Mohon tunggu...
Ade Budiman
Ade Budiman Mohon Tunggu... lainnya -

Think Smart n Smart Thinking

Selanjutnya

Tutup

Politik

Perempuan dan Politik Kekuasaan

12 Oktober 2014   06:20 Diperbarui: 17 Juni 2015   21:24 560
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

PEREMPUAN DAN POLITIK KEKUASAAN

Dulu, politik adalah wilayah yang relatif steril dari perempuan. Politik adalah dunia para laki-laki. Kalau ada perempuan yang bisa menduduki kursi kekuasaan politik – itu karena tradisi atau keturunan misalnya Ratu Elizabeth 1 dan 2 dari Inggris , Ratu Mesir Kuno – Cleopatra, Ratu Majapahit – Tribuana Tunggadewi, dan lain-lain.
Bertahun-tahun secara tradisi , politik diwariskan dan diperebutkan di antara kaum laki-laki. Mengapa politik hanya diperuntukkan bagi laki-laki? Apakah perempuan tidak pantas untuk terjun ke dunia politik?
Perebutan perluasaan wilayah kekuasaan seringkali dilakukan dengan cara peperangan, sehingga hal ini menjadikan Politik dan kekuasaan seringkali dibebankan diatas pundak laki-laki. Tugas perempuan hanya untuk memenuhi kebutuhan domestik atau konsumsi. Peran ini dilakukan berabad-abad tanpa ada gugatan dari kaum perempuan.
Sekarang, sebagian besar negara memilih jalan demokrasi dalam meraih kekuasaan. Kekuasaan tidak lagi diperebutkan melalui peperangan tetapi melalui proses pemilihan politik secara damai dimana faktor yang menentukan adalah popularitas dari si kandidat. Kalau seperti ini, tidakkah alasan dunia politik adalah wilayah yang pantas bagi laki-laki tidak berlaku lagi? Dalam tatanan demokrasi semua orang memiliki hak yang sama untuk memilih dan dipilih. Nilai-nilai fraternity, egality dan equality menjadi prinsip utama.
Kekuasaan Politik dan Subjektivitas
Perempuan dalam Gerakan Counter Hegemoni. Menurut Oxford English Dictionary,Helliwel dan Hindes, terdapat beberapa makna tentang kata kekuasaan iaitu “kekuasaan adalah memiliki kontrol dan kekuatan memerintah terhadap pihak lain. Para sosiologis memahami kekuasaan dalam konteks ini sebagai kapasitas untuk mendapatkan pihak lain tersebut hendak melakukan apa yang diharapkan atau diminta dilakukan oleh pihak lain dimaksud. Seperti Presiden terhadap populasi rakyatnya dan orangtua atas anak-anak mereka dan sebagainya”.

Kekuasaan adalah kemampuan yang legal, kapasitas atau kewenangan untuk bertindak, khususnya pada proses mendelegasikan kewenangan. Kekuasaan dalam pemahaman ini merujuk pada kewenangan atau hak yang oleh sebahagian orang harus mendapatkan pihak lain untuk melakukan segala yang mereka anggap sebagai wewenang. Kekuasan adalah kemampuan untuk melakukan atau mempengaruhi sesuatu atau apapun.Kekuasaan dalam konsteks ini berhubungan dengan agency, iaitu kekuasaan merupakan kemampuan seseorang untuk melakukan perubahan/perbedaan didunia. Kekuasaan adalah cara membina hubungan-hubungan antara masyarakat awam dan masyarakat politik. Kekuasaan harus membawa kesejahteraan bagi masyarakat awam dan bukan mendatangkan dominasi yang mengakibatkan ketidakadilan dan diskriminasi politik bagi masyarakat awam. Namun, jika keadaan kekerasan, ketidakadilan, dan diskriminasi dialami masyarakat awam yang disebabkan hegemoni kelompok penguasa dan kaum borjuis termasuk kaum intelektual, maka sebagaimana yang dijelaskan oleh Antonio Gramsci dalam konsep hegemoninya bahawa akan selalu ada kekuataan-kekuatan yang dipergunakan untuk melawan tekanan dan sikap represif penguasa.

Dipercayai juga akan ada cara-cara politik yang kreatif dan cerdas dari kelompok-kelompok masyarakat yang tidak mau menerima hegemoni ideologi yang menindas. Menurut Gramsci, kekuasaan tidak hanya dapat diperoleh dan dipertahankan dengan cara kekerasaan, namun juga mampu diperoleh dan dipertahankan dengan cara soft, yang disebutnya dengan hegemoni. Kelompok yang selama ini dianggap subordinat penguasa atau bahkan menentang penguasa dapat saja membangun aliansi baru guna menciptakan hegemoni baru.Kelas dominan, sebagaimana fahaman Marxis yang dipergunakanuntuk menjelaskan relasi kekuasaan di masyarakat borjuis, adalah kelompok dominan yang menggunakan hegemoni negara dan sumber daya ekonomi serta produksi yang berakibat terjadinya subordinasi kekuasaan dan sumber daya ekonomi dan produksi bagi kelas pekerja.

Dominasi laki-laki dan subordinasi atas perempuan juga kerana distribusi kekuasaan yang tidak sama. Laki-laki dengan dukungan sistem patriarkal, selama ini secara sosial dan budaya mendukung mereka dengan berleluasa menciptakan realiti yang tetap merugikan perempuan.Pemahaman dan perlakuan diskriminatif dan ketidakadilan atas perempuan kekal dengan berbagai bentuk; terkadang upaya itu tanpa sedar didukung oleh perempuan sendiri, keluarga bahkan kekuasaan negara.Pemahaman patriarki tersebut menyebabkan konstruksi konsep tentang perempuan menjadi diskriminatif dan menguntungkan laki-laki. Konstruksi sosial, menurut Affan Gaffar, membutakan perempuan (wanita dalam bahasa Affan Gaffar) dan tidak memungkinkan mereka untuk
berperanan secara aktif dalam politik.

Kekuasaan laki-laki sangat kuat dan didukung sistem sosial dan budaya membuat penyertaan perempuan dalam politik sangat jarang mencapai puncak dan seandainya ada maka lebih banyak dan seandainya ada maka lebih banyak keranarealiti di luar mereka atau larangan sistem yang melingkupi dan menguasai mereka.Realiti tersebut membuat perempuan harus keluar – berontakserta tidak mau hanya sekedar dijadikan instrumen politik.Pendukung setia parti politikatau dimanfaatkan kenaifan mereka untuk mencapai tujuan kelompok yang memiliki kekuasaan atas perempuan tersebut.Sebagai alat mobilisasi politik, perempuan hanya menjadi kendaraan bagi seseorang, kelompok bahkan negara.

Menurut Oxford English Dictionary,Helliwel dan Hindes terdapat beberapa makna tentang kata kekuasaan, yaitu:

1. Kekuasan adalah memiliki kontrol dan kekuatan memerintah terhadap pihak lain. Para Sosiolog memahami kekuasaan dalam konteks ini sebagai kapasistas untuk mendapatkan pihak lain tersebut, mau melakukan yang diharapkan/diminta lakukan oleh pihak lain dimaksud. Seperti Presiden terhadap populasi rakyatnya dan orangtua atas anak-anak mereka dan sebagainya

2. Kekuasaan adalah kemampuan yang legal, kapasitas atau kewenangan untuk bertindak, khususnya pada proses mendelegasikan kewenangan. Kekuasaan dalam pemahaman ini merujuk pada kewenangan atau hak yang oleh sebahagian orang harus mendapatkan pihak lain untuk melakukan segala yang mereka anggap sebagai wewenang.

3. Kekuasan adalah kemampuan untuk melakukan atau mempengaruhi sesuatu atau apapun. Kekuasaan dalam konsteks ini berhubungan dengan agency, bahwa hal itu untuk kemampuan seseorang melakukan perubahan/perbedaan di wilayahnya

POLITIK INDONESIA
Dalam sejarah politik Indonesia pasca Orde Baru, tuntutan bagi peningkatan keterwakilan politik perempuan di Indonesia sudah ramai dibicarakan sejak akhir tahun 1998 setelah turunnya Soeharto dari pucuk kekuasaan. Wacana tersebut semakin berkembang tatkala pemilu 1999, sebagai pemilu pertama pasca Reformasi mulai mengangkat isu tentang hak-hak perempuan dalam kampanye pemilu.
Kemunculan perempuan secara spontan muncul pasca Orde Baru tak serta merta diterima. Ketika muncul sosoknya, banyak yang menolak dengan alasan pribadinya yang lemah, belum jelas visi misi, dan sebagainya.
Kalangan feminis yang belakangan, misalnya Iris Marion Young menggaris bawahi apa yang disebut sebagai teori politics of difference, memunculkan teks “yang lain” (otherness). Etika yang memihak pada teks-teks otherness melahirkan kepedulian, mengangkat suara-suara minoritas. Di Era Reformasi, perjuangan untuk menempatkan perempuan sebagai wakil parlemen sudah semakin baik, akan tetapi tidak demikian halnya dengan bargaining position serta isu minoritas yang diusungnya. Agaknya ini masih menjadi perhatian bangsa memasuki dua dekade Reformasi berjalan.
Hasil pemilu 1999 mencatat tampilnya Megawati Soekarnoputri sebagai pemimpin paling populer pada saat itu dan partai yang dipimpinnya meraih suara terbesar dalam pemilu awal Reformasi. Meskipun pada waktu itu, representasi perempuan masih minim hanya mencapai angka 9 persen.
Namun, berkat perjuangan gigih koalisi para aktivis permasalahan perempuan dan koalisi perempuan anggota parlemen, di tengah berseminya alam demokrasi dan keterbukaan di era Reformasi ini, secara menagerial implementasi tindakan affirmatif ini, dalam hal perwakilan perempuan di parlemen dan partai politik telah berhasil diundangkan secara formal dalam pasal 55 undang-undang pemilu No. 8 tahun 2012.
Pasal tersebut adalah 55 yang dikenal dengan sebutan “kuota” untuk perempuan, lengkapnya pasal tersebut berbunyi :

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun