Jika kita melihat dan menyorot kemampuan solusi permasalahan oleh Pemerintah, kita harus melihat permasalahan kualifikasi SDM yang ada didalam Pemerintahan itu, kalau di Pemerintahan Pusat adalah Kementerian yang berkaitan dengan para Menterinya, pembantu Menteri adalah para Dirjen dan Direktur Bidang serta Badan-Badan instansi struktural terkait. Jika Pemerintahan Daerah adalah para Gubernur dan Kedinasan, para Bupati dan Kedinasan serta para Walikota dengan Kedinasannya.
Biasanya yang bermasalah adalah para pembantu Menteri, pembantu Gubernur, Bupati dan Walikota yang kualifikasi kinerja mereka yang tidak mendukung secara maksimal tentang semua permasalahan rakyat yang terjadi. Para pembantu inilah yang sering memiliki KEPENTINGAN jabatan sehingga kinerja mereka adalah berdasarkan sebuah kepentingan tertentu. Disamping itu ada banyak permasalahan dipihak Menteri, Gubernur, Bupati dan Walikota juga bermasalah besar karena didahului dengan melalui politik sehingga bisa masuk birokrasi dengan beban biaya yang sangat besar untuk bisa terpilih menjadi seorang pimpinan daerah. Bisa juga yang bermasalah adalah seorang Presidennya.
Akibatnya adalah orientasi jabatannya banyak yang mengarah kepada kepentingan pengembalian biaya kampanye pimpinan daerah juga. Sebagai data yang ada sejak 2004-2017  Kepala Daerah yang bermasalah hukum dan ditangkap KPK sebanyak 392 orang, sejumlah 313 orang  Gubernur, Bupati dan Walikota  adalah bermasalah kasus Korupsi manipulasi keuangan daerah.
Untuk permasalahan perunggasan yang perputaran uangnya setahun sudah mencapai lebih dari Rp.500 Triliun/tahun diluar perputaran prosesing paska panen daging unggas dan telur, sedangkan perputaran daging sapi hanya pada kisaran Rp.85 Triliun/tahun. Â Permasalahannya tidak pernah tuntas dapat disolusi oleh Pemerintah dan hal ini tidak jauh dari permasalahan kinerja dan kualifikasi SDM Pemerintah karena banyak kepentingan pribadi seperti yang penulis paparkan secara singkat diatas.
Sejak berlakunya UU No.6 Tahun 1967 sampai disyahkannya UU No.18 Tahun 2009 junto UU 41/2014, artinya sudah selama 42 tahun Pemerintah membina Peternakan Rakyat didalam tata sistem perunggasan Nasional. Didalam UU No.6 Tahun 1967 telah diposisikan dan diatur tentang Peternakan Rakyat harus sebanyaknya melaksanakan usaha Budidaya Unggas dan pasar dalam negeri yaitu pasar tradisional diperuntukkan bagi pemasaran para Peternak Rakyat. Sedangkan perusahaan besar dan PMA berada pada usaha pembibitan (Breeding Farm) dan pabrikasi pakan (FeedMills), jika ingin berbudidaya Final Stock para perusahaan besar dan PMA produksi karkasnya sepenuhnya harus ekspor (Keppres No.22/1990).
Munculnya UU No.18 Tahun 2009, semua pasal yang ada di UU No.6 Tahun 1967 berubah menjadi pasal-pasal di UU No.18/2009 yang membolehkan perusahaan besar dan PMA berbudidaya dan boleh memasarkan sepenuhnya hasil produksi budidaya Final Stock di pasar dalam negeri dan pasar tradisional. Dengan kata lain UU No.18/2009 adalah UU yang membolehkan usaha peternakan dilaksanakan secara terintegrasi dari hulu hingga akhir. Dampaknya adalah usaha budidaya peternakan rakyat hancur lebur usahanya dan Pemerintah disaksikan oleh seluruh rakyat tidak sama sekali tidak melakukan upaya penyelamatan usaha peternakan rakyat. Setelah UU No.18/2009 berjalan 2-3 tahun, barulah sangat terasa dampak kehancuran Peternakan Rakyat hingga saat ini.
Peternak rakyat dalam Perhimpunan Peternak Unggas Indonesia (PPUI) bersama beberapa asosiasi perunggasan rakyat sudah mengajukan uji materi ke MK (Mahkamah Konstitusi) terhadap UU No.18 Tahun 2009 Jo. UU No.41 Tahun 2014, setelah delapan kali sidang, malah ditolak oleh MK dalam putusannya No.117/PUU-XIII/2015, akan tetapi ada perintah MK agar Pemerintah komitmen dan konsisten serta harus menjalankan beberapa pasal dalam UU No.18 Tahun 2009 itu yang berkaitan tentang pemberdayaan dan mempertahankan keberadaan usaha para peternak rakyat di Indonesia. Malah MK mensinyalir kuat Pemerintah tidak seutuhnya menjalankan pasal pasal didalam UU No.18 Tahun 2009 tersebut, makanya selalu timbul permasalahan dalam solusi sangat lemah dari Pemerintah tentang perunggasan Nasional.
Pada saat ini bulan Februari 2018, harga ayam panen (livebird-LB) ditingkat peternak kembali mengalami kehancuran harga berada pada posisi Rp.14.000,- - Rp.15.000,- per kg hidup. Menurut ketentuan Permendag No.63/M-DAG/PER/9/2016 tentang Harga Acuan Penjualan di Konsumen harga ayam panen (LB) harus berada pada Rp.18.000,-/kg. Pemendag ini juga tidak sepenuhnya dapat dipatuhi dan diwibawakan dilapangan. Harga LB selalu berada pada posisi jauh dibawah Rp.18.000,-/kg. Pemerintah terlihat sangat tidak berwibawa dalam hal ini.
Bahkan ada ketentuan untuk mensolusinya yang sudah digulirkan yaitu Permentan No.32/2017 tentang Penyediaan, Peredaran dan Pengawasan Ayam Ras dan Telur Konsumsi. Permentan ini mencakup perhitungan dan pengaturan impor GPS (Grand Parent Stock) Broiler afkir PS (Parent Stock) Broiler umur 55 dan 70 minggu, selanjutnya tentang pembangunan Rumah Potong Hewan Unggas (RPHU) dan Cold Storage serta pelarangan penjualan telur tetas di Breeding Farm. RPHU (Rumah Potong Hewan Unggas) sebagai buffer stock di hilir.Â
Permentan inipun tidak berjalan dan terlihat diabaikan oleh beberapa perusahaan perunggasan. Tidak dipatuhinya RPHU dan Cold Storage ini oleh para perusahaan besar perunggasan, akibatnya adalah harga LB ayam selalu jatuh seperti kondisi over supply (data yang belum akurat) di konsumen dan berdampak kerugian yang besar ditingkat peternak.
Pemerintah seharusnya sudah memiliki data secara akurat tentang perunggasan Nasional sehingga ada kemampuan untuk mengendalikan persediaan protein hewani unggas dengan membangun berbagai RPHU+ColdStorage (Sebagai Katub Pengaman Persediaan) dalam kapasitas yang seimbang sehingga harga karkas unggas bisa dikondisikan relatif stabil dan tidak akan mengganggu secara fatal kepada para peternak unggas.