Mohon tunggu...
dedy zulkifli
dedy zulkifli Mohon Tunggu... Wiraswasta - wiraswasta

orang biasa

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Pacuan Kuda, Hiburan Tradisional di Tanah Gayo

6 Maret 2013   09:56 Diperbarui: 24 Juni 2015   17:14 1312
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_240379" align="aligncenter" width="630" caption="Pacu kuda tradisional"][/caption]

Teks dan foto: Dedy Zulkifli

Selepas jeda waktu zuhur, matahari masih tetap terik bersinar di hari itu (23/2). Sebelumnya, dua “race” pacuan kuda sudah di mainkan. Udara Takengon yang terkenal dingin, entah mengapa di tengah hari menguap membuat gerah. Ribuan orang yang datang di lapangan Blang Bebangka, Kec. Pegasing dipaksa memicingkan mata karena silau. Dan juga dipaksa mengenakan topi atau payung demi terhindar dari panasnya matahari. Dan saya hanya mengandalkan sapu tangan yang di kenakan seperti tudung. Hasilnya, kulit wajah  pun praktis terbakar.

[caption id="attachment_240380" align="aligncenter" width="420" caption="Menikmati hiburan pacuan kuda di lapangan yang tidak jauh dari arena."]

1362563669595531520
1362563669595531520
[/caption] [caption id="attachment_240382" align="aligncenter" width="420" caption=" "]
1362564525848864252
1362564525848864252
[/caption]

Pacuan kuda tradisional ini merupakan agenda tahunan yang di selenggarakan Pemkab Aceh Tengah untuk menyemarakkan hari jadi Takengon yang ke 436. Kegiatan ini sudah menjadi tradisi sejak turun temurun. Kuda-kuda yang diadu larinya ini ditunggangi oleh anak-anak yang berumur sekitar 10 - 15 tahun. Tanpa pelana, juga tanpa pelindung kepala. Namun begitu para joki itu tak sedikit pun gentar. Memacu terus kudanya mengelilingi arena untuk menjadi nomor satu berada di garis finish.

[caption id="attachment_240384" align="aligncenter" width="420" caption="Beberapa anak-anak menonton di pagar pembatas arena pacuan kuda."]

1362565176895596184
1362565176895596184
[/caption]

Saya mengambil posisi di tikungan pertama di arena yang melingkar secara oval. Tingginya antusias dari masyarakat gayo membuat pinggiran lapangan menjadi padat untuk menonton. Di beberapa tempat, bahkan para penonton membangun sendiri tendanya dan yang diiikatkan pada pagar pembatas arena pacuan . Mereka bahkan membawa sanak keluarganya seperti hendak berpiknik. Sembari duduk ditikar dan menikmati bekal makan siang, mereka mengobrol sambil menunggu pacuan dimulai.

Kedatangan saya ke Takengon memang sekedar untuk bermain. Menyalurkan hobi memotret dan juga memenuhi hasrat untuk menjejakan kaki secara langsung di kota yang kerap dijuluki negeri di atas awan. Pun begitu, dengan adanya kegiatan pacuan kuda ini adalah nilai plus bagi saya. Karena keinginan utama adalah datang dan mencoba menikmati keindahan Danau Laut Tawar. Dan juga menikmati kopi arabika gayo ditempatnya.

Saya terpaksa masuk dalam lintasan pacuan kuda untuk memotret. Bisa jadi tindakan ini tidak safety. Namun keadaan yang ramai di dalam tikungan membuat pandangan kerap di tutupi beberapa tubuh. Hal ini sudah pasti menghalangi kamera untuk mengambil moment sang joki di atas kuda.

13625641061880277802
13625641061880277802

Pada penyelengaraan pacuan kuda kali ini ada sekitar 135 kuda yang disertakan. Kuda-kuda ini di datangkan dari tiga kabupaten yang ada di propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Diantaranya, 101 kuda dari Bener Meriah, 43 kuda dari Gayo Lues dan 171 kuda dari Aceh Tengah selaku tuan rumah. Untuk kesemuanya ini dilombakan dalam 10 kategori/kelas yang dibagi berdasarkan umur dan ketinggian kuda. Dimulai dari kategori D Muda hingga A Super Tua, lomba yang di selenggarakan selama satu minggu ini memperebutkan piala bergilir Gubernur Aceh.

Suara aba-aba yang sayup terdengar seketika menciptakan kepulan asap di starting gate. Empat kuda sudah berlari tunggang langgang berdampingan. Menunggu moment, saya menahan ujung jari di tombol shutter release kamera. Kurang dari satu menit derap kuda yang berpacu sudah masuk dalam bidikan. Ketika saatnya tiba, maka tombol rana pun dipencet hingga beberapa frame terolah dalam kamera.

Menarik memang menyaksikan pacuan kuda. Apalagi saya yang belum pernah melihat secara langsung. Kadangkala seperti tidak percaya saya bisa sedekat ini dengan kuda. Maka ketika ada jeda di waktu sholat ashar saya mencoba mendatangi beberapa tenda atau barak di mana kuda-kuda pacu tersebut di tambatkan. Agak lama saya melihat dan memperhatikan. Entah mengapa kuda seperti memiliki daya tarik tersendiri. Makhluk perkasa karunia Tuhan itu seperti kendaraan mistis saja. Seolah kekar ototnya menantang saya untuk mengajak berlari. “Secepat apa kamu bisa”, begitu yang saya rasakan setiap mata saya beradu dengan sang kuda.

[caption id="attachment_240385" align="aligncenter" width="300" caption=" "]

1362567752417266756
1362567752417266756
[/caption]

Seorang teman pernah menginformasikan kepada saya. Bahwa, “ pacuan kuda di Takengon bukan sekedar lomba kuda saja. Kekuatan kuda sebenarnya ada pada sang pawang”. Begitu sang teman meyakinkan saya. Penjelasan singkatnya adalah bahwa sang pawanglah yang sedang beradu ilmu dengan media kuda. Maka tak heran jika mendengar kuda bisa saja mati tiba-tiba di jalur lintasan saat berpacu.

Karena penasaran, saya mencoba untuk mencari-cari dimana dan kapan sang pawang melakukan ritual doa untuk sang kuda. Beberapa tenda tempat tambat kuda saya datangi pelan-pelan untuk melihat namun beberapa lama saya mencari tapi tidak beruntung. Namun dari semua orang yang saya kenal di Takengon tidak memungkiri adanya ritual sang pawang kepada kuda. Itu sudah jadi rahasia umum rupanya.

Pacuan kuda sebenarnya bukan hanya sekedar untuk memenangkan hadiah. Karena kalau melihat dari jumlah hadiah yang di tawarkan maka tidaklah sebanding dengan perawatan dan harga sang kuda. Tapi lebih ke pada kebanggaan sebagai mana semangat di awal mulanya. Dan juga kuda-kuda yang menang itu bakal mengharumkan nama daerah yang di bawa. Namun begitu sang bupati dari Aceh Tengah selaku tuan rumah mengajak semua peserta untuk menjadikan pacuan kuda ini sebagai ajang untuk meningkatkan tali silatuhrahmi. Sehingga menjadi penarik minat wisatawan untuk datang.

[caption id="attachment_240386" align="aligncenter" width="300" caption=" "]

1362567943863353821
1362567943863353821
[/caption]

Tanpa terasa beberapa “race” sudah di lakukan. Saya memutuskan untuk pulang sebelum pacuan berakhir sudah. Dari kejauhan saya melihat orang-orang bergerak dinamis. Ada yang masih berkumpul untuk tetap menonton. Beberapa berkeliling di antara pasar dadakan yang banyak menjual barang dan jajanan. Seperti tempat rekreasi raksasa, tempat ini sudah jadi arena kumpul masyarakat gayo untuk menikmati sekeping hiburan. Ya, hiburan yang mereka banggakan. Pacu kuda tradisional gayo.###

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun