Mohon tunggu...
A. Dahri
A. Dahri Mohon Tunggu... Penulis - Neras Suara Institute

Ngopi, Jagong dan Silaturrahmi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Terima Kasih, Dua Kata yang Sering Terselip di Tengah Hiruk Pikuk

1 Desember 2024   07:46 Diperbarui: 1 Desember 2024   08:14 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Terima Kasih (Sumber: Credit/freepik)

Ini adalah sebuah perumpamaan

Saya mencoba membuat perumpamaan seperti ini; Anda sedang sibuk, dan tiba-tiba seseorang membantu mempermudah hidup Anda. Bisa jadi kasir minimarket yang ramah, teman yang menampung curahan hati Anda, atau bahkan pengemudi ojek online yang mengantarkan makanan tepat waktu. Tetapi setelah semua itu, Anda lupa---atau enggan---mengucapkan dua kata sederhana yaitu "terima kasih".

Dan kapan terakhir kali Anda dengan tulus berkata "terima kasih" kepada orang lain? Dua kata sederhana ini sering kali terlupakan di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern. Padahal, ucapan ini bukan hanya soal sopan santun, melainkan juga bentuk penghargaan kecil yang dampaknya luar biasa besar.

Ada banyak alasan mengapa orang sulit mengucapkan "terima kasih." Sebagian besar mungkin terlalu sibuk untuk sekadar merenung dan menyadari bantuan kecil yang mereka terima. Ada juga yang merasa gengsi---seolah-olah mengucapkan "terima kasih" itu membuat mereka terlihat lemah atau kalah. Lucunya, ini adalah ironi kehidupan; semakin kita merasa kuat dan mandiri, semakin kita lupa bahwa hidup ini tidak sepenuhnya hasil kerja kita sendiri.

Mengapa ucapan yang kelihatannya kecil ini sering terasa berat? Mungkin karena sebagian dari kita terbiasa berpikir bahwa bantuan adalah hal biasa, bukan sesuatu yang layak diberi apresiasi. Atau bisa juga karena kita terlalu fokus pada urusan sendiri hingga lupa memberi perhatian pada orang lain. Padahal, ucapan terima kasih tidak hanya mempererat hubungan, tetapi juga membawa energi positif, baik untuk diri sendiri maupun orang lain.

Banyak orang merasa bahwa mengucapkan terima kasih adalah hal sepele. "Ah, mereka cuma melakukan tugasnya," kata mereka. Tapi, benarkah tugas seseorang otomatis menghilangkan hak mereka untuk dihargai? Kasir yang melayani Anda dengan senyum, teman yang meluangkan waktunya, atau tetangga yang membantu memegang pintu---semuanya pantas mendapatkan apresiasi kecil dari kita.

Di sisi lain, ada orang yang gengsi untuk mengucapkan terima kasih. Mereka merasa, dengan melakukannya, mereka terlihat bergantung atau tidak berdaya. Padahal, kenyataannya sebaliknya rasa syukur adalah tanda kekuatan emosional. Hanya orang yang benar-benar percaya diri yang mampu mengakui bahwa mereka membutuhkan orang lain. Ini prinsip zoon politicon, bahwa semua manusia membutuhkan manusia yang lain.

Yang menarik, budaya juga memainkan peran penting dalam cara kita melihat ucapan terima kasih. Di beberapa budaya kolektif, membantu orang lain dianggap sebagai kewajiban sosial, bukan sesuatu yang harus dihargai secara verbal. Dalam budaya lain, penghargaan lebih sering diekspresikan melalui tindakan daripada kata-kata. Namun, apakah cukup? Mungkin tindakan itu bermakna, tapi sering kali, kata sederhana seperti terima kasih dapat meninggalkan kesan lebih mendalam.

Ada juga faktor pengalaman dan pola asuh. Jika seseorang tumbuh di lingkungan di mana rasa syukur jarang diungkapkan, mereka cenderung membawa kebiasaan itu hingga dewasa. Ucapan terima kasih tidak menjadi bagian dari kosakata harian mereka. Akibatnya, mereka mungkin tidak menyadari bahwa kebiasaan kecil ini memiliki kekuatan besar dalam membangun hubungan.

Namun, bukan hanya kebiasaan atau budaya yang menjadi penyebab. Dalam kehidupan modern yang serba cepat, banyak orang terlalu sibuk atau terlalu teralihkan untuk menghargai hal-hal kecil. Kita cenderung memprioritaskan kecepatan daripada perhatian, efisiensi daripada koneksi. Di tengah ritme hidup seperti ini, ucapan terima kasih sering kali terselip begitu saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun