Mohon tunggu...
A. Dahri
A. Dahri Mohon Tunggu... Penulis - Neras Suara Institute

Ngopi, Jagong dan Silaturrahmi

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Relasi dan Peran Manusia, Bagi-bagi pentas Kehidupan

8 Desember 2024   20:17 Diperbarui: 8 Desember 2024   20:25 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Relasi dan Peran Manusia (Sumber: Freepik.com)

Kompasiana - Pernahkah Anda berada di tengah percakapan, tetapi merasa seperti seorang figuran dalam cerita yang sedang diceritakan orang lain? Ada tipe individu yang selalu mengambil alih panggung, menjadikan setiap momen tentang dirinya, seolah dunia adalah panggung pribadi yang dirancang hanya untuk mereka. Fenomena ini menarik untuk direnungkan, karena di balik dominasi tersebut, ada lapisan emosi dan dinamika yang lebih kompleks.

Seseorang yang ingin selalu menjadi pusat perhatian sering kali dianggap penuh percaya diri. Namun, apa jadinya jika keinginan itu sebenarnya berasal dari rasa takut yang mendalam? Ketakutan akan diabaikan, dianggap tidak cukup baik, atau tidak mendapatkan validasi. Mereka mungkin berbicara dengan lantang, berpenampilan menonjol, dan mengklaim pencapaian luar biasa, tetapi semua itu bisa saja menjadi dinding untuk menyembunyikan kerentanan yang sulit mereka akui.

Panggung hidup yang terlalu besar sering kali mengorbankan orang lain. Orang-orang di sekitar individu seperti ini bisa merasa tersingkirkan atau tidak dihargai. Bayangkan sebuah kelompok kerja di mana satu orang selalu ingin mendapatkan pujian atas setiap keberhasilan tim. Ini tidak hanya melelahkan secara emosional bagi yang lain, tetapi juga menciptakan lingkungan yang kurang sehat untuk kolaborasi.

Namun, perlu diingat, keinginan untuk menjadi "bintang utama" tidak muncul begitu saja. Dalam banyak kasus, pola ini bisa terkait dengan pengalaman masa kecil, di mana cinta atau penghargaan diberikan secara bersyarat. Anak-anak yang tumbuh dalam situasi seperti itu sering kali merasa bahwa mereka harus tampil sempurna atau luar biasa untuk mendapatkan perhatian. Pola ini terbawa hingga dewasa, menjadi dorongan untuk terus mencari validasi eksternal.

Di sisi lain, kita hidup di zaman di mana narsisme sering kali dianggap normal, bahkan dirayakan. Media sosial adalah salah satu katalis terbesar dalam fenomena ini. Setiap orang berlomba-lomba menunjukkan sisi terbaiknya, mengumpulkan "like" dan komentar sebagai bentuk pengakuan. Dalam lingkungan seperti ini, batas antara kepercayaan diri yang sehat dan obsesi terhadap perhatian menjadi semakin kabur.

Apa yang terjadi jika seseorang terus hidup dengan pola seperti ini? Sayangnya, mereka sering kali menghadapi kesulitan dalam membangun hubungan yang mendalam. Teman, pasangan, atau rekan kerja mungkin merasa bahwa kebutuhan mereka selalu dikesampingkan. Hubungan yang seharusnya saling mendukung berubah menjadi satu arah, di mana satu pihak terus memberi, dan pihak lain terus menerima tanpa batas.

Namun, penting untuk tidak terlalu cepat menghakimi. Sikap seperti ini bukan berarti seseorang sepenuhnya buruk. Mereka hanya menggunakan mekanisme pertahanan yang mungkin tidak disadari. Di balik rasa superioritas yang terlihat, ada luka yang membutuhkan pemahaman. Mungkin mereka hanya belum menemukan cara untuk menghadapi ketakutan mereka tanpa mengandalkan pujian orang lain.

Bagaimana cara kita menghadapi individu seperti ini? Pertama, penting untuk menjaga batasan. Mengakomodasi kebutuhan mereka tanpa mempertimbangkan kebutuhan diri sendiri hanya akan menciptakan ketidakseimbangan. Kedua, cobalah untuk tidak terpancing dalam permainan validasi mereka. Alih-alih membenarkan perilaku mereka, ajaklah mereka untuk melihat perspektif yang lebih luas.

Lebih jauh lagi, penting untuk kita sendiri belajar dari fenomena ini. Apakah kita pernah merasa tidak nyaman saat perhatian tidak tertuju pada kita? Apakah kita terlalu sering mencari validasi eksternal untuk merasa berarti? Jika jawabannya ya, maka mungkin ada sisi dari diri kita yang perlu kita pahami dan perbaiki.

Hidup ini bukan tentang menjadi pusat perhatian, melainkan tentang bagaimana kita berkontribusi dalam cerita bersama. Berbagi panggung dengan orang lain adalah tanda kedewasaan emosional dan kepercayaan diri yang sejati. Ketika kita mampu menghargai orang lain tanpa merasa terancam, kita tidak hanya memperkaya hubungan, tetapi juga menemukan kedamaian dalam diri sendiri.

Sebagai masyarakat, kita juga punya peran dalam menciptakan lingkungan yang sehat. Alih-alih merayakan narsisme, kita bisa mempromosikan nilai-nilai seperti empati, kerja sama, dan kerendahan hati. Bayangkan dunia di mana orang-orang lebih peduli pada dampak yang mereka berikan daripada sorotan yang mereka terima.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun