Kita semua heran, mengapa pola kepemimpinan Jokowi tidak bisa keluar dari pola kepemimpinan SBY. Bedanya Jokowi hanya ada budaya blusukan. Coba saja perhatikan ketika Jokowi merencanakan tentang kenaikan harga BBM bersubsidi polanya sama saja dengan SBY berupa ucapan "subsidi yang selama ini dinikmati oleh para pemilik kendaraan bermotor, akan dialihkan kepada penambahan modal para pelaku usaha mikro di pedesaan, selanjutnya pemerintah akan memberikan subsidi perbenihan, pupuk serta pestisida untuk petani dan kepada para nelayan pemerintah akan memberikan bantuan pembelian mesin kapal bagi para nelayan." Selanjutnya adalagi pernyataan "Kenaikan BBM merupakan keputusan terbaik pemerintah untuk rakyat dan merupakan solusi menyelamatkan perekonomian Indonesia". Kalimat ini adalah kalimat-kalimat manis beracun yang selalu bertentangan dengan kenyataan yang akan dialami sebagian besar rakyat Indonesia.
Ketika seorang Menteri mengumumkan kenaikan harga BBM bersusidi pada kepemimpinan SBY, Menteri tersebut juga mengatakan bahwa penghapusan subsidi BBM adalah untuk meningkatkan kesejahteraan golongan ekonomi kecil rakyat perkotaan dan pedesaan sejumlah 15 juta orang dari jumlah orang miskin di Indonesia sebesar 28,07 Juta (BPS). Mereka akan mendapatkan BLT (Bantuan Langsung Tunai) sebesar Rp. 150.000,- perbulan selama setiap 2 bulan kedepan per enam bulan setahun. Belum kita ungkap berbagai salah sasaran serta manipulasi dan kelicikannya yang terus berlangsung dalam penyaluran BLT. Maka harga BBM besoknya nyata naik seharga Rp. 6.500,-/liter untuk Premium dan Rp. 5.500,-/liter untuk Solar/Bio Solar. Kelihatannya, perilaku seperti ini akan diulangi oleh pemerintahan Jokowi.
Semua ucapan pembenaran untuk menaikkan harga BBM dari Presiden Jokowi dan Menterinya adalah merupakan lagu lama yang buruk sebagai alibi pemerintah. Justru kenaikan BBM ini akan berdampak kepada kenaikan berbagai harga kebutuhan hidup rakyat terutama harga beras termasuk kenaikan harga onderdil spare part kendaraan roda empat dan dua, kenaikan inflasi yang merendahkan nilai tukar rupiah serta biaya transportasi angkutan umum yang turut serta menjadi sangat mahal. Sementara pendapatan mayoritas rakyat tetap dan malah menurun nilai belinya. Pola kinerja Presiden Jokowi sebenarnya tidak lebih baik dengan pola kepemimpinan SBY.
Sebenarnya sebelum rencana kenaikan BBM bersubsidi, Jokowi bisa melakukan rasionalisasi berbagai biaya rutin pegawai negeri diseluruh Indonesia, selanjutnya membuat perencanaan penghematan seluruh biaya perjalanan dan belanja Kementerian. Dimana Jokowi dalam beberapa hari ini sudah harus menerima laporan dari semua Menteri tentang gerakan penghematan ini. Kemudian Jokowi mengumumkan bahwa Kementerian tidak diperkenankan membeli kendaraan mobil baru, serta perjalanan dinas berlaku juga diseluruh pemerintahan daerah.
Disamping gerakan penghematan dalam pemerintahan, Presiden Jokowi juga bisa melakukan penghematan dalam impor Migas yang masih saja melalui para calo Singapura. Di sisi ini, Jokowi bisa membubarkan perusahaan calo PT. Petral Inc. anak perusahaan PT. Pertamina yang selanjutnya bisa juga membongkar dan menangkap secara serius kelompok mafia Migas. Selanjutnya pemerintah bisa membeli Migas impor dengan cara pembelian antar pemerintah G to G tanpa melalui berbagai perusahaan calo perantara yang ada di Singapura.
Jika gerakan penghematan dalam pemerintahan seperti diatas dilakukan dalam beberapa hari ini, dan selajutnya pembenahan kedaulatan Migas Indonesia, dengan harga minyak mentah dunia yang menurun pada harga Brent Oil US$.85,94,-/barel, serta realisasi produksi minyak mentah Indonesia sebesar 845 ribu barel/hari, sebenarnya pemerintah tidak selayaknya menaikkan harga BBM bersubsidi. Apalagi patokan harga minyak mentah didalam APBN perubahan pada posisi kisaran US$.105,-/barel.
Pemerintah dalam hal Migas, selama ini belum pernah menunjukkan secara terbuka tentang harga pokok nyata Migas didalam negeri, sebagai contoh pernahkah pemerintah membuka harga pokok yang sebenarnya tentang berapa nilai harga minyak mentah yang diambil dari dalam negeri sendiri sejumlah 845 ribu barel/hari itu, berapa harga minyak mentah yang diimpor, dan berapa harga BBM impor, selanjutnya berapa harga pokok mixing untuk produksi BBM sampai kepada setiap SPBU PT. Pertamina. Begitu juga pola transparansi dengan harga pokok Gas LPG yang dipakai oleh banyak rumah tangga dan industri. Kita sangat berharap, keterpilihan Jokowi menjadi Presiden RI, Jokowi mampu melakukan perubahan dalam hal Migas ini, sehingga terjadi tranparansi harga, dan seluruh rakyat memahami beban sebenarnya yang akan mereka pikul dalam hal Migas.
Indonesia adalah merupakan target pasar keempat terbesar di dunia, dan potensi pasar inilah yang sangat menggiurkan para Neo-Kapitalis dunia untuk memanfaatkannya (full integration company). Untuk mewujudkannya, mereka masuk pada dagang eceran yang sangat cepat perputarannya yaitu kapitalis asing membuka usaha eceran BBM melalui SPBU disemua kota besar Indonesia pada tahap awal. Apabila harga semua jenis BBM yang dijual pada  SPBU sama/mendekati dengan harga Internasional, maka SPBU Pertamina akan berhadapan (tarung kualitas BBM dan pelayanan) dengan SPBU asing.  Pertanyaan kita akan mampukah para perusahaan SPBU kita yang ber-branding Pertamina berhadapan dengan SPBU asing ? Jawabannya adalah akan banyak sekali SPBU branding Pertamina (bangkrut) yang dijual segera kepada perusahaan SPBU asing di Indonesia ini. Oleh karena itu, upaya penghapusan subsidi terhadap harga Migas Indonesia adalah merupakan tekanan pihak asing untuk bisa leluasa masuk dan leluasa menguasai pasar domestik dengan alat pembenaran berupa Globalisasi ekonomi yang telah terlanjur disepakati. Hal yang terjadi dimasa SBY kembali diulangi secara polos tanpa koreksi oleh Presiden Jokowi.
Harapan kita semua semoga Presiden Jokowi-Jk bersama tim Menterinya, mampu melakukan perubahan yang signifikan seperti harapan banyak rakyat Indonesia. Momentum sekarang adalah era yang memerlukan kesungguhan untuk melakukan perubahan yang lebih baik bagi Indonesia, karena saat ini adalah momentum kritis sebagai peluang akhir yang bisa bangsa Indonesia lakukan untuk menghadapi tantangan dan tekanan bangsa yang semakin berat kedepan MEA dan Pasar bebas 2020. (Ashwin Pulungan)
Mari kita selamatkan NKRI dari cengkeraman penjajahan para Kapitalis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H