Kehadiran Tim Analisa Suplai Demand dan Tim Asistensi Perunggasan (TASDTAP) atau Tim Analisa Perunggasan Nasional, sejak dibentuknya sampai saat ini, sudah sangat baik dan benar serta perlu dipertahankan eksistensinya, agar konsistensi akurasi data dan kualitas bibit unggas ayam layer dan pedaging bisa terjaga dengan baik dan benar. Data akurat yang telah dimiliki oleh Pemerintah adalah alat handal untuk bisa mengatur dan merencanakan serta memperkecil permasalahan yang ada didalam ekonomi perunggasan Nasional menuju prestasi kemampuan daya saing yang tinggi.
Dengan akurasi data bibit Broiler dan Layer, Pemerintah memiliki kemampuan untuk mengendalikan persediaan protein hewani unggas Final Stock di masyarakat dengan baik saat ini. Walaupun demikian, sempat juga terjadi instabilitas harga telur dan daging ayam di konsumen pada bulan Juli-Agustus 2018 yang lalu.Â
Artinya walaupun sudah diatur dengan baik serta memiliki data yang akurat, masih ada saja peluang terjadinya instabilitas harga komoditi. Selanjutnya untuk bisa menjaga kondisi harga dan kualitas persediaan di konsumen  secara stabil, diperlukan pembangunan yang seimbang untuk RPHU+ColdStorage (Sebagai Katub Pengaman Persediaan).
Keberadaan Permentan No.32/2017 tentang Penyediaan, Peredaran dan Pengawasan Ayam Ras dan Telur Konsumsi, Permentan ini mencakup perhitungan dan pengaturan impor GPS (Grand Parent Stock) Broiler afkir PS (Parent Stock) Broiler umur 65 dan 70 minggu, selanjutnya tentang pembangunan Rumah Potong Hewan Unggas (RPHU) dan Cold Storage serta pelarangan pembelian telur tetas impor di Breeding Farm. Permentan No.32/2017 perlu dipertahankan dan diperkuat sehingga lebih lengkap lagi serta berkeadilan.
Permentan inipun tidak dapat berjalan baik dan terlihat diabaikan oleh beberapa perusahaan perunggasan. Tidak dipatuhinya RPHU dan Cold Storage ini oleh para perusahaan besar perunggasan, akibatnya adalah harga LB ayam selalu jatuh seperti kondisi over supply (ditambah data yang belum akurat) di konsumen dan berdampak kerugian yang besar ditingkat peternak.
Dengan hadirnya UU No.18 Tahun 2009 Tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan yang membolehkan para perusahaan besar feedmill dan pembibitan bisa melakukan budidaya FS dan dibolehkan menjual hasil budidayanya langsung ke pasar tradisional, inilah sebenarnya biang kerok permasalahan selama ini.Â
Pada awalnya telah berusia selama 42 tahun, dengan UU sebelumnya yaitu UU No.6 Tahun 1967 Tentang Ketentuan Ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan melarang para perusahaan besar feedmill dan pembibitan masuk ke budidaya FS. Seharusnya dengan diberlakukannya UU No.18 Tahun 2009, ada upaya Pemerintah untuk tetap bisa mempertahankan keberadaan Peternakan Rakyat disamping para perusahaan besar peternakan dengan cara membuat ketentuan yang berisi SEGMENTASI PASAR yang mengatur hasil pemasaran budidaya FS. Umpamanya hasil budidaya para perusahaan besar untuk kebutuhan pasar eksport, dan hasil budidaya para peternak rakyat untuk kebutuhan pasar Dalam Negeri serta dibangun semua kelengkapan katub pengaman hasil produksinya.
Pada saat ini Januari 2019, terjadi kembali yang kesekian kalinya penurunan harga LB di peternak berada dibawah harga produksi walaupun telah ada Permendag No.63/M-DAG/PER/9/2016 Tentang Harga Acuan Pembelian di Petani dan Peternak lalu berubah lagi menjadi Permendag No.27/M-DAG/PER/5/2017 yang telah menetapkan harga LB ayam pedaging di peternak Rp.18.000,-/kg dan telur Rp.18.000.-/kg, harga karkas ayam dikonsumen Rp.32.000,-/kg untuk Telur Rp.22.000,-/kg, harga daging Sapi Rp.80.000 s/d Rp.105.000,-/kg. Selanjutnya diubah lagi menjadi Permendag No.58/2018 untuk hasil unggas dibuat harga batas bawah dan atas untuk LB Rp. 17.000,- s/d 19.000,-/kg dan untuk Telur Rp. 17.000,- s/d 19.000,-/kg. Seterusnya berubah lagi menjadi Permendag No.96/2018Â untuk hasil unggas dibuat harga batas bawah dan atas untuk LB Rp. 18.000,- s/d 20.000,-/kg dan untuk Telur Rp. 18.000,- s/d 20.000,-/kg, harga karkas ayam dikonsumen Rp.34.000,-/kg untuk Telur Rp.23.000,-/kg.
Harga pokok Januari 2019 per kg di peternak kandang OH (Open House) Rp.18.000,- s/d Rp.18.500,- dan dikandang CH (Closed House) Rp.17.000,- akan tetapi Permendag yang telah diganti sebanyak 4 kali ini juga kembali tidak berdaya dan tidak dipatuhi oleh semua para pelaku produsen perusahaan unggas, sehingga harga LB menjadi anjlok Rp.16.000,- s/d Rp.17.000,-. Dan harga Telur Rp.18.000,- s/d Rp.19.000.-/kg. Sampai kapan kita berbangsa dan bernegara bisa tahan dengan usaha komersial seperti ini yaitu berusaha seperti bermain judi yang hasilnya usaha sangat sukar ditetapkan disaat panen ? Artinya ada Pemerintahan, akan tetapi Pemerintah itu tidak berwibawa hadir didalam mensolusi dan mengkondusifkan iklim berusaha secara tuntas dan secepatnya untuk semua permasalahan perunggasan Nasional. Tidak hanya dalam peternakan unggas tapi permasalahan di peternakan Sapi juga lebih bermasalah.
Kebijakan blunder dari pemerintah yang menutup impor jagung, adalah merupakan penyebab utama menjadi mahalnya harga pakan. Malah, pada saat yang sama, importasi untuk bahan pakan pengganti/substitusi jagung juga dilarang oleh pemerintah. Hal ini berakibat harga jagung melambung sampai di atas Rp 4.000 per kg hingga sampai Rp.6.500 per kg.Â
Mau tidak mau, para Peternak terpaksa membeli bahan pakan unggas dengan harga termahal di dunia. Seharusnya disaat penutupan impor jagung, Pemerintah sudah menyiapkan sistem pertanian jagung di dalam negeri sehingga Indonesia bisa swasembada jagung dengan harga yang bersaing sehingga biaya produksi perunggasan Nasional bisa berdaya saing tinggi. (disini letak blundernya).