Permasalahan lain, yaitu keterbatasan modal dan ketersediaan pupuk tepat waktu dan tepat jumlah. Terkait dengan permodalan, sebagian besar petani jagung masih menggunakan modal sendiri belum ada dukungan dari perbankan atau lembaga permodalan lainnya. Akibatnya, petani memupuk sesuai dengan kemampuan keuangannya. Sementara itu, di sejumlah daerah distribusi pupuk juga masih belum lancar sehingga sering terjadi pupuk tidak tersedia pada saat diperlukan. Akibatnya, terjadi rekayasa (mark-up) jumlah anggota kelompok didalam Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK), sehingga jumlah pupuk bersubsidi bisa terpenuhi. Sering terjadinya kondisi ini, menyebabkan produktivitas jagung di tingkat petani masih saja rendah sebagai dampak permasalahan kerusakan kesuburan lahan.
Untuk memperbaiki lahan tanaman, sudah banyak pupuk organik yang telah teruji dilapangan serta handal didalam memperbaiki unsur hara tanah serta mendukung produktifitas tanaman. Persediaannya juga sangat banyak tidak sesulit proses pengadaan pupuk bersubsidi. Harga rataan pupuk organik cair 1 Liter setara 1 ton pupuk kandang, hanya sebanyak 40 liter/Ha pada harga a Rp. 77.000,-/Liter kisaran Rp.3.080.000,-/Ha dan ditambah dengan KOHE (Kotoran Hewan) sebanyak 45 Ton/Ha. Kapur sebanyak 6,5 ton tergantung angka keasaman tanah dengan deteksi tester.
3. Permasalahan Benih tanaman pangan.
Tidak hanya di Indonesia, bahwa beberapa perusahaan besar sudah menguasai bibit/benih tanaman pangan. Bahkan di dunia sampai saat ini, para petani adalah sering menjadi korban dari sebuah perseteruan penguasaan dari beberapa perusahaan besar atas benih.
Pertanian dari sebuah negara, bisa terancam oleh industri yang ingin menguasai benih dengan segala cara karena benih sudah dimonopoli oleh hanya beberapa perusahaan saja, sebaiknya kita dapat menggunakan maksimal 4-5 merek benih terbaik saja. Oleh karena itu, banyak para petani sangat bergantung pada benih-benih dari penguasaan beberapa perusahaan besar tersebut yang sudah merupakan bagian dari pangan utama manusia. Makanya diperlukan regulasi yang berkeadilan yang bisa memberi keamanan bagi setiap petani.
Hal terpenting dalam industri benih, adalah memanfaatkan para ahli genetik, teknologi hibrida, dan agrokimia, jika ingin menguasai benih dalam tujuan meningkatkan keuntungan para perusahaan industri benih dan berbagai cara untuk bisa memaksa secara tidak langsung para petani sebagai konsumen tetap mereka dan tergantung pada benih industri mereka.
Sebenarnya industri benih telah merampas benih petani dan melakukan manipulasi terhadap benih tersebut, menandai dan mematenkannya, sehingga memaksa, para petani dari seluruh dunia, untuk membeli benih baru dari industri disetiap tahunnya.
Petani tidak bisa lagi menyimpan dan menyeleksi benih dari hasil panennya untuk ditanam di tahun yang akan datang. Dengan metode hibrida yang tidak bisa diproduksi kembali oleh para petani, dan hak kekayaan industri atas benih berupa paten atau sertifikasi varietas tanaman, yang dipaksakan melalui perjanjian internasional dan hukum Nasional. Tindakan ini sudah merupakan bentuk pencurian, karena semua benih industri pada kenyataannya adalah hasil dari seleksi selama ribuan tahun dan telah dimuliakan dan dipelihara oleh para petani, serta kini, diambil alih hak patennya oleh perusahaan industri benih.
Perusahaan benih secara UU memiliki otoritas mengendalikan, membangun monopoli dan merampas kesejahteraan petani, pemerintah yang melayani mereka, menempatkan pangan untuk manusia dan pertanian dalam kondisi yang beresiko. Segenggam varietas yang memiliki sifat genetik seragam telah menggantikan ribuan varietas lokal, mengikis keanekaragaman genetik yang bertahan dalam sistem pangan petani.
Indonesia telah terjebak dalam skema perusahaan-perusahaan multinasional di bidang pertanian dan pangan yang berlindung di balik kekuatan kapitalisme global. Misalnya, dalam hal perakitan tanaman, beberapa galur transgenik telah dihasilkan, namun pemerintah masih harus memenuhi proses penelitian yang memakan waktu lama untuk memperoleh data sebagaimana diwajibkan dalam pengkajian keamanan hayati, sehingga akibatnya, produk yang dihasilkan dari penelitian pemerintah, belum dapat dilepas ke publik atau ke petani. (pendapat dari Dr.Arif Zulkifli Nasution).
Selanjutnya, didalam kenyataannya, pemerintah didalam pengadaan benih bagi petani selalu ditenderkan per kebutuhan wilayah dengan harga yang ditekan sesuai dengan program patokan pemerintah. Akibatnya, terjadi permainan kualifikasi benih yang tidak sesuai lagi dengan kualifikasi bibit unggul dan yang terjadi serta diterima para petani adalah benih F2, F3 dan merupakan ledekan petani adalah benih F16 kata mereka.