Kompasiana - Fenomena sosial yang terus berkembang, seiring dengan kemajuan teknologi yang menyediakan infromasi secepat kilat menyebar ke seluruh mata dan telinga para warga sosial media. Dari masalah yang remeh temeh -- bahkan yang sangat tidak jelas, sampai pada informasi yang sangat serius dan melibatkan banyak orang, tersedia di meja hidang sosial media. Yang menarik dan mengusik rasa ingin tahu saya adalah tentang kasus penceramah yang beberapa waktu lalu "entah" keplicuk atau memang disengaja menyelorohkan kata-kata "tak beretika". Walaupun tolak ukur etika sebenarnya adalah satu kesepakatan dan diterima oleh kebanyakan orang.
Tetapi bukan kasus itu yang membuat saya penasaran, justru istilah "Gus" yang tersemat dan menjadi label sosial keagamaan bagi seseorang dengan spesifikasi tertentu. Mula-mula saya teringat pengalaman pertama saat mondok dulu, sekitar 15 tahunan lalu. Saya mengenal istilah "Gus" atau "Lora" dalam tradisi madura karena mereka adalah putra dari seorang kyai. Seorang tokoh keagamaan atau spiritual keagamaan. Tetapi akar kata "Gus" sendiri mula-mula adalah istilah untuk anak laki-laki yang memiliki kedudukan atau martabat yang tinggi; Agus, Bagus, atau Raden Bagus.
Poerwadarminta dalam Bausastra Jawa 1939 mencoba megklasifikasikan istilah agus, bagus, den bagus  kemudian menjadi gus dengan pemaknaan yang entah mengalami ameliorasi atau justru sebaliknya; peyorasi. Semisal "Agus" adalah istilah untuk seorang pemuda yang memiliki martabat tinggi tetapi bukan sedarah atau bukan anak dari seorang yang memiliki posisi atau martabat luhur; entah itu raja, bupati, ataupun kyai sekalipun nantinya. Demikian juga "Raden Bagus, atau Bagus" yang dulu adalah istilah bagi anak raja kemudian mengalami penyederhanaan sehingga menjadi "gus".
Artinya, Istilah yang melekat untuk anak raja atau seseorang yang memiliki martabat luhur lambat laun seiring berubahnya kondisi sosial dan mengalami peyederhanaan istilah, bisa jadi makna dan penggunaannya. Apalagi pengistilahan "gus" itu kemudian dalam tradisi pesantren dikerucutkan bagi para putra mahkota atau keturunan kyai. Bahkan dalam tradisi tertentu panggilan "gus" tidak musti bagi anak kyai, tapi bagi mereka yang memiliki keistimewaan dalam ilmu dan perilaku. Dengan kata lain, penggunaan istilah "gus" baik untuk anak raja atau bangsawan, kyai ataupu mereka yang memiliki keistimewaan ilmu dan perilaku sekalipun akan mengalami pemaknaan secara dikotomis.
Di satu sisi, siapapun yang bergelar "gus" maka tidak lepas dari anggapan akan seperti -- dan menjadi penerus ayah atau dasar dari pelekatan "gus" itu sendiri. Pun akan menjadi satu istilah yang mendorong seseorang dengan gelar tersebut akan dihormati dan ditempatkan di atas kebiasaan masyarakat. Alih-alih untuk tidak disoroti oleh kebayakan orang, pasti dengan sendirinya akan memberikan pemaknaan kepada siapapun bahwa ada sosok yang melekat di dalam dirinya istilah "gus" -- menjadi wajib untuk dihormati, disanjung dan diambil keberkahannya. Perkara isi hati dan tabiat siapa yang tahu, yang jelas dengan menerima dan menjalani gelar "gus" akan sampai di dalam dirinya pandangan atau anggapan tentang satu kehormatan dan kewibawaan tersendiri.
Gelar "gus" dan Representasi Tradisi Keraton
Kita tentu mafhum bahwa tradisi keraton terkait anak raja akan menjadi putra mahkota, khususnya bagi anak laki-laki. Yang sejak kecil pasti sudah menerima privilege untuk dihormati oleh siapapun. Padahal rasa hormat dan menghargai satu sama lain adalah bagian dari komuniasi sosial yang diwajibkan oleh Kanjen Nabi Muhammad. Bahkan tidak dinilai beriman ketika tidak bisa saling mencintai (menghargai, menghormati, dl.) sesama manusia.
Bani Qurays adalah keluarga terpandang dan terdidik di masa pra-islam. Sudah barang tentu menjadi bentuk representasi Kerajaan saat itu. Kanjeng Nabi Muhammad yang lahir dari bani tersebut, sama sekali tidak mau menerima kemelekatan itu, ia bekerja, menjadi penggembala, dan mendakwahkan nilai-nilai islam yang diajarkan oleh Allah. Artinya, Kanjeng Nabi Muhammad secara tidak langsung menentang tradisi kelurga yang tidak sejalan dengan nilai-nilai islam.
Memang, itu nabi, sedangkan umatnya kan manusia biasa. Kalimat ini pasti kerap muncul saat dijadikan dasar untuk perbaikan dan pengembangan diri. Tapi mbok ya disadari belajar itu tidak ada batasnya, termasuk belajar menempatkan diri. Karena selagi menjadi manusia maka tidak dapat dibedakan dengan gelar atau kondisi apapun, dalam kontek saling menghargai dan menghormati; intinya adalah problem moralitas, problem etik.
Yang menjadi masalah adalah masyarkat yang haus dengan nilai-nilai religious spiritual, justru dimanfaatkan untuk memupuk eksistensi dan glorifikasi sosial keagamaan, apalagi dengan adanya sosial media yang gampang sekali informasi itu tersebar. Jika dikembalikan pada pola pembelajaran seperti pesantren, maka di masa lalu Kyai atau gus seperti yang dijelaskan pak Zamakhsyari Dhofier (1994) mereka bekerja di waktu pagi, dan mengajar ngaji di waktu petang. Artinya pola sosialnya sama sekali jauh dari glorifikasi sosial, dihormati pasti karena mereka dengan Ikhlas dan tanpa pamrih mengajarkan ilmu pengetahuan sosial keagamaan kepada para santri.
Berbeda ketika kondisinya sebagai raja atau putra mahkota yang secara tidak langsung sudah erat dengan glorifikasi, karena dianggap sebagai wakil tuhan di muka bumi. Anggapan ini sangat wajar bagi mereka, dan akan menjadi ketidakwajaran ketika itu diprofilingkan dan dipromosikan. Hanya akan menjadi polemik yang tidak berkesudahan, pun juga membuat ragam persepsi tentang "gus" bagi masyarkat. Maka akan menjadi sangat naif sekali ketika kita melarang masyarakat untuk tidak belajar agama melalui internet atau aliran tertentu yang kerap membid'ahkan dan gemar tradisi takfiri, namun tidak ada ruang untuk belajar agama dengan santun, sungguh-sungguh dan penuh moralitas di lingkungan kita sendiri.