Mohon tunggu...
Dudy Subagdja
Dudy Subagdja Mohon Tunggu... -

"satu detik,satu menit sangat menentukan"

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[SRINTIL] Emakku Lebih Cantik

23 Agustus 2014   19:08 Diperbarui: 18 Juni 2015   02:46 206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

sumber gbr GooGle

[SRINTIL] Emakku lebih Cantik

By:Dudy Subagdja

24 Desember 1989 saat jam menunjukkan pukul 23.00.

Risma memandangku dengan wajah yang kesal, dari balik pintu kostnya keluar pula lelaki separuh baya, badannya yang tambun,dengan hanya menggunakan celana hotpant. ekspresinya datar, ia lebih banyak menunduk tanpa berkomentar apa-apa. Aku hanya melongo, jantungku terasa berhenti mendadak melihat Risma dengan daster tipisnya. “Alamakkkkkkkkkk?” apa yang mereka lakukan? Atau ini yang disebut cabe-cabean? Ayam kampuskah? Atau? Mungkin juga ayam panggang? Gumanku sekenanya.

“ Kamu ngeyel deh !” Ujar Risma, matanya melotot dan sewot.

“ Aku kan udah bilang, jangan datang kerumahku dulu !” nadanya kini makin meninggi.

“ Tapi… aku kangen, Ris?” Jawabku membela diri.

“ Alaaaaaah rese!”wajah tirusnya kini memerah.

“ Sekarang kamu pergi !

Tanpa pikir panjang aku berlalu, sedikitpun aku tak mau memalingkan wajahku untuk melihat Risma. Hatiku terasa luluh lantak saat itu, Amarah Risma bagai badai tsunami menerjang disiang bolong. Benar yang dikatakan banyak orang termasuk Rusdi, kalau dia bukan wanita baik-baik, Risma gadis buas yang bersembunyi dibalik kepolosan diriku, selama ini dia hanya memanfaatkan aku. Cinta pertamaku habis sudah!.

Risma gadis pertama yang kukenal, cinta pertamaku, cinta yang kata orang bilang bikin mabuk luar dan dalam. Emang bener sih aku dibuat srantal-sruntul. Buktinya tiap malam aku gelisahnya minta ampun, ngedadak semua pikiranku tertuju padanya, boleh dikata urusan Emakku hanya tinggal 5% saja, itu juga asumsiku saja, belum tentu kalau menurut orang lain yang menilai. Ya..bisa aja 1% bahkan bisa jadi 0%. Akhir-akhir ini emakku jarang ku perhatikan aku malah sibuk menghayal dan lain sebagainya. Aku mulai melenceng dari jalur keteguhanku yang selama ini aku cita-citakan. aku menghindari yang namanya berdekatan dengan wanita, itu tekadku! tapi? Alamaaaaak rasa manusiawi ini memaksa bertindak lain, puber yang benar-benar membuatku menjadi kalang kabut. belum lagi urusan masa depan? Kayaknya nol besar! Boro-boro kepikiran, mumet yang ada.

“kamu bener-bener ngebet ya?” Tanya Rusdi suatu hari.

“Apaan sih?”

“ Lho?” benerkan kamu lagi mikirin Risma?”

“ Ngaku ajalah” Rusdi tertawa geli.

“ Sotoy, luh!” aku bersembunyi dalam kecemasan.

“ Kalau orang jatuh cinta itu gampang dinilainya bro”.

“ Coba kamu ngaca? Nyadar ngga kalau kelakuanmu aneh?”.

“ Aneh?” emang ada yang aneh? Jawabku makin serabutan.

“ kalau elu demen, tembak aja bro!” Rusdi kembali ngompori aku.

Untuk sesaat aku tak menjawab ide Rusdi, aku lebih memilih diam, lalu ku pandangi wajahnya aku menghela nafas dalam-dalam, jemariku menggaruk kepalaku yang sebenarnya tak gatal.

“ Hahahahaha.. gue tau sekarang?” Rusdi seolah mengejekku.

“ Pake nyali bro!”

“ Perempuan itu harus dikejar!”

“ Bukannya dinikmati atau cuman dikagumi doang”

“ Jangan lama-lama Bro, keburu disabet Orang”. Sarannya Rusdi kali ini makin serius.

“ Gue cuma ngingetin, diluar sana banyak cowok ganteng yang siap ngegaet Risma”.

Rusdi berlalu sambil menepuk-nepuk bahuku. Aneh juga baru kali ini ia solider untuk masalah cewek cantik? Biasanya untuk urusan cewek dia biangnya, temanku itu Play Boy berat, ngga bisa liat cewek cantik, bawaannya pengen nyabet. Bukankah Risma itu jauh lebih cantik dari pada gebetannya? Tumben legowo, pake ngasih lampu ijo segala?.

Hari ini jam terakhir pelajaran Matematika. Kepalaku kleyang-kleyeng, angka demi angka hanya membuatku betenya bukan main. Sebentar kulihat jarum jam analogku, busyeeet jarum jam itu terasa merangkak tertatih-tatih, lemot banget, kayak suster ngesot?. Pikiranku semakin tak fokus, aku hanya bisa berfikir tentang Risma dan perkataan Rusdi tadi.

*********

Memang benar Risma itu pindahan dari Bandung wajah orientalnya begitu kinyis, hidungnya yang bangir, lalu kedua matanya yang belo bak boneka itu pasti bikin ketar-ketir siapapun cowok yang melihatnya. Belum lama ini ia menghuni kelas I b di yayasan sekolah kami udah jadi rebutan cowok-cowok, cuman aku yang paling minder dan tau diri tentunya. Ya kenyataannya seperti itu, mau tak mau aku mundur teratur untuk ikut berburu cewek imut itu. “Amunisiku Cuma modal puisi dan sepedah butut?” sementara teman-temanku yang lain lebih mentereng dan punya modal wajah yang mumpuni.

13 November1989 saat jam menunjukkan pukul 12.30.

Hujan cukup deras…. Aku tak menyangka kalau Risma mau berboncengan satu sepedah denganku, ia nampak bahagia dengan payung pink kecilnya. Gadis secantik Risma lebih cocok menaiki mobil ya minimal berboncengan motor? Ah aku tak peduli dengan pikiran-pikiran logisku yang terpenting hari itu aku bisa berjalan dan menikmati pengalaman yang mungkin ngga bisa kami ulang lagi.

Cerita-cerita aneh muncul dihari-hari selanjutnya, saling dekat, semakin indah , terasa dunia ini milik berdua, aku tak perduli dengan dunia orang lain, anggap aja orang lain ngontrak!. Aku semakin pede, singkat cerita aku telah memiliki hati Risma dan sebaliknya. Banyak cerita yang tak perlu diungkap, semua menjadi rahasia, karena kami saling mencinta.

*********

Mataku sembab bukan tanpa sebab, cermin butut dipinggir ranjang emakku semakin tak enak dipandang. Bingkainya yang usang dengan pernis coklat seadanya terlihat kumal, mungkin usia cermin emakku sudah beberapa tahun lamanya atau mungkin puluhan tahun kali. Aku nggak tau persis sejak kapan cermin ini menjadi milik emak?. Katanya sih sejak jaman kakekku.


Untuk kedua kalinya aku termehek-mehek, kecewa yang bergelayut semakin terasa menggayut dijantungku yang terengah-engah, entah sudah berapa lama aku tersungkur bagai orang mabuk diranjang emak yang setengah reyot.

Ukuran kamar emak tidak begitu besar 2x3 meter, pikiranku semakin sumpek dan galau, alih-alih aku merogoh kantung celana SMA ku, untuk beberapa saat aku celengak-celinguk, desah nafasku terasa memburu, aku tertuju pada selembar obat sesak nafas, kata temanku kalau kamu stress minum aja, dijamin cespleng!. Kleyeng-kleyeng termasuk frustokat dijamin mabur dan manjur, begitu kata-kata Roni, suatu saat ketika ngobrol di kantin sekolah.

Tapi? Gimana kalau aku OD? Ya Tuhan aku ngga mau mati sia-sia! Hidupku masih panjang! Dan bagai mana nanti perasaan emakku? Bukankah tumpuan dan harapan ada dipundakku?

*********

.

19 Januari 1990 pukul 12.30. ketika cinta harus memilih siapa?

Aku mengelus-elus si “Kukut” Sepedah butut yang dibelikan emak lama ku tatap, rasa haru menyergapku, setidaknya dengan sepedah ini emak telah banyak berkorban, emak telah banyak membantu dan menaruh besar agar anak semata wayangnya tumbuh dan dapat bersaing layaknya anak-anak yang lain. Aku bangga padanya, meski tanpa babeh disampingku. Memang sepeninggal babeh karena sakit kankernya, emakku berusaha keras membesarkan aku hingga sekarang ini. Dan beberapa bulan lagi aku harus meninggalkan bangku sekolah ini, menuju jenjang yang lebih tinggi, melanjutkan untuk kuliah atau terpaksa harus bekerja?.

Aku memandang wajah emakku, keriput disekitar wajahnya terasa mengiris hatiku, matanya Nampak terpejam dalam, sesekali nafasnya terengah dan menekan batuk yang meledak. Perlahan aku menghampirinya dan ciumanku mendarat dikeningnya.

“Maafkan aku ya mak” kata-kataku terdengar parau dan berat sekali.

Kubendung air mataku yang sudah menggantung ganas dikedua pelupuk mata ini dan meninggalkan emakku yang tertidur dengan pulas, aku percaya mimpi-mimpi emak akan membakar semangat aku yang tak pernah putus meski aku baru saja putus dari Risma sang pecundang itu. Aku tak lagi membiarkan sisa kebahagiaan emakuntuk tetap tegak memandang dunia. Ternyata Emakku adalah wanita yang paling cantik didunia ini.

Aku berjanji kepada Tuhan juga kepada emakku dan mendiang babehku, untuk tidak lagi “SRINTIL-SRUNTUL” ngga jelas, tapi…untuk Srintil-sruntul menggunakan sepedah di jalan raya dan gunung-gunung akan aku buktikan, baik dengan tanjakan pedas maupun turunan extream aku mampu melalapnya dengan tegas, setegas hidupku sekarang!.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun