Mohon tunggu...
Dudy Subagdja
Dudy Subagdja Mohon Tunggu... -

"satu detik,satu menit sangat menentukan"

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

[FAPI] Mimpi dan Kematian

6 Juli 2015   09:14 Diperbarui: 6 Juli 2015   09:14 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

 

Dudy Subagdja No : 20

 

Hidup ini memang aneh? Atau mungkin aku saja yang menyebutnya aneh? Ah..mungkin saja aku merasakan pembenaran ini dengan keyakinan dan keputusan logika yang sadar, Betapa tidak seingatku ketika ayah dan ibu menanyakan sesuatu yang ada dimimpiku ketika itu aku menjawabnya dengan jujur, tanpa merekayasa atau dibuat-buat sama sekali, “Pengen jadi Astronot, ayah. jawabku lantang”, ketika itu aku masih mengingatnya, meski umurku masih bau kencur, tapi dengan lantang dan yakin kedua tanganku mengacung, ayah dan ibuku membalasnya dengan senyum tulus.

5 tahun kemudian lagi-lagi aku mengungkapkan keputusan yang sama, kali ini hanya ibu saja yang tersenyum, tapi bagiku senyuman ibu cukup mewakili ayah, meski senyum itu lembut tapi mengundang sejuta misteri. Atau ibu benar-benar yakin akan diriku ini? Atau malah sebaliknya? Tapi gurat kening ibu terlihat berat, sudut matanya perlahan menggantung manik-manik kecil itu kemudian menetes dipipinya yang terlihat kusam, tidak sesegar saat ayah berada disampingnya.

Baru saja aku meninggalkan kantor dimana aku magang selama 3 bulan ini, agak tergesa-gesa memang, sengaja aku pulang agak cepat dengan harapan bisa bertemu ibu dan membawa kabar baik tentang surat yang baru saja kuterima tadi pagi. __Aku lulus di sekolah Penerbangan__ “tapi tidak lama setelah berita gembira itu datang ibuku meninggal dunia”

Tidak biasanya aku menjalankan sepeda ini begitu kencang, setiap kelokan, bahkan dalam keadaan ramai aku lewati dengan penuh semangat. Suasana jalan begitu padat, beberapa kendaraan bermotor terlihat berjejal menyesakkan, pemandangan seperti ini memang rutin ku temui saat pulang jam kantor atau sebaliknya.

Tempat Pasar kembang kira-kira 200 meter lagi, arah jalan menuju kesana cukup di tempuh dengan 1 menit perjalanan, tapi itukan sebuah perkiraan, bukan hitungan matematika yang pasti. Beberapa kelokan lagi sampai, tapi kemacetan belum juga terurai, terpaksa aku berjibaku mengangkat sepeda ke atas trotoar, lalu menurunkannya lagi kejalan dan kembali mengowes, begitu seterusnya.

Ibu selalu memberiku kekuatan,sejak ayah meninggal ia sudah terbiasa dengan hidup yang keras, ia juga percaya kalau Tuhan selalu bersamanya, tentu aku sebagai anak semata wayangnya harus dapat membahagiakan ibu, tidak ada alasan untuk hidup bermalas-malasan.

Beberapa kembang yang kupesan sudah siap, Mang Karna melambaikan tangannya, masih jelas kulihat wajahnya yang khas, dengan topi capingnya yang miring kekiri, menyembunyikan wajah familiar dan kumisnya itu memang terlihat manis menghias perawakan tegap dengan kulit sedikit gelap, tetap saja para pelanggan segan dan menghormatinya.

Sama seperti aku, sudah setahun ini aku melanggan padanya, bahkan tidak terhitung berapa bunga yang sudah kupesan, rutinitas setiap bulan ini menjadi hal penting bagi aku, mungkin juga untuk ibu dan ayah, setidaknya mereka akan tersenyum dengan apa yang aku lakukan, bahkan aku berharap lebih ia dapat tersenyum sebahagia dahulu.

Seperti pagi ini aku dan sepeda ku menjadi saksi akan apa yang aku raih,seiring waktu berjalan impian-impian sederhana itu menjadi nyata, sebuah cita-cita yang aku ucapkan dengan lantang didepan Ayah ibuku dulu.

Lagi-lagi aku berdiri tanpa ayah dan ibuku, aku selalu mendo’akannya, semoga beliau dapat merasakan perjuangan dan kegigihanku.

Pekuburan diujung jalan itu terlihat sepi, sunyi sekali, meski keadaan saat itu masih siang hari. Beberapa tanaman kamboja berdiri membelah jajaran gundukan makam, wanginya semerbak terbawa angin .

Aku berdiri mematung tanpa banyak bicara, kerumunan orang kulihat silih berganti memadati pemakaman ini, kadang menaburkan bunga digundukan tanah yang masih basah. Wajah mereka begitu tulus meski diselimuti duka dan air mata, Sesekali tangan mereka menyeka batu nisan dingin ini dan menaruh photo seorang lelaki dengan pakaian pilot, ia terlihat begitu gagah dengan atribut yang menyemat dikanan kiri baju putih itu. Tapi…wajah diphoto itu mirip denganku,…………………….

Tepat pukul 10 pagi minggu kemarin, Jum’at sebuah Pesawat tujuan Malaysia los kontak di perairan menuju arah barat, diperkirakan korban tidak ada yang selamat, termasuk pilot muda dan Crew lainnya hilang di perairan Majene.

 

 

 

 

 

  • Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community (sertakan link akunFiksiana Community)

 

           Silahkan bergabung di group FB Fiksiana Community

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun