Teknologi telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia modern, termasuk dalam dunia pendidikan. Salah satu inovasi yang ditawarkan dalam pendidikan indonesia adalah deep learning, sebuah pendekatan kecerdasan buatan yang mampu memproses data besar untuk mengenali pola dan memberikan rekomendasi pembelajaran yang spesifik.
Dalam skala global, deep learning telah membawa harapan besar untuk menciptakan pembelajaran yang lebih personal, adaptif, dan efisien. Namun, di Indonesia, dengan segala keberagamannya, pertanyaannya adalah bagaimana teknologi ini dapat diterapkan tanpa kehilangan nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, dan kebudayaan lokal?
Pendekatan teknologi seperti deep learning sejalan dengan gagasan konstruktivisme Jean Piaget (1950), yang menekankan pentingnya pembelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan individu. Howard Gardner (1983), dengan teori kecerdasan majemuknya, juga menegaskan bahwa setiap individu memiliki potensi unik yang berbeda---baik itu dalam kecerdasan linguistik, logis, visual, atau interpersonal.
Dalam konteks ini, deep learning membuka peluang untuk mengidentifikasi dan mengembangkan potensi siswa secara lebih spesifik, bahkan di wilayah terpencil sekalipun. Namun, tantangan untuk mewujudkan hal ini di Indonesia tidaklah sederhana. Salah satu hambatan utama yang tampak adalah kesenjangan akses terhadap teknologi. Di banyak daerah pedalaman, akses internet bahkan listrik masih menjadi barang langka.
Kondisi ini mencerminkan apa yang disebut Andre Gunder Frank (1966) sebagai "dependensi," di mana daerah-daerah marginal bergantung pada pusat-pusat ekonomi atau teknologi di perkotaan. Solusinya adalah percepatan pembangunan infrastruktur digital yang menjangkau pelosok negeri. Selain itu, subsidi perangkat teknologi menjadi langkah krusial agar semua siswa memiliki kesempatan yang sama untuk mengakses pembelajaran berbasis teknologi.
Tidak hanya insfrastruktur, masalah yang lain adalah kesiapan tenaga pendidik. Everett Rogers (1962) dengan difusi inovasi, menekankan bahwa keberhasilan penerapan teknologi baru sangat bergantung pada agen perubahan, yaitu para guru.
Sayangnya, banyak guru di Indonesia belum mendapatkan pelatihan memadai tentang penggunaan teknologi berbasis kecerdasan buatan seperti deep learning. Pelatihan berbasis praktik, yang tidak hanya mengajarkan cara menggunakan teknologi tetapi juga cara memanfaatkan data untuk meningkatkan pengajaran, menjadi kebutuhan mendesak.
Di sisi lain, ada isu penting tentang pengelolaan data siswa. Michel Foucault (1977) mengingatkan bahwa data tidak hanya merupakan alat, tetapi juga bentuk kuasa yang bisa digunakan untuk kepentingan tertentu.
Dalam konteks pendidikan, privasi data siswa harus dijaga dengan ketat agar teknologi ini tidak disalahgunakan untuk kepentingan komersial atau politik. Regulasi yang tegas dan transparan menjadi fondasi untuk memastikan bahwa teknologi ini benar-benar digunakan untuk tujuan pendidikan.
Perspektif Kearifan dan Maindset Inklusivitas
Sebagai prespektif kearifan maka gagasan Buya Syafii Maarif, Gus Dur, dan Ki Hajar Dewantara dapat memberikan perspektif mendalam dalam menyikapi penerapan teknologi deep learning dalam pendidikan di Indonesia.
Pemikiran mereka menekankan nilai-nilai kemanusiaan, inklusivitas, dan penghargaan terhadap kebudayaan, yang menjadi panduan penting dalam menghadirkan inovasi yang tetap selaras dengan keunikan bangsa ini.
Buya Syafii Maarif dikenal sebagai pemikir yang mengedepankan pendidikan sebagai sarana pembebasan manusia dari kebodohan dan ketidakadilan. Gagasannya menekankan pentingnya pendidikan yang membangun kesadaran kritis, sebagaimana sejalan dengan gagasan Paulo Freire (1970).
Dalam konteks deep learning, pandangan ini mengingatkan bahwa teknologi harus menjadi alat untuk meningkatkan daya kritis siswa, bukan sekadar menciptakan generasi yang bergantung pada sistem. Deep learning harus diarahkan untuk mendukung pembelajaran berbasis pemecahan masalah (problem-solving), sehingga siswa tidak hanya menjadi konsumen pengetahuan, tetapi juga pencipta inovasi yang dapat berdampak positif bagi masyarakat.
Gus Dur, dengan gagasannya tentang pluralisme dan inklusivitas, memberikan perspektif penting dalam mengintegrasikan teknologi dengan keberagaman Indonesia. Bagi Gus Dur, pendidikan adalah alat untuk menciptakan ruang dialog dan membangun harmoni di tengah masyarakat yang beragam.
Dalam konteks deep learning, ini berarti teknologi harus dirancang untuk menghormati perbedaan budaya, bahasa, dan agama. Misalnya, algoritma pembelajaran dapat disesuaikan dengan kebutuhan siswa dari berbagai latar belakang budaya, sehingga setiap anak merasa dihargai dalam sistem pendidikan. Teknologi ini juga bisa dimanfaatkan untuk mempromosikan nilai-nilai toleransi melalui kurikulum berbasis multikulturalisme yang dikemas secara menarik dan relevan.
Sementara itu, Ki Hajar Dewantara, dengan konsepnya "Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani," memberikan landasan filosofis untuk memandang pendidikan sebagai proses yang menempatkan siswa sebagai subjek utama.
Deep learning, dalam kerangka pemikiran ini, tidak boleh menggeser peran guru sebagai inspirator dan fasilitator. Sebaliknya, teknologi ini harus membantu guru mengenali potensi siswa secara lebih mendalam dan memberikan dukungan yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Selain itu, konsep "pendidikan yang berakar pada kebudayaan" dari Ki Hajar Dewantara mengingatkan kita bahwa penerapan teknologi harus tetap relevan dengan nilai-nilai lokal.
Algoritma deep learning dapat dirancang untuk memasukkan unsur-unsur kearifan lokal, seperti seni tradisional, cerita rakyat, atau filosofi Nusantara, sehingga siswa tetap terhubung dengan identitas budayanya.
Deep learning hanya akan menjadi alat yang efektif jika diterapkan dengan pendekatan yang menghormati keberagaman, memperkuat nilai-nilai kemanusiaan, dan relevan dengan kebutuhan lokal. Indonesia memiliki potensi besar untuk memanfaatkan teknologi ini dalam menciptakan pendidikan yang lebih adil dan inklusif.
Namun, potensi ini hanya bisa terwujud melalui kolaborasi yang solid antara pemerintah, pendidik, dan masyarakat. Dengan demikian, pendidikan berbasis deep learning tidak hanya menjadi alat modernisasi, tetapi juga jalan untuk membangun generasi yang lebih manusiawi, berdaya kritis, dan tetap membumi dalam akar budayanya.
Artinya dalam pendidikan di Indonesia harus menekankan pada tiga pilar utama prinsip sosial edukasinya, yaitu membangun kesadaran kritis, mendukung inklusivitas, dan menghormati kearifan lokal. Teknologi ini tidak boleh hanya menjadi alat modernisasi yang membutakan, tetapi harus menjadi sarana untuk menciptakan pendidikan yang lebih manusiawi, relevan, dan membumi.
Dengan kata lain, upaya membangun dan mewujudkan kondisi pendidikan yang tepat bagi bangsa ini membutuhkan kolaborasi semua pihak, mulai dari pemerintah, pendidik, hingga masyarakat luas, untuk memastikan bahwa inovasi teknologi ini tidak meninggalkan satu pun anak bangsa di pelataran sekolah tanpa kesadaran dan teknologi yang sama seperti di kota-kota atau wilayah mudah akses teknologi. Dengan begitu, pendidikan berbasis deep learning dapat benar-benar menjadi pintu gerbang menuju masa depan yang lebih baik dan berkeadilan.
Apapun metode yang akan diterapkan dalam kurikulum pendidikan, baik yang solid atau yang lima tahunan, mindset atas pentingnya pendidikan itu yang perlu dimunculkan dan digatuktularkan.[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H