Mohon tunggu...
A. Dahri
A. Dahri Mohon Tunggu... Penulis - Neras Suara Institute

Ngopi, Jagong dan Silaturrahmi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kecele Persepsi; Jebakan yang Kerap Diabaikan

14 Desember 2024   07:50 Diperbarui: 14 Desember 2024   07:50 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humanity (Sumber: Djovan/pixabay.com)

Manusia dan rangkaian persepsinya, kerap menjadikan kuat atau lemah sekaligus saat menjalani proses kehidupan. Apa masalahnya?

Untuk membaca kondisi sedang "Kecele Persepsi" kita perlu menggaris bawahinya dengan salah satu aliran filsafat yang kerap kita dengar yaitu Humanisme. Pemenuhan dan penegasan bahwa manusia memiliki tanggung jawab moral - esensial dalam keberlangsungan alam semesta. Pada konteks ini, senafas dengan pesan bahwa "manusia itu adalah khalifah di muka bumi".

Sebagai persona, manusia memiliki kewenangan dan berhak untuk menentukan arah hidupnya. Tetapi sebagai hamba, manusia wajib mengabdi kepada Tuhan semesta alam. Ini menjadi seperti dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. prinsip dasarnya adalah kesadaran. Mengapa kita perlu melatih mawas diri? karena dua sisi antara identitas dan personalitas kita memiliki ruang kelana masing-masing.

Maka, man arafa nafsahu faqad arafa rabbahu, menjadi piranti komunikasi batiniah untuk mempertegas kita sebagai manusia harus bagaimana dan kemana. Apalagi pandangan hidup itu dapat disusun dari pendekatan pengalaman atau empiris, serta pendekatan intelektual - spiritualitas; dengan membaca kitab suci dan berbagai khazanah yang lain. Titik baliknya adalah "membaca" lalu berfikir, merenung dan merefleksikannya.

Kesadaran dan ragam keutaman diberikan kepada manusia oleh Tuhan sebagai bekal menjalani relasi kehidupan, baik dengan sesama manusia, alam semesta, kekasihNya dan Tuhan. Secara tidak langsung, Privilage manusia digenggam sejak lahir, bahkan jauh sebelum melihat alam semesta.

Contoh sederhana, ketika anda kehabisan rokok, opsi yang muncul adalah minta pada teman atau membeli di toko terdekat, anda bisa menentukan lewat jalur mana untuk sampai di  toko yang anda tuju atau siapa yang diminta berbagi rokok dengan kita, bahkan boleh memilih mau toko klontong, alfamart, indomart atau yang lain. Itu bagian dari kebebasan yang anda miliki. Moral substansialnya adalah anda wajib membayar rokok yang anda beli atau minta pada teman dengan kapasitas komunikasi yang selayaknya; karena ukuran sopan santun sangat proporsional.  

Realitas dan Kehendak Bebas

Humanity (Sumber: Djovan/pixabay.com)
Humanity (Sumber: Djovan/pixabay.com)

Kita kerap terlena, bahkan terhipnotis oleh karep dan persepsi kita sendiri. Akhirnya kecele (tidak sesuai harapan) oleh persepsi itu sendiri. Masalah benar atau tidak, sama-sama tidak tahu. Tanpa sadar kan kita hanya ikut-ikutan saja, kalau kebanyakan orang beranggapa benar, saat itu juga dibenarkan, sedangkan yang tidak sejalan baik dengan kebanyakan atau dengan anggapan "kita" maka itu salah.

Kerap kali melihat bahwa kuli bangunan itu pekerjaan kotor karena berjibaku dengan lumpur, bebatuan dan ragam semen, kerjanya juga di bawah terik matahari. Atau pengemis, bahkan tukang becak, berbeda dengan direktur, guru atau apapun itu, yang kerjanya rapi, di dalam ruangannya ber-AC. Akhirnya klasifikasi bersih dan kotor dilihat dari pakaian atau profesinya.

Padahal substansi moralnya adalah tanggung jawab atas pekerjaannya. Artinya menyelesaikan proses dalam pekerjaannya. Mau direktur kalau mereka korupsi dan memakan keringat teman sendiri, prosesnya juga kotor. Begitu juga dengan tukang becak, pengemis atau sales, sekalipun di bawah terik matahari, keringatnya bercucuran sebesar butiran jagung, tapi bertanggung jawab atas apa yang dilakukan, maka prosesnya baik, karena tidak merugikan siapapun. Sedangkan hasil, secara materiil sama, prosesnya yang berbeda.  

Dalam kearifan jawa dikenal "Sak awon-awone menungso, mesti enek keapikane, ugi sak becik-becik menungso, mesti duwe kaluputane." Sejelek-jeleknya orang pasti ada kebaikannya, begitu juga sebaliknya. Oleh karena itu, anggapan manusia itu tipis sekali antara baik dan buruk.

Pak Maslow (1970) akhirnya mewedarkan kondisi manusia yang sejatinya senantiasa butuh pada siapapun dan apapun yang ada di luarnya. Memang memiliki privilage, tetapi tetap saja butuh pada yang lain. Ini yang menjadi gagasan utama dari Aristoteles bahwa manusia adalah makhluk sosial. Kata Pak Maslow manusia memiliki self actualization yang kerap menjadi gambaran kebutuhannya; butuh diapresiasi, butuh dicintai, butuh makan, minum dan lain sebagainya.

Manusia dengan segala kebutuhan dan kegelisahannya, perlu mempertegas kembali posisi dan rangkaian anggapan-anggapan yang kerap berseliweran di pikirannya. Boleh beranggapan, boleh beropini dan memiliki persepsi, tetapi akan rugi ketika persepsi itu digebyah uyah, dan justru menjadi jebakan bagi kita sendiri. 

Memang terkadang manusia kerap berkoloni untuk mengamankan diri sendiri, sejatinya manusia sangat individualistik, walaupun dihias dengan ragam empati dan simpati. Karena dengan begitu daya dukung identitas dan personalitasnya menjadi kuat.

Semoga kita senantiasa waspada dan tidak masuk pada lubang yang sama, sehingga selamat dari jebakan persepsi dan anggapan-anggapan; prinsip itu penting, menjalankan prinsip dan mendoakannya juga penting.[]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun