Artinya, ada beberapa kondisi yang seharusnya senantiasa menjadi ajang muhasabah, terlebih saat gelar "gus" itu baik sengaja ataupun tidak melekat. Pertama, menumbuhkan rasa saling menghormati antar sesama, tidak pandang bulu, dan memahami tugas masing-masing. Ketika gelar "gus" itu berakar dari kyai yang mengajarkan ilmu pengetahuan dan agama maka tentunya gerakan yang harus dipertahankan adalah berbagi pengetahuan. Perkara cara dan pendekatannya yang berbeda tidak masalah, asalah rasa saling menghormati itu masih dijaga.
Kedua, komunikasi sosial tentunya tidak terhalang oleh kemelekatan gelar, karena dengan sikap yang inklusif maka masyarakat tidak merasa ada sekat sosial. Dengan artian moralitas tetap dijaga dan tidak serta merta tanpa sekat dengan kyai dan gus, pasti ada pembeda. Ketiga, berbagai ruang duduk dengan siapapun, dan tidak mengambil simpati atau gelak tawa orang lain dengan cara merendahkan orang lain pula. Dalam humor dan komedi sangat tidak pantas ketika lelucon itu justru lahir dari merendahkan orang lain untuk memicu gelak tawa dan kelakar yang menggelegar.
Yang terakhir, kita sebagai manusia sosial, zoon politicon, hayawan annatiq, dan lain sebagainya tidak bisa lepas dari moralitas dan etika. Oleh sebab itu, menjaga keselarasan sosial dengan bingkai moralitas agaknya sangat penting di zaman yang serba telanjang dan tanpa aling-aling. Semoga kita semua senantiasa dapat menjaga hubungan antar sesama, sehingg Tuhan tidak rela melihat perpecahan di antara kita semua.[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H