Ronald terbangun alarm ponselnya terus berbunyi, ia menguap beberapa kali, rasa kantuk yang berat membuat ia sedikit agak terhuyung. Tangan kanannya memaksa melipat badcover yang terjuntai kelantai.
Tiba-tiba ia tersenyum memandangi display handphonenya “jangan lupa beibz jam sembilan nanti malam aku tunggu kamu ya?, biasa kita minum Kopi kesukaanmu.” sebuah pesan bbm mengingatkannya. Sebentar ia menoleh keluar kamarnya, wajahnya mulai serius, langkahnya nampak berhati-hati sekali.
Setelah dirasa cukup aman ia ambil langkah seribu! Jalan alternatif yang paling aman adalah melewati jendela kamar, begitu pikir Ronald. Tanpa membuang kesempatan ia mengendap-endap, gerakannya mirip sekali denganfilm serial kera sakti, ouw! nyaris sempurna tanpa cacad langkahnya tak menimbulkan suara-suara berisik yang membuat seisi rumah curiga dan mendengarnya.
Kini Ronald sudah berada dimobilJeep Wrengler biru tua kesayangannya, dengan lembut ia mengemudikan mobil itu, wajahnya nampak tenang dan gembira menutupi sebagian wajahnya yang masih pucat.
Perlahan terdengar laguJim Bricman‘My Valentine’, pelan melantun terdengar mendayu-dayu. Jalan menuju puncak yang berkelok sangat pas dengan suasana sore itu. Hujan gerimis,angin sepoi-sepoi dengan sedikit kabut menyeruak menutupi sebagian pandangan mata.
Ronald tersenyum…pandangannya datar tapi dipelupuk matanya menggayut manik-manik kecil, menggantung diantara kedua matanya yang keras dan tajam.
My Valentine
If there were no words,
no way to speak,
I would still hear you
If there were no tears,
no way to feel inside
I’d still feel for you
And even if the sun refuse to shine
Even if romance ran out of rhyme
You would still have my heart, until the end of time
You’re all I need,
my love, my valentine
All of my life,
I have been waiting for,
all you give to me
You’ve opened my eyes,
and showed me how to love unselfishly
*****
Tujuh tahun lalu tepatnya, dimana Ronald tumbuh besar bersama sang kakek, jauh dari hingar bingar kota, dimana ia dilahirkan, dimana ia jauh dari kedua orang tuanya.
Garut nama kota kecil, terkenal dengan dodolnya, sebutan kota Intan penghasil jeruk begitu melekat dan dahsyat. Ronald bangga dilahirkan disana, meski kota kecil itu jauh dari keramaian layaknya kota-kota besar di Indonesia, tapi ketenangan yang tiada banding begitu melekat pada sosok Masyarakat disana.
Ayah Ronald berasal dari kota Garut, Kota Guntur orang menyebutnya, hiruk pikuk perkotaan saat itu mungkin tak seramai sekarang. Lalu ibu Ronald sendiri berasal dari desa kecil Banyuresmi, sebuah desa dengan hamparan sawah-sawahnya yang masih terlihat hijau.
Jarak antara kota ke desa Banyuresmi sekitar 10 kilo, angkutan pedesaan saat itu lebih mengutamakan delman, maklum saja mobil angkutan pedesaan sangat jarang disana. Jalan-jalan hotmik tidak terlihat baik, jalan menuju desa cukup untuk mobil berukuran kecil, maklumlah pembangunan infrastruktur disana belum sepenuhnya tersentuh tangan pemerintah.
Kakek Ronald seorang pensiunan kepala sekolah, kebetulan neneknya-pun dahulu adalah pengajar di sebuah sekolah SD negeri, jadi lumayanlah masa tua mereka tak merepotkan anak-anaknya.
Kakek dan nenek Ronald bukan saja seorang abdi Negara, kesukaannya bertani dan berkebun sangat kentara, hektaran sawah, kebun dalam garapannya. Sewaktu kecil Ronald membantu kakek dan neneknya kadang menggarap kebun tomat, cabai, dan jeruk Garut. Itu dilakukannya sepulang sekolah.
“Lebih baik kau mengelola sawah dan kebun ini” suatu ketika kakek berkata.
“Kamu tinggal melanjutkan apa yang kakek kerjakan” nada kakek terdengar penuh harap.
Ronald tak menjawab permintaan kakek, ia hanya mengulas senyum kecil dibibirnya.
“Tak ada keturunan kakek yang mau bertani, dekat dengan alam bahkan mengagumi hasil tani nenek moyang kita”. Ucapan kakek kali ini bagai sembilu. Ronald menatap topi caping Kakek dengan miris. Hati kecilnya begitu kuat ingin membahagiakan Kakek juga nenek, Tapi kerinduan terhadap ayah dan ibunya membuatnya bersikap netral.
Ronald tumbuh besar bersama kakek dan Neneknya, maklumlah pada saat itu ayah dan ibunya merantau mengadu nasib di kota metropolitan Jakarta. Konon dengan mengadalkan diploma 2 ayahnya berjuang menaklukan kota yang hingar bingar itu. Kabarnya sukses.
Ketika mulai beranjak dewasa Ronald mulai berfikir mengikuti jejak ayahnya, mengadu nasib di kota Jakarta, mungkin ia tidak tertarik dengan apa yang disarankan sang kakek. Walau kenangan manis bersama kakek, neneknya tak mungkin dengan mudah ia lupakan.
*****
Anak baru pindahan dari Bandung itu bernama Revy, garis wajahnya oriental kulitnya tidak terlalu putih, orang menyebutnya sawo matang, postur tubuhnya sangat ideal, jalannya saja bak pragawati melenggak-lenggok diatas catwalk,”weiiiisss nyaris sempurna bray”.
Guru dan teman kami sangat menyukainya, meski Revy anak orang kaya tapi ia begitu familiar dalam bergaul. siapa coba yang enggak mau bergaul sama Revy? Selain pandai bergaul Revy selalu langganan mendapat rangking.
‘Alamaaaak’…kerennya Revy?. Terus terang aku tertarik padanya, sayangnya waktu itu kelulusanku hanya tiga bulan lagi, sedangkan Revy masih menghuni sekolah itu, dua tahun lagi, artinya tak cukup bagiku untuk pedekate. adik kelasku itu sanggup menggoda keangkuhan hatiku, aku benar-benar dibuat galau 2000%.
Siang malam ada saja bayangan wajahnya berseliweran dipelupuk mataku. jujur saja materi ujian yang kupersiapkan berbulan-bulan kini mulai luntur berganti memory wajahnya.”kleyeng-kleyeng” fantasiku bergolak ingin memburunya.’ya minimal aku dapat lebih dekat mengenalnya, syukur-syukur bisa jalan bareng, nonton bareng, makan bareng, olah-raga bareng dan seterusnya. ngarep banget.
Lebih parah lagi sifatku yang kurang pede, banyak temanku bilang aku kurang macho! Hmmmm’ dipikir-pikir ada benernya juga apa kata mereka. aku sikutu buku sangat serius dengan pelajaran dan hal-hal yang sangat formil.
Hahahaha….boro-boro minum kopi? Merokok-pun aku tak pernah, menghisap asapnya saja aku langsung terbatuk-batuk! Kalau sudah begitu teman-temanku pasti menertawaiku.
Hingga suatu hari di bulan February satu kejutan menghampiri hidupku.
“Kak Ronald!” suara yang khas begitu lembut menyergap hatiku.
“Aku punya Voucher nonton nih?”
“Nonton,yuk” wajah Revy terlihat serius.
“Mau, enggak?”
Aku menggangguk, terus terang tanpa ditraktir dia pasti aku mengajaknya, cuman ya itu tadi karena sifatku yang kurang pede jadi bingung untuk memulainya.
Dihari H kami nangkring bersama disebuah Cafe sambil menunggu jam film diputar, lumayanlah sambil ngobrol-ngobrol ngalor-ngidul. Aku membiarkan Revy memilih menu yang ia sukai dua gelas kopi sudah tersedia di meja mungil. Aku harus berkata jujur minum kopi akan membuat jantungku berdebar, tapi demi Revy aku manut saja, pokoknya gimana nanti aja deh, begitu pikirku.
“Hmmm… yuk minum kopinya” Revy meneguk kopi itu pelan-pelan.
“Kamu mau kuliah dimana, kak Ronald?”
“Belum tau, Rev” jawabku singkat.
Hadeeeeh aku seperti sesak nafas ngobrol dengan cewek yang kusukai, maklumlah baru pertama kalinya aku mengenal cewek, aku makin geer dan panas dingin.
“Kenapa kamu keringetan?” tanya Revy
“Kamu sakit?” wajah Revy terlihat khawatir.
Aku gelagapan, padahal ruangan cafe ini ber AC? chupu banget aku ini? seharusnya aku berguru pada Wendy, si play-boy tengik itu, tentu dia akan suka rela memberi tips sukses cara berbicara dan pedekate terhadap cewek.
“Sini aku lap keringatmu” Revy mengambil tissue dan menyeka keringatku. orang-orang di cafe itu melihat tingkah laku Revy, bangganya bukan main hatiku, aku seperti seorang pasangan romantis saat itu. saking groginya secara reflek aku meneguk Kopi dicangkir itu, cangkir kepunyaan Revy.’glekk!’ habis dengan sekali seruput. Revy hanya melongo, matanya terbelalak, tapi sebentar kemudian timbul senyum manisnya.
Itulah kisah kecil mereka,selanjutnya hari-hari manis dan pahit terus mereka jalani bersama.
********
Seperti malam ini malam yang di janjikan Revy lewat bbm singkatnya, setelah 5 tahun kenangan itu terus membekas diangan Ronald. Taklama ia memarkir mobil Jepp Wrengler biru tua itu disebuah parkiran cafe, dimeja yang sama, ruangan minimalis dengan lampu sudut terlihat remang-remang, suasana redup dengan dua cangkir coffe hangat telah dipesannya.
Ronald dengan sabar menanti, kini ia telah menyukai Kopi yang dulu sempat membuatnya allergi, tiga kali seruput ia sangat meresapi dengan tarikan nafas panjang yang teratur, menambah suasana hatinya begitu berbunga dan bahagia.
Tiga menit kemudian Revy duduk bersama Ronald, matanya terlihat sayu, tatapannya datar senyumnya tak seperti lima tahun yang lalu, tanpa komando, Ronald mengenggam tangan Revy meski terasa dingin tapi kerinduannya sangat menggunung.
Ingin sekali Ronald memeluk wanita disisinya, Revy tak bergeming, ia menatap Ronald senyum dengan duka yang dalam, lelaki dihadapannya kini begitu riang dan percaya diri, tapi sayang dunia mereka jauh berbeda, kematian Revy tiga tahun yang lalu akibat kecelakaan telah membuat Ronald berillusi panjang dan tergoncang.
Selang sepuluh menit kemudian wanita separuh baya itu datang memeluk Ronald dengan erat, tangisnya tersedu-sedu ia menciumi anak semata wayangnya dengan penuh duka.
“sudahlah sayang……. Mari kita pulang” suara ibu itu terdengar parau, air matanya jatuh tak terbendung, ia memeluk Ronald sangat erat dan memapahnya keluar cafe. Ronald terdiam ia seperti kebingungan matanya berkaca-kaca.
Diluar sana hujan mulai mengguyur jalan setapak menuju sebuah desa , sekian lama pekuburan itu memang sudah sangat rimbun oleh ilalang dan rumput yang merambat lebat. Ronald terpaku dengan mata sembab.
NB : Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community (sertakan link akun Fiksiana Community) dan Silahkan bergabung di group FB Fiksiana Community
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H