[caption id="" align="alignright" width="181" caption="Duniaku Bukan Duniamu"][/caption]
Sebut saja nama dunia hitam yang pernah kamu tahu, itu semua pernah kualami. Mulai dari dunia anak jalanan yang akrab dengan kekerasan, miras (minuman keras), hingga narkoba baik sebagai pecandu maupun pengedar telah pernah menjadi bagian hidupku. Dunia panggung yang sering membikin cewek-cewek ABG histeris juga pernah kulakoni sebagai vokalis band local yang sering manggung di kafe-kafe sekitar kota tempatku tinggal.
Satu hal yang benar-benar aku syukuri hingga saat ini adalah penjagaan Allah terhadapku bahkan ketika aku masih begitu jahiliyah adalah aku tak pernah terjerumus dalam pergaulan bebas. Histerianya cewek-cewek ABG itu bukan membuat aku merasa tersanjung dan melambung tapi malah membuatku muak. Perasaan seperti inilah yang terus melekat sehingga ke depannya aku merindukan sosok perempuan yang terjaga dan tidak kampungan seperti itu.
Aku lelah dengan jalan yang kutempuh selama ini. Dunia gemerlap tak membuatku bahagia. Aku pun lari ke gunung dan berusaha berkontemplasi disana sekaligus mengukir prestasi. Sembari menjadi instruktur pendakian yang memandu anak-anak kota yang manja, aku pun tenggelam dalam perenunganku sendiri ketika sampai di puncak. Di tengah dingin dan heningnya malam dan ditemani berbatang-batang rokok, aku mencari batu besar agar terlihat jelas semua yang ada di bawah sana.
Rumah-rumah dan bangunan megah terlihat begitu kecil dari puncak gunung. Lalu bagaimana lagi dengan diri manusia ini? Aku berusaha mencari jawaban atas pertanyaan besar tentang untuk apa aku hidup di dunia ini dan kemana aku nanti setelah semua ini berakhir. Siapa pula pengatur di balik semua ini yang memberikan kehidupan begitu pahit dan getir untuk kujalani? Pertanyaan-pertanyaan itu terus menggedor sudut hatiku untuk dipenuhi dengan jawaban memuaskan. Benakku begitu ramai di tengah kesepian ini, namun aku kesepian di tengah keramaian hingar-bingar panggung pertunjukan. Aku tersesat dalam pencarian yang belum kutemukan ujung pangkalnya.
Hingga di satu titik, aku memandang adik perempuan semata wayang. Tak mungkin aku begini terus. Aku harus bisa menjadi contoh yang baik untuknya. Aku pun tak lagi ingin memberinya makan dari uang haram hasil penjualan narkoba dan manggung di forum maksiat. Aku harus berubah. Tekad itu kupancangkan sedemikian kuat agar meresap ke seluruh nadi dan pori-poriku.
Aku bertarung melawan diriku sendiri. Aku bertarung melawan rasa sakaw yang teramat sangat. Aku berusaha lepas dari ketergantungan ini dulu sebelum aku menata kehidupanku. Sambil berproses untuk sembuh dari ketergantungan, aku pun mulai membiasakan sholat lima waktu sehari. Tidak mudah tapi bukan sesuatu yang mustahil. Aku pun menjauhi dunia panggung hiburan dan lingkungannya. Meskipun rasa rindu untuk bernyanyi itu ada, tapi rasa itu terkalahkan oleh rasa rinduku akan jalan taubat yang sedang kutapaki ini.
Aku pun mulai meniti jalan halal meskipun hasilnya sangat jauh bila dibandingkan dengan berjualan bubuk-bubuk maksiat itu. Tak jarang aku harus tidur di masjid karena tak berani pulang bila tak membawa uang. Malam-malam kulewati dengan mengisi perut dengan sebanyak mungkin air kran masjid karena seharian itu Allah menguji kesabaranku dengan minimnya materi yang kudapat di jalan halal ini. Kerasnya lantai ubin masjid terasa dingin dan akrab di punggungku yang tipis.
Hidup dari masjid ke masjid, itulah proses pencarianku. Aku bertanya pada banyak takmir masjid yang kusinggahi tentang hidup, kehidupan dan juga tentang Islam itu sendiri. Meskipun tak semua takmir masjid yang kutemui bisa menjawab kegelisahanku, tapi aku pantang menyerah. Kujaga terus sholat fardhu lima waktu agar bisa berjamaah di masjid. Langkah awal yang semula tak mudah buatku tapi kutekadkan untuk konsisten.
Pelan tapi pasti aku mulai merasakan manisnya iman meskipun hidup dalam kondisi serba kekurangan. Kemampuan mereparasi HP menjadi modal untuk mengais risky di jalan yang halal. Sesekali aku meminta diberi kepercayaan agar membawakan barang dagangan kenalan untuk kujualkan. Apa saja mau kulakukan asalkan halal. Aku pun sempat bekerja di toko HP milik orang Cina sebelum bertemu dengan teman SMP yang kemudian mengajakku bergabung di usaha yang baru dirintisnya.
Kurang lebih setahun aku bekerjasama dengan temanku ini. Sedikit banyak aku menimba wawasan keislaman juga padanya. Ia juga yang mengajakku mengaji Islam dengan lebih intensif. Mengaji Islam yang bukan sekadar sebagai ritual tapi juga sebagai way of life. Ia juga yang memperkenalkan kehidupan dakwah padaku. Meskipun sangat disayangkan, teman ini pula yang nantinya juga meninggalkan apa yang pernah diajarkannya padaku. Sungguh, Allah Maha pembolak-balik hati. Karena itu Ya Rabb, mantapkan hati ini di jalan-Mu.