Cinta seorang hamba kepada Allah dan Rasul-Nya tidak dapat dipisahkan dari cinta kepada sesama. Ibn Arabi mengatakan, "Siapa yang melihat makhluk tanpa melihat Sang Pencipta, belumlah mencinta. Namun, siapa yang mencinta makhluk karena Allah, itulah cinta yang hakiki."
Dalam cinta ini, manusia belajar menjadi insan kamil, insan yang memancarkan cinta Ilahi dalam tindakan, perkataan, dan pikiran. Ia mencintai tanpa pamrih, memaafkan tanpa syarat, dan memberi tanpa batas.
Segitiga Cinta sebagai Jalan Menuju Fana'. Segitiga cinta ini membawa hamba menuju maqam fana'Â melebur dalam cinta Allah. Pada maqam ini, tidak ada lagi "aku" atau "Engkau," sebab cinta telah menyatukan keduanya. Seperti bisikan Hallaj dalam ekstasenya: Ana al-Haqq"Akulah Kebenaran." Pernyataan ini bukanlah klaim ego, tetapi kerinduan yang telah sampai pada puncaknya, di mana tidak ada lagi yang dirasa selain Allah.
Namun, fana' bukan akhir. Para sufi kemudian bangkit dalam maqam baqa', kembali ke dunia dengan membawa cinta Ilahi untuk dibagikan kepada makhluk. Di sinilah cinta segitiga menemukan puncaknya, saat manusia mencintai Allah melalui Rasul-Nya, dan mencintai sesama sebagai wujud cinta kepada Sang Khalik.
Cinta yang Menghidupkan Jiwa dengan Segitiga cinta, Â ini adalah jalan menuju penyatuan hakiki. Allah adalah tujuan, Kanjeng Nabi Muhammad adalah jalan, dan manusia adalah pencari yang tak henti-henti. Dalam cinta ini, manusia menemukan hakikat keberadaannya---bahwa ia adalah pecinta yang diciptakan untuk mencintai, dan dalam cinta itulah ia menemukan Allah.
"Cinta adalah awal perjalanan, pun cinta adalah akhir segalanya."[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H