan unggas dan berdampak kepada peningkatan daya saing produk unggas Nasional terhadap harga produk unggas Internasional. Caranya adalah membangun intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian jagung secara Nasional (dulu pernah berhasil Gemapalagung).

8. Pemerintah sudah seharusnya menetapkan harga batas atas dan batas bawah terhadap harga DOC dan harga Pakan unggas, karena harga LB telah lebih dahulu ditetapkan harga batas atas dan batas bawahnya dalam Permendag No.96/2018. 

9. Pemerintah seharusnya mampu mensinergikan secara berkeadilan semua pilar perunggasan Nasional agar tidak terjadi diantara para produsen produk unggas yang dipengaruhi oleh para Broker yang saling bersaing kotor didalam negeri akan tetapi bersatu untuk menghadapi serangan produksi unggas dari luar Indonesia untuk berpacu dalam meningkatkan efisiensi dan daya saing produk Peternakan.

 Semoga tulisan ini bisa bermanfaat bagi semua para pembaca dan para pelaku perunggasan dan para pelaku peternakan hewan besar dimanapun berada, terutama penulis tujukan kepada Pemerintah Indonesia agar produk unggas Nasional yang potensi perputaran totalnya sudah mencapai Rp.500 Triliun/tahun bisa memberdayakan kembali usaha ekonomi peternakan rakyat disamping pelaku ekonomi unggas para perusahaan besar terintegrasi lainnya serta dapat meningkatkan daya saingnya dengan berbagai produk unggas dari Internasional. (Ashwin Pulungan)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun