Mohon tunggu...
Machdani Afala
Machdani Afala Mohon Tunggu... -

simple fun

Selanjutnya

Tutup

Politik

Demokrasi Kaum Miskin

30 Mei 2011   14:15 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:03 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cerita ini diawali ketika teman-teman pusat studi demokrasi berkunjung ke komite perjuangan rakyat miskin yang notabennya ketua dan anggotanya adalah ibu-ibu rumah tangga. Kesan pertama yang hadir dalam benak adalah sosok perempuan perkasa yang berjuangan untuk menegakan keadilan dan hak mereka sebagai kaum miskin kota. Kenapa perempuan? karena menurut mereka kaum perempuanlah yang paling tahu kondisi daerah dan kaum miskin ketika para laki-laki mencari kerja. Para perempuan ini mengorganisir rakyat miskin di beberapa titik daerah miskin yang ada di kota makassar. Menurut mereka, rakyat miskin bukanlah barang jualan yang bisa ditawarkan kepada siapapun untuk bisa mendapat keuntungan. Selama ini mereka kurang diperhatikan oleh pemerintah daerah, karena pemerintah sibuk dengan urusan pribadi yang bukan urusan rakyat. Kata mereka''  pemerintah memperhatikan mereka ketika moment pilkada telah dekat. Pemerintah (elite) di kala itu dengan rajinnya datang mengunjungi dan mempertanyakan aspirasi mereka. Inilah demokrasi bagi kaum miskin. Demokrasi dalam artian kedaulatan rakyat menjadi hilang, dan digantikan kadaulatan elite.

Kaum miskin pada momen politik hanya menjadi jualan untuk mendokrak popularitas dan mencapai suara terbanyak. Sedangkan kasus-kasus kemiskinan, ketidakadilan kesehatan, dan pelayanan publik lainnya hanya menjadi angin lalu setelah pilkada selesai.

Oleh karena itu, menurut mereka kaum miskin harus melakukan perjuangan, harus punya visi politik yang sejahtera dalam artian kaum miskin harus punya bargening position dalam memperjuangkan aspirasi mereka. Yang lebih mengesankan  adalah model pengorganisasian ini  tidak di danai oleh pihak luar tapi atas swadaya mereka sendiri. Ini dilakukan dengan mengandeng beberapa kegiatan misalnya pengurusan SIM dengan membayar lebih 2 ribu setiap kuam miskin, jadi seribu untuk kas kelompok miskin di daerah yang bersangkutan dan seribunya masuk ke kelompok orgonaiser yang sewaktu-waktu di gunakan untuk membantu ketika ada masalah di rumah sakit, sekolah dimana para kaum miskin susah untuk mengakses dan mendapatkan pelayanannya publik. Inilah wajah negeri ini, negeri para kapitalis, negeri para firaun.

=pusat studi demokrasi unhas=(dani)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun