Oleh : Ashwin Pulungan
Sejak Tahun 1960 yang lalu, di Kota Medan sangat banyak kelompok orang yang disebut "Preman" memang kerja mereka sehari-hari adalah maling dimalam hari dan siang hari merampok dan sasarannya adalah rumah para orang kaya dan masyarakat sipil yang selalu pamer kekayaan. Munculnya kelompok "Preman" ini adalah sebagai dampak lapangan pekerjaan saat itu yang sangat susah sehingga banyak para pemuda yang menganggur. Presiden pada saat itu adalah "Soekarno" yang selalu dalam perang dingin dengan Kapitalisme dan Neo Kolonialisme saat itu.
Kalau siang hari, para preman ini selalu berkumpul di warung-warung kopi disekitar Kota Medan. Apabila kita merapat hadir juga diwarung-warung kopi itu, maka kita akan mendengar dan menyaksikan tawa-canda melalui bermacam dialog senda gurau para preman membicarakan seputar pekerjaan yang telah mereka lakukan masing-masing.
Dialog-Dialog Para Preman Yang Selalu Kita Dengar Saat itu :
-Â Bang, dimana kau tarok "barangtu" ?
+ Oooo, ada Bang, aku tarok barangtu ditempat yang paten bang, amanlaaaah !
- Bang, begini bang, waktu aku gendong barangtu, makjang ada pulak yang lewat, uuuhh ngeri kali bang jadinya wuuuh ngeri-ngeri sedap kurasa bang, ternyata dia hanya lewat saja.
+ Akhirnya dimana kau simpan barangtu ? Ditempat biasalah bang ! Pokoknya aman, barangtu.
Maksud dari kata "barangtu" adalah sebagai kata sandi para maling dan rampok untuk benda yang dimaling/dirampok sehingga orang lain yang mendengarkannya tidak mengetahui maknanya.
Maksud dari kata "ngeri-ngeri sedap" adalah kata sandi yang artinya rasa takut saat melihat orang yang lewat tadi, karena tidak ada masalah, maka legalah perasaan simaling sehingga perasaannya menjadi enak dan sedap. Dalam istilah kata-kata kita sehari-hari dalam berkomunikasi adalah cemas, seram.
Akhir-akhir ini, kita kembali mendengar kata-kata yang selalu para maling dan rampok ucapkan sehari-hari pada periode tahun itu di kota Medan, yang selalu diucapkan oleh seorang Politisi Partai Demokrat (PD) dan tanpa malu dan risih, politisi itu dengan gagahnya berulang-ulang mengucapkan kata-kata yang biasa dipakai para maling dan rampok itu. Seolah ingin mempopulerkan gaya bahasa maling dan rampok dari kota Medan. Bahkan orang lain yang tidak mengetahuinya secara historis, turut serta latah untuk menyebut ulang kata-kata itu. Para masyarakat yang terpelajar dan terdidik di Medan dan sekitarnya sudah tidak memakai lagi kata-kata "barangtu" dan "ngeri-ngeri sedap" kecuali kelompok orang pasaran yang berdagang barang-barang gelap dan terlarang.