Memangnya ada permasalahan apa sih di kampus kita sampai-sampai harus menggolong-golongkan mahasiswa. Kritis, anarkis, apatis, skeptis? Apa pentingnya semua golongan itu? Apa bisa lulus dengan cepat jika menganut golongan-golongan itu? Kuliah kan mahal, semakin lama, semakin kasihan orang tua kita. Terlebih untuk mereka yang membayar uang kuliah dengan keringatnya sendiri.
Permasalahan yang mungkin seringkali dirasakan mahasiswa adalah fasilitas. Memang hanya itu yang bisa dilihat dengan kasat mata.Contoh kecilnya, papan billboard danamon di depan kampus. Hanya beberapa orang saja yang merasa terusik. Selebihnya mungkin hanya akan menjawab ”biasa saja” jika ditanya tentang billboard itu. Memang billboard tersebut bukan merupakan fasilitas, namun alangkah lebih elok dipandang jika yang terpampang di depan kampus itu adalah sesuatu yang menunjukkan jati diri kampusnya.
Sebuah pengalaman terjadi pada lulusan 2009 yang saya kenal. Beliau mendapatkan kesempatan mengikuti beberapa tes sebagai calon reporter di sebuah media yang cukup terkenal di Indonesia. Saat berkenalan dan berbincang-bincang dengan beberapa orang yang mengikuti tes tersebut, tidak satupun yang mengetahui keberadaan kampusnya. ”moestopo, dimana tuh? Swasta ya? belum pernah denger.” nah lo, bingung dah jelasinnya gimana kalau ada yang nanya begitu. Atau yang lebih parahnya, kampus kita lebih sering dikenal dengan ayam kampusnya atau dengan artisnya. Untuk para calon mahasiswa yang sedang mencari universitas, itu bisa membingungkan bila orang tua mereka bertanya tentang kredibilitas calon kampus yang akan dimasuki anaknya.
Biasanya yang paling sering dikeluhkan itu lahan parkir, kamar mandi, dan perangkat belajar mengajar di kelas yang tidak nyaman. Siapa yang akan merubah itu semua jika bukan mahasiswanya sendiri. Mungkin saya tidak punya kapasitas apapun untuk menulis ini. Tapi hanya sekedar menyampaikan perasaan maupun pengalaman yang saya rasakan dan saya lihat, itu tidak masalah kan?