Mohon tunggu...
Ade Budiman
Ade Budiman Mohon Tunggu... lainnya -

Think Smart n Smart Thinking

Selanjutnya

Tutup

Politik

Perempuan dan Politik Kekuasaan

12 Oktober 2014   06:20 Diperbarui: 17 Juni 2015   21:24 560
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Daftar bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 memuat paling sedikit 30% (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan.;

Dalam implementasi dari UU Pemilu 2012 itu banyak tantangan dan kendala yang harus dihadapi perempuan legislatif (caleg).setiap partai “harus” menyertakan perempuan caleg sedikitnya 30% perempuan dalam daftar calon anggota partainya atau non-partainya. Lalu konsekuensi dari sistem pemilihan umum dengan sistem proporsional terbuka membawa konsekuensi yang cukup berat bagi perempuan yang meskipun 30% perempuan caleg dipenuhi, namun tentu perempuan (dan juga laki-laki) akan terpilih karena rakyat memilih langsung nama calon, bukan lagi partai. Tantangan pertama adalah dari sistem pemilu baru itu sendiri, yaitu dalam hal bilangan pembagi pemilih (BPP), yakni angka pendapatan suara disuatu walayah dibagi kursi yang diperebutkan.

Peluang yang diberikan kepada kaum politisi perempuan untuk mengambil bagian dalam pesta demokrasi ditandai dalam pencalonan anggota legislatif, dengan kesempatan dan peraturan-peraturan yang mendukung seperti UU No 2 tahun 2008 tentang partai politik. Kemudian menyusul pula UU No 8 tahun 2012 tentang pemilihan umum. Yang didalamnya memuat instrument-instrumen regulasi untuk lebih memungkinkan secara luas kaum perempuan ambil bagian di bidang politik, yakni di pentas partai dan parlemen (wakil rakyat).

Disini persaingan perempuan caleg akan berat manghadapi sesama perempuan caleg dari internal maupun eksternal partai lain dan dengan laki-laki caleg dalam memperebutkan sedikitnya kursi yang tersedia. Perubahan wilayah pemilihan dan penempatan calon jadi di partai adalah hal lain yang harus di perhatikan karena tidak ada gunanya kalau perempuan calon legislatif berada di urutan bawah bahwa calon jadi, sementara kursi yang diperebutkan di suatu daerah pemilihan hanya tiga. Misalnya perempuan caleg. terutama ditingkat kabupaten/kota harus mendekatkan diri langsung dengan masa pemilih. Kalau ditingkat propinsi dan pusat peran media masa cukup signifikan dalam membantu caleg memperkenalkan diri kepada masyarakat. Hal ini mengandung kendala dana kampanye yang cukup besar bagi perempuan caleg yang membiayainya sendiri. Sebelumnya caleg suatu partai di haruskan memberikan uang pendaftaran yang akan digunakan sebagai dana kampanye partainya, sejumlah tertentu yang tidak boleh melebihi jumlah yang di tentukan dalam UU Pemilu yaitu Seratus Juta Rupiah, yang bukan merupakan jumlah kecil.

Kompetisi di arena kampanye akan sangat keras antar perempuan sendiri mengingat hanya 30%, lalu dengan caleg laki-laki dalam pemilihan terbuka yang mana laki-laki tidak asing di dunia publik / politik bagi masyarakat. Di sini lah kepiawaianperempuan caleg di uji, apalagi banyak daerah-daerah yang budaya patriarkhinya sangat kuat dan daya penerimaan terhadap perempuan yang berkiprah di dunia publik sangat rendah.
Saat ini tercatat jumlah perempuan anggota DPR periode 2014-2019 sebanyak 97 anggota menurun ketimbang periode 2009-2014. Pada periode sebelumnya, terpilih 103 perempuan anggota DPR.
Tidak hanya dalam parlemen (Legislatif) keterwakilan perempuan juga banyak yang menjadi Kepala Daerah (Eksekutif). Beberapa nama tokoh perempuan yang pernah bahkan masih menjadi (Decision Maker) seperti, Bupati Karang Anyar Rina Iriani Sri Ratnaningsih, Hj.Airin Rachmi Diany Walikota Tangerang, Suryatati A.Manan Walikota Tanjung Pinang, Ratu Atut Chosiah Mantan Gubernur Banten yang sekarang menjadi “pesakitan” di KPK.

Hal ini pembuktian bahwa saat ini perempuan Indonesia berani bicara untuk menyatakan dan memperdebatkan apa yang mereka inginkan dan harapkan terjadi. Dalam konteks merebut kekuasaan, perempuan harus mengoptimalkan kekuatan dan kemampuan mereka mengkonstruksi realiti, Sebagaimana dinyatakan oleh Castell, bahwa kekuasaan sampai bila pun tetap merupakan aturan sosial yang membentuk dan mendominasi kehidupan sosial itu sendiri.Lebih lanjut menegaskan bahwa kekuasaan adalah arsitek dunia sosial. Kekuasaan yang merancang kesesuaian peranan dalam insteraksi dan struktur sosial Atas alasan tersebut, maka perempuan harus memiliki kekuasaan dan kesempatan menjalankan kekuasaan tersebut sehingga dapat memperoleh pemahaman yang sama dan kekuasaan seimbang dengan laki-laki. Kekuasaan yang dimiliki akan menyebabkan distribusi kekuasaan dapat seimbang dan merata bagi perempuan dan laki-laki.

Ade Budiman
Peneliti Candidate Center

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun