Pada saat kepemimpinan Presiden Soeharto, usaha peternakan sangat kondusif begitu juga usaha dibidang pertanian. Dalam sektor peternakan, Soeharto sangat memperhatikan, apalagi beliau memiliki pusat percontohan peternakan Tapos dan beliau selalu mengikuti perkembangan dunia peternakan terutama hewan besar begitu juga hewan kecil seperti unggas. UU dan Keppres, Inpres yang diberlakukan saat itu juga berisi pasal-pasal yang selalu mengaitkan kepada pola usaha yang padat karya dalam usaha peternakan. UU yang berlaku saat itu adalah UU No.6 Tahun 1967 dan Keppres No.22 Tahun 1990. Pada saat itu, pemerintah juga mengundang investasi asing dalam peternakan terutama dalam sektor usaha perunggasan, akan tetapi secara regulasi para perusahaan asing (PMA) hanya melakukan usaha Sapronak seperti bibit DOC dan Pakan, obat dan vitamin serta perlengkapan sarana produksi peternakan unggas. [caption id="attachment_372452" align="aligncenter" width="615" caption="Kerugian Peternakan Rakyat Mandiri setelah berlakunya UU No.18 Tahun 2009 mencapai Rp.43 Triliun"][/caption]
Setelah berjalannya Reformasi sejak tahun 1998, berjalannya kepemimpinan Gusdur, Megawati hingga SBY, terjadilah berbagai pelanggaran UU oleh perusahaan PMA perunggasan dan pemerintah terlihat tidak berdaya untuk menegakkan hukum. Akibatnya, terjadi penyusutan kemampuan usaha budidaya bagi peternakan rakyat mandiri mulai satu persatu menutup usahanya. Kulminasi kehancuran peternakan rakyat adalah terjadi ditahun 2009 dimana diberlakukannya UU No.18 Tahun 2009 (UU yang anti ekonomi kerakyatan serta mengutamakan investor besar asing) yang berisi pasal-pasal yang menetapkan usaha peternakan unggas kearah industrialisasi secara terintegrasi, lalu pasar dalam negeri bisa dimasuki oleh hasil produksi perusahaan PMA terintegrasi. Akibatnya usaha budidaya peternakan rakyat tidak dapat berjalan dan mati usaha. Sebagai politik etis dari perusahaan PMA maka digebyarkanlah pola usaha unggas secara "Kemitraan", dimana para peternak rakyat yang sudah bangrut, direkrut oleh para perusahaan PMA untuk menjadi mitra usaha mereka sebagai pembudidaya unggas. Disinilah posisi peternakan rakyat menjadi kacung dikandangnya sendiri. Tercatat dalam asosiasi PPUI, ada sebanyak 80.000 peternak rakyat sebagai anggota PPUI diseluruh Indonesia dan peternak rakyat yang tidak tercatat ada sebanyak 50.000 peternak. Keseluruhan dari para peternak itu kini, hanya tinggal 3%-4% dan itupun sebagian besar mengikuti pola usaha kemitraan unggas. [caption id="attachment_372179" align="aligncenter" width="611" caption="Omset setahun perputaran ekonomi unggas Nasional mencapai Rp. 360,7 Triliun."]
UU No.18 Tahun 2009 inilah, yang meluluh lantakkan usaha budidaya peternakan rakyat terutama unggas diseluruh Indonesia hingga kini. Peternakan Rakyat sudah tidak dapat berperan lagi secara utuh seperti semula. Hal ini bisa terjadi karena ada Pasal dalam UU ini yang membolehkan secara syah bahwa PMA dapat melakukan usaha budidaya peternakan unggas dan dapat pula menjual sepenuhnya hasil produksi mereka didalam pasar Indonesia termasuk pada pasar tradisional disamping PMA sudah lama memiliki usaha Breeding Farm dan pabrik pakan unggas. Sebagaimana tertuang pada UU No.6/1967, "Pemerintah mengusahakan agar sebanyak mungkin rakyat menyelenggarakan peternakan" (Pasal 10 ayat 1) telah tercabut didalam UU No.18 Tahun 2009. Konspirasi ini diwujudkan disaat perputaran usaha perunggasan Nasional per tahun telah mencapai Rp. 130 Triliun saat itu. Menteri Pertanian ketika itu adalah sdr. DR. Ir. Anton Apriyantono (kader politisi PKS). Sejak peluncuran UU No.18 Tahun 2009 hingga kini kekuasaan Presiden Jokowi, para perusahaan besar unggas terutama para perusahaan PMA terintegrasi, telah mendominasi pangsa pasar unggas Nasional sebesar ±80% dan perusahaan PMDN ±16% lalu peternakan rakyat mandiri yang masih bertahan hanya tinggal ±4% saja itupun tinggal menghitung hari menuju kebangkrutannya. Bisa dibayangkan berapa besarnya kerugian peternak rakyat serta pemerintah dalam sektor perunggasan ini. Pada kenyataannya, telah terjadi penciptaan pengangguran dari para peternak rakyat disamping kerugian modal yang dideritanya serta kerugian keterampilan budidaya unggas. Selanjutnya pemerintah telah menyia-nyiakan dana kumulatif ratusan triliun rupiah yang berasal dari rakyat sejak sosialisasi ayam ras hingga tahun 2009.
Pada saat ini dengan berlakunya UU No.18 Tahun 2009 fungsi Pemerintah Pusat dan Daerah cq. Kementerian Pertanian RI dan Dinas-Dinas Peternakan hanya mengurus peternakan PMA terintegrasi alias kacungnya industri investasi asing dan mereka masih digaji dari uang rakyat, ironinya pemerintah tidak mengurus rakyatnya dan bangsanya sendiri (blunder) untuk bisa berpeluang usaha budidaya peternakan rakyat. Peta usaha perunggasan Nasional inilah yang membuktikan, bahwa apapun kebijakan Pemerintah saat ini untuk mengatakan pembangunan peternakan unggas di Indonesia, tidak ada artinya bagi rakyat, karena keterlibatan rakyat dalam usaha peternakan unggas sudah tidak ada lagi. Yang mendominasi usaha perunggasan Nasional adalah para perusahaan industri kapitalis PMA dan PMDN. Jadi keberadaan pemerintah khususnya Kementerian Pertanian dan para Dinas Peternakan di daerah adalah untuk mengurus para perusahaan industri asing PMA dan PMDN itu. Mengherankan, keberadaan eksistensi Pemerintah ini dibiayai gaji dan fasilitasnya oleh seluruh rakyat dalam APBN dan APBD, tapi pemerintah tidak memberdayakan ekonomi rakyatnya sendiri, malah investasi asing industri besar PMA difasilitasi. Sehingga kerugian peternak rakyat sejak tahun 2009 hingga kini bisa mencapai Rp. 43 Triliun. [caption id="attachment_372173" align="aligncenter" width="543" caption="Didalam peta usaha perunggasan Nasional, siapa yang terbesarlah yang menentukan segala harga komoditi peternakan unggas Nasional"]
Lucunya, perunggasan Nasional yang telah dilakukan secara terintegrasi oleh para perusahaan PMA dan bahkan telah menguasai pangsa pasar Nasional ±80%, hasil industri unggas tidak juga bisa menciptakan efisiensi harga protein unggas di dalam negeri seperti daging ayam dan telur ayam tetap saja berada pada posisi harga di konsumen yang sangat mahal. Secara manajemen intern perusahaan PMA, mereka sebenarnya memiliki efisiensi yang tinggi dan keuntungan yang sangat besar. Hal ini bisa terjadi karena usaha perunggasan dijalankan secara monopoli, oligopoli dan kartel melanggar UU No.5 Tahun 1999 tentang "Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat". Bahkan KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha) tidak mampu dan tidak mau secara gigih untuk mendapatkan bukti-bukti pelanggaran tersebut. PPUI dalam kepemimpinan H.Alie Abubakar HA.(Alm) sudah beberapa kali menyampaikan pengaduan ke KPPU sejak Januari 2003. Malah ekonom Faisal Basri ketika itu sebagai petinggi dan komisioner KPPU mengatakan pada konperensi pers-nya tidak ditemukan perbuatan Monopoli dan Kartel dalam usaha perunggasan Nasional. Betapa besarnya keuntungan pertahun yang bisa diperoleh para perusahaan industri PMA memeras konsumen Indonesia selama ini sejak sebelum tahun 2009 yang lalu hingga kini dan pemerintah terlihat pura-pura tidak tahu.
Hari ini, harga DOC yang tadinya berharga hanya Rp.500,-/ekor (periode akhir 2014), kini menjadi Rp.4.000,-/ekor dan lebih. Harga DOC (Day Old Chick) yang naik dan turun secara drastis dan tajam ini, dipastikan sebagai ulah permainan penguasa pangsa pasar unggas nasional (PMA integrator=80%) dan kejadian seperti ini, seharusnya diawasi oleh Pemerintah cq. Kementerian Pertanian RI. Disinyalir kuat, dengan trend kenaikan harga DOC oleh kelompok PMA integrator, akan memicu bertambahnya populasi DOC dari para Breeding Farm integrator diluar kelompok PMA untuk mendapatkan profit taking semua ini akan berakibat over supply DOC. Disinilah seharusnya peran keberadaan Pemerintah sebagai pelaksana regulasi.
Semua ini, seharusnya Pemerintahan Jokowi menjalankan pengawasan dan pengendalian terhadap perencanaan pemasokan bibit DOC agar semua pihak tidak saling menjatuhkan dan menghancurkan usaha ekonomi perunggasan dan semua pihak bisa berusaha untuk mendapatkan penghasilan usaha. Sebagaimana yang tertuang didalam PP No.6 Tahun 2013 Tentang Pemberdayaan Peternak : "Pemberdayaan Peternak adalah segala upaya yang dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, dan pemangku kepentingan di bidang Peternakan dan Kesehatan Hewan untuk meningkatkan kemandirian, memberikan kemudahan dan kemajuan usaha, serta meningkatkan daya saing dan kesejahteraan Peternak". Kenyataannya, para perusahaan asing PMA malah membunuh keberadaan usaha rakyat Indonesia dan didukung oleh UU No.18 Tahun 2009 dan UU Perubahan No.41 Tahun 2014 sebagai UU Leberalisasi. (Ashwin Pulungan)
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H